Anthrax, Proyek Militer AS Berkedok Proyek Riset Kesehatan (Bag II)

Bagikan artikel ini

Di Balik Serangan Anthrax September dan Oktober 2001

Mengenai sepak-terjang pemerintah Amerika Serikat untuk menghindar dan mengelak dari tanggungjawab atas terjadinya pengiriman bakteri Anthrax seperti dalam kasus pengiriman sampel bakteri Anthrax ke laboratorium riset di 9 negara bagian AS dan pangkalan militer AS di Osan, Korea Selatan, memang sudah sering terjadi berulangkali. Serangan Anthrax yang terjadi terhadap warga AS selama September dan Oktober 2001 lalu, pada hakekatnya bukan merupakan serangan Anthrax yang dilakukan oleh Osama Bin Laden, Al Qaeda ataupun yang berasal dari negara-negara Timur Tengah yang dipandang oleh Washington sebagai negara-negara berhaluan Islam radikal.

Seperti yang kemudian dilakukan Presiden George W Bush ketika itu, mereka menyalahkan dan menuding pihak lain yang tidak bersalah sehingga terkesan pemerintah AS tidak terlibat. Pada saat orang Amerika sadar bahwa semua itu perbuatan pemerintahnya, kerusakan sudah terlanjur terjadi, dan pemerintahan baru kemudian bereaksi seakan-akan terkejut dan bertekad untuk menindak yang bersalah ke pengadilan. Namun nyatanya, mereka justru akan menghancurkan dan menyembunyikan bukti-bukti, dan memberi julukan baru bagi mereka yang bersalah melakukan kejahatan terhaap kemanusiaan. Skenario ini diulang berkali-kali oleh pemerintah yang lama dan yang baru.

Padahal, kalau kita telisik kejadian sebelum terjadinya serangan Anthrax yang diklaim dilakukan oleh Bin Laden dan Al Qaeda pada Oktober 2001, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld sendiri telah mengakui bahwa Pentagon sedang melakukan pengembangan dan pengjujian senjata virus Anthrax yang dibuat secara biologis. Dan mengakui pula bahwa proyek ini semata-mata dilajukan demi untuk pertahanan.

Berarti, ketika Oktober 2001 terjadi serangan Anthrax terhadap warga AS tak lama setelah terjadinya aksi teror pemboman terhadap Gedung WTC pada September 2001, Pentagon sudah mulai memproduksi senhata Anthrax. Tentu saja kejadian ini tidak  bisa kita pandang sebagai peristiwa kebetulan semata.

Ini tentu saja sebuah perkembangan teknologi pertahanan strategis yang cukup berbahaya bagi keselamatan manusia. Dari sudut pandang jenis persenjataan dalam studi kemiliteran, Anthrax merupakan senjata ofensif dan bukan defensif. Senjata jenis ini dapat digunakan sebagai senjata penyerang pertama bukan senjata untuk mempertahankan diri.

Maka itu masuk akal jika kemudian Presiden George W Bush menolak untuk menandatangani draf perjanjian yang menguatkan konvensi senjata biologi pada 1974. Karena dengan menandatangani draf perjanjian tersebut, berarti pemerintah AS terikat pada kewajiban untuk membuka informasi mengenai di mana, dan terhadap siapa Amerika menguji-coba senjata biologi ini.

Dengan kata lain, sedari awal proyek penelitian Anthrax yang erat kaitannya dengan Pentagon, pemerintah AS memang berusaha menutup-nutupinya dengan kerahasiaan tingkat tinggi.

Padahal ada 140 negara yang menandatangani pakta ini, dan pemerintahan Bush menolaknya karena khawatir kontraktor-kontraktor militer AS seperti Batelle Memorial Institute, yang berlokasi di West Jefferson, Ohio, akan terungkap secara nasional dan internasional bahwa mereka melanggar hukum nasional dan internasional yang berlaku. Karena Battelle Memorial Institute secara aktif terlibat terlibat dalam penciptaan Anthrax yang telah mengalami perubahan genetis bagi persenjataan militer.

Proyek NAMRU-2 AS Jangan Sampai Terulang Kembali di Indonesia

November 2007, saya menulis di situs www.nu.or.id  bertajuk Misteri Virus Namru-2 AS. Dalam artikel tersebut saya menggugah kembali ingatan publik atas peristiwa yang terjadi pada Januari 2006, di Gedung tingkat tiga Laboratorium Mikrobiologi Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN). Yang mengakibatkan 22 orang luka-luka bakar yang cukup parah.

Ledakan yang terjadi di Gedung laboratorium Mikrobiologi yang berlokasi di jalan Percetakan Negara 29 Jakarta Pusat milik Departemen Kesehatan itu, waktu itu dianggap sebagai kecelakaan biasa. Apalagi Makbul Padmanegara yang ketika itu menjabat Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri, secara tegas mengesampingkan kemungkinan ledakan tersebut berasal dari bom atau aksi terror. Meski Padmanegara kala itu tidak membantah bahwa telah diketemukan nitrogen cair dan CO2.

Namun melalui kejadian tersebut ada satu fakta menarik yang belum ada satupun media massa yang mengangkatnya sebagai tema pemberitaan. Sebuah fakta yang jauh lebih menarik dibandingkan peristiwa peledakan itu sendiri. Kenyataan bahwa di Komplek gedung ini pula, berkantor The Naval Medical Research Unit 2 atau yang lebih dikenal dengan NAMRU-2.

Berdasarkan penelusuran bahan-bahan pustaka yang saya lakukan, terungkap bahwa Unit 2 Penelitian Medis Angkatan Laut alias NAMRU-2 merupakan bagian dari Angkatan Laut Amerika Serikat.

Yang lebih menarik lagi, badan yang resminya didirikan untuk mempelajari penyakit-penyakit tropis ini, ternyata berkantor di gedung milik Departemen Kesehatan. Jalan Percetakan Negara 29, Jakarta Pusat.  Aneh bukan?

Memang kalau kita menelisik situs Kedutaan Besar Amerika di Jakarta, Staf Namru-2 bekerjasama dengan Departemen Kesehatan Indonesia di bidang pengembangan Sumberdaya Manusia, pembangunan kelembagaan, penelitian serta pengawasan penyakit-penyakit menular.

Menurut keterangan situas Kedubes AS lebih lanjut, hal itu dilakukan dalam rangka Misi NAMRU-2 untuk mengadakan penelitian, percobaan-percobaan dan evaluasi atas penyakit-penyakit menular demi memajukan kesehatan, keamanan, dan kesiapan Pasukan Angkatan Bersenjata AS agar dapat bekerja secara efektif di masa damai dan dalam menjalankan misi-misi darurat di Seluruh Asia Tenggara.

Namun, itu versi cerita dari Kedutaan Besar Amerika Serikat. Informasi lain yang ketika itu saya peroleh, dan inilah yang jadi gagasan utama tulisan saya sehingga saya beri judul Misteri Virus NAMRU-2 AS, sejak akhir 2006 dan awal 2007, ada sekitar 25 orang yang mati terkena infeksi virus tak dikenal yang memakan korban jiwa akibat eksperimen biologis tertutup yang dilakukan oleh NAMRU-2.

Tentu saja ketika itu saya belum bisa mendapatkan konfirmasi dari Departemen Kesehatan, karena Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari belum secara resmi mengangkap persoalan sensitif tersebut. Atau jangan-jangan, Menteri Kesehatan Supari maupun para staf terdekatnya belum mendapatkan masukan informasi apapun terkait kiprah NAMRU-2.

Padahal ketika tulisan tersebut saya angkat di situs www.nu.or.id sudah berkembang sebuah informasi lain yang cukup mencemaskan: Ternyata NAMRU-2 tidak sekadar melakukan penelitian tentang penyakit tropis, tapi sudah meluas dalam penelitian aplikasi militer seperti pembuatan senjata bio-terorisme. Sejenis Weapon of Mass Destruction (WMD) khusus persenjataan biologis. Bahkan menurut informasi, justru penelitian aplikasi militer inilah yang jadi agenda utama NAMRU-2. Penelitian terkait penyakit tropis hanya sekadar sebagai kedok untuk menyamarkan kegiatan yang sesungguhnya.

Dengan kata lain, NAMRU-2 pada perkembangannya merupakan markas kegiatan intelijen Angkatan Laut Amerika, bukan sekadar untuk menangani proyek-proyek kerjasama Indonesia-Amerika di bidang kesehatan.

Dengan demikian penelitian virus Influenza, Malaria, Kolera, Tipus, Demam Berdarah, HIV/AIDS, Turbekolosa/TBC dan sebagainya, sejatinya ditujukan untuk melayani kepentingan strategis militer Amerika.

Ketika itu tulisan saya tutup dengan satu pertanyaan kunci: Apa benar bahwa penyebaran virus yang tidak dikenal dan yang telah memakar korban jiwa 25 orang tersebut, memang berasal dari kantor NAMRU-2 yang berlokasi di Jakarta?

Pertanyaan tersebut saya anggap masuk akal karena berdasarkan pemeriksaan tempat tinggal orang-orang yang terkena infeksi maupun di berbagai klinik lokal, ternyata tidak berhasil menemukan  virus-virus apapun yang selama ini ini sudah dikenal, dan memiliki ciri khas yang jelas untuk kawasan ini. Versi pihak kesehatan ketika itu mengatakan bahwa penyakit ini diakibatkan oleh poris kecil virus biologis yang belum dikenal.

Pihak kesehatan boleh saja mengatakan hal seperti itu. Namum informasi lain mengatakan bahwa spesialis-spesialis NAMRU-2 juga telah menjadikan jasad orang-orang yang sudah mati sebagai obyek eksperimen untuk meneliti reaksi organisme manusia yang diakibatkan oleh virus tersebut.

Sepertinya ketika tulisan ini saya publikasikan pada November 2007, Menteri Kesehatan Supari dan jajaran staf di lingkungan Departemen Kesehatan belum tahu-menahu soal ini mengingat fakta bahwa proyek penelitian NAMRU-2 pada hakekatnya bersifat tertutup dan rahasia.  Padahal, kegiatan-kegiatan NAMRU-2 dalam penelitian aplikasi militer berkedok penelitian medis Angkatan Laut dalam bidang penyakit menular, juga dilakukan Amerika di Filipina dan Thailand. Sehingga bisa menimbulkan ancaman yang membahayakan jiwa manusia di kawasan Asia Tenggara.

Awal Mula Menteri Kesehatan Supari Menaruh Perhatian Pada NAMRU-2

Menteri Kesehatan Supari baru mengangkat soal NAMRU-2 AS tersebut pada 2008. Namun dalam buku yang dia tulis sendiri berjudul SAATNYA DUNIA BEROBAH, menuturkan awal mula keanehan yang dia rasakan terkait proyek NAMRU-2 tersebut.

Ketika sedang gencar-gencarnya wabah Flu Burung menerpa Indonesia, Supari menerapkan kebijakan melarang pengiriman virus influenza ke WHO,  Karena Supari menaruh kecurigaan terhadap skema GISN (Global Influenza Surveilance Network) yang dijadikan dalih WHO untuk memaksa semua negara anggota WHO untuk mengirim viru influenza kepada organisasi kesehatan dunia tersebut.

Nah di tengah-tengah perlawanan Supari terhadap hegemoni WHO ini, mencuatlah satu isu sensitif ke permukaan, yaitu isu bantuan negara-negara maju dengan dukungan WHO untuk menggalang dana membantu negara-negara yang menderita flu burung.

Bagi Supari, selain gagasan bantuan negara-negara maju kepada negara-negara miskin yang menderita flu burung tersebut dipandang sebagai wacana yang menyesatkan dan merendahkan martabat diri negara-negara miskin, pada saat yang sama Supari mendapat sebuah informasi yang mengejutkan.

Pertama. Bahwa di Indonesia bantuan-bantuan luar negeri untuk mengatasi flu burung seolah begitu deras berdatangan pada 2006, namun manfaatnya tidak begitu terasa bagi masyarakat. Bahkan menurut Suparti, kadang-kadang bantuan yang diumumkan di dunia internasional ternyata tidak pernah kita terima.

Kedua. Ini yang lebih mengagetkan, dan saya kira inilah awal mula Supari mulai menyorot NAMRU-2. Menurut informasi  yang didapat Menteri Kesehatan Supari, Menteri Kesehatan Amerika Serikat , Michael O Leavitt, pernah menjanjikan akan membantu Indonesia sebesar 3 juta dolar AS. Tetapi bantuan itu tidak kunjung datang hingga terlaksananya kunjungan Menteri Luar Negeri Condoleeza Rice ke Indonesia ketika itu.

Ketika itu, salah seorang wartawan bertanya pada Supari: “Apakah Kementerian Kesehatan akan mendapat bantuan dari Menlu Rice?” Supari menjawab: “Lho, janji dari Leavitt saja belum datang sampai sekarang kok mengharapkan dari Menlu Rice? Enggak ah.” Begitu jawab Supari.

Rupanya, pernyataan keras Supari tersebut menggema sampai ke Amerika Serikat. Bahkan pihak Kongres Amerika mempertanyakan hal ini ke Dubes AS yang ada di Indonesia. Belakangan Supari dapat informasi melalui jalur-jalur informal bahwa dana yang dijanjikan oleh Leavitt tersebut telah dikirimkan ke Dubes AS di Jakarta. Dan diberikan ke NAMRU-2 AS dengan asumsi untuk penelitian H5N1 bersama Departemen Kesehatan.

Meski di dalam buku ini Supari tidak terlalu banyak berkisah seputar pendirian dirinya terkait NAMRU 2, namun bisa saya simpulkan bahwa sikap kerasnya yang kelak menghentikan proyek penelitian NAMRU-2 AS di Indonesia, nampaknya didasarkan pada informasi tersebut.

NAMRU-2 Sebagai Operasi Intelijen

Melalui konstruksi kisah tersebut di atas, proyek NAMRU-2 AS atau program-program yang sejenis, tidak boleh terulang kembali di Indonesia. Dan para pejabat pemerintahan Indonesia, khususnya dari Kementerian Kesehatan, tidak boleh mengizinkan proyek sejenis NAMRU-2 beroperasi kembali di Indonesia.

Sebab dari berbagai penelusuran bahan-bahan pustak yang dihimpun Tim Riset Global Future Institute, dalam sebuah penelitian penyakit malaria, terungkap bahwa para peneliti NAMRU-2 tidak hanya meneliti dan mengambil specimen darah warga yang terkena penyakit malaria. Para peneliti NAMRU-2 juga keluar –masuk hutan untuk memetakan situasi, topografi, dan meneliti penyebaran penyakit melalui cara-cara yang tidak lazim.

Bahkan para peneliti NAMRU-2 terungkap telah melakukan pengumpulan data dan informasi pos militer, jarak lokasi penyebaran penyakit dan kantor pemerintahan mulai dari tingkat desa hingga provinsi.

Hal ini mengindikasikan bahwa NAMRU-2 hakekatnya telah dijadikan sebagai markas operasi intelijen berkedok sebagai lembaga penelitian penyebaran penyakit menular.

Keanehan dan misteri yang menyelimuti proyek NAMRU-2 tersebut rupanya juga dirasakan oleh Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Selain tidak pernah melaporkan hasil penelitian mereka sejak tahun 2000, NAMRU-2 juga tak ikut membantu pemerintah ketika sibuk menghadapi bencana nasional demam berdarah dan flu burung.

Namun di atas itu semua, laboratorium penelitian Namru-2 yang berlokasi di Jalan Percetakan Negara, telah menjadi markas terselubung intelijen angkatan laut Amerika dalam pengembangan senjata biologis pemusnah massal.

Selain itu, keberadaan proyek Namru-2 AS dan keterlibatan intelijen angkatan laut Amerika Serikat telah memicu kecurigaan berbagai kalangan pemerintah bahwa Amerika telah melanggar kedaulatan wilayah RI karena telah menggunakan fasilitas yang diberikan Departemen Kesehatan untuk tujuan-tujuan terselubung yang tak ada kaitannya dengan pembangunan dan pengembangan bidang kesehatan di Indonesia.

Indonesia dan ASEAN Harus Bersatu

Maka dari itu, Indonesia bersama-sama dengan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, harus bersatu untuk melawan dan menolak agenda dan rencana pemerintah AS terkait pembangunan pusat-pusat penelitian maupun laboratorium-laboratorium militer berkedok pusat penelitian kesehatan seperti NAMRU-2 AS di negara-negara kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia, Thailand, Kamboja dan Filipina.

Lebih khusus lagi, Indonesia dan ASEAN harus bersatu mencegah dan menutup NAMRU-2 AS yang beroperasi di Kamboja dan Filipina. Karena berbahaya bagi keselamatan manusia di kawasan Asia Tenggara.

Penulis: Hendrajit, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com