Apa dan Bagaimana Asymmetric Warfare Berlangsung (Bag-2)

Bagikan artikel ini

Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Menyimak perdebatan tentang apa dan bagaimana peperangan asimetris terjadi, selayaknya ditelusuri dulu asal muasal kenapa ia ada (being), nyata (reality) dan berada (existance). Tak bisa tidak. Ini penting, mengingat urgensi peranan “sesuatu” dari perspektif filsafat mutlak harus menyatu unsur ketiganya. Ada-nyata-berada. Sesuatu yang ada pasti nyata dan yang nyata niscaya berada, berperan, berekspresi, dan lain-lain. Bila sesuatu yang ada namun tidak nyata, pasti tidak memiliki peran sama sekali.

Mimpi misalnya, ia ada tetapi toh tak nyata. Karena tatkala orang terbangun maka mimpi pun bubar. Sekedar bunga tidur semata. Tak memiliki peran signifikan (mimpi) dalam kelanjutan kehidupan orang. Entah bagi individu-individu atau sosok tertentu yang tergolong sakti, “waskita”, atau weruh sak durunge winarah —- katanya mimpi bisa merupakan isyarat, wangsit, petunjuk, dll. Banyak contoh. Tetapi tulisan ini tidak membahas hal yang sifatnya transendental. Entar dikira dukun!

Latar belakang uraian asymmetric warfare adalah kecenderungan perubahan atas pola dan model (pattern) kolonialisme di abad XXI dari hard power menjadi smart power. Tak kurang, Wakil Menteri Pertahanan RI Sjafrie Samsoedin, Senin (14/3) mengatakan, dunia strategi dan pertahanan sedang memasuki babakan baru, yakni perang asimetris. ”Kita harus menanggalkan cara berpikir perang konvensional. Banyak hal yang terjadi tanpa disadari adalah dampak perang asimetri. Media digunakan sedemikian rupa mengumbar sensasi. Perang asimetri itu bukan menghadapkan senjata dengan senjata atau tentara melawan tentara”.

Selanjutnya maksud hard power ialah symmetric warfare yang kharakternya lebih mengkedepankan kekuatan militer secara terbuka daripada tata cara lain. Ini ciri perang konvensional sejak dahulu kala. Kemudian istilah-istilah semacam hard power, atau symmetric, peperangan militer, dan lainnya akan digunakan penulis bergantian karena secara makna tidak berbeda. Dan sebagai tambahan, kebalikan dari hard power adalah smart power, atau perang non militer yaitu asymmetric warfare itu sendiri.

Bombardier, Kavaleri dan Infanteri

Sebagaimana tulisan terdahulu (silahkan baca: Mencermati Kesamaan Kharakter Kolonialisme antara Pola Simetris dan Asimetris www.theglobal-review.com), kecuali berbagai model perang gerilya, maka manuver militer modern dimanapun pada peperangan simetris (militer) pasca intelijen memberi input awal (prakiraan) perihal mapping sasaran, pola lazimnya diawali bombardir oleh pesawat-pesawat tempur guna mengacaukan dan melumpuhkan wilayah target. Inilah tahap permulaan.

Setelah daerah sasaran porak-poranda, kacau-balau, atau melemah akibat serbuan pesawat, maka tank-tank kavaleri mengambil alih manuver untuk mempertebal serangan secara detail, terutama di titik-titik yang masih berdaya tatkala serangan bombardier belum dapat melumpuhkan lawan atau daerah target. Ini tahapan kedua.

Sedangkan tahap terakhir ialah masuknya infanteri untuk menduduki wilayah. Dalam sebuah pertempuran, manakala pasukan infanteri telah masuk di daerah operasi, itu merupakan indikasi bahwa tahap akhir daripada inti peperangan tengah dijalankan, meski tak menutup kemungkinan peranan angkatan udara (bombardier) dan kavaleri masih diperlukan. Itulah pola lazim peperangan simetris secara garis besar oleh militer dimana pun.

Hasil diskusi terbatas di Global Future Institute (GFI), Jakarta (17/1/2013), dengan merujuk beberapa literatur dan artikel sejarah, ditemukan tahapan tak kalah penting dalam sebuah peperangan yang bertujuan menjajah bangsa lain. Artinya selain dijumpai ketiga pola di atas —bombardier, kavaleri dan infanteri— temuan GFI ini boleh dianggap sebagai model berulang dalam kolonialisme, yaitu ‘pengaburan atau pembengkokan sejarah’ bagi negara yang dijajah.

Adapun langkah pengaburan sejarah suatu bangsa tadi melalui beberapa tahap. Pertama, penghancuran bangunan fisik bangsa terjajah agar generasi baru tidak dapat menemui, mengenang, atau menyaksikan bukti-bukti atas kejayaan nenek moyangnya, sehingga otomatis selain tak mampu menarik hikmah dan nilai-nilai emas histori, juga tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Kedua, memutus hubungan histori dengan leluhur melalui penciptaan stigma dan opini bahwa nenek motangnya dulu bodoh, tidak beradab, primitif, dan lain-lain. Ketiga, dibuat sejarah baru versi penjajah.  Inilah pola berulang dalam kolonialisasi.

Pendudukan militer Paman Sam dan sekutu di Irak merupakan contoh aktual soal pemutusan histori bangsa. Oleh karena pasca Presiden Saddam Hussein digantung (2007), maka semua situs-situs kuno, perpustakaan, pusat sejarah dan kebudayaan Irak dihancurkan oleh tentara koalisi pimpinan Amerika Serikat (AS). Bisa ditebak, generasi Irak yang lahir dekade 2000-an niscaya tidak akan dapat mengenali dan sulit menemukan bukti-bukti kejayaan ‘Negeri 1001 Malam’. Betapa hampir seluruh peninggalan sejarah dimusnahkan, nyaris tak ada sisa!

Demikian pula bagi negara dan wilayah-wilayah lain yang menjadi obyek jajahan. Kisah suku Indian di Benua Amerika misalnya, selain terusir dari tanah leluhur, dirampas hasil buminya, distigma pula sebagai kaum suka perang, haus darah, tidak beradab dan lain-lain. Ketika dulu (mungkin kini masih) menonton film cowboy, kemudian tanpa sadar penontonnya bertepuk tangan senang tatkala menyaksikan suku Indian dikejar dan dihalau oleh kaum imigran (cowboy), maka boleh dikatakan bahwa mindset dan culture set kita telah ‘tersihir’ serta terseret arus agenda yang diciptakan oleh Barat. Betapa dahsyat peran media. Inilah yang tengah berlangsung dan sungguh memprihatinkan, justru banyak elemen berbagai bangsa tidak menyadarinya.

Ada retorika menggelitik: bagaimana generasi Indonesia bisa melihat kebenaran atas kejayaan Sriwijaya dan Majapahit wong sudah sekian abad dijajah oleh asing? Jangan-jangan sejarah nusantara di buku-buku sekolah juga versi kaum penjajah?

Isue, Tema dan Skema

Mengurai lebih jauh perang non miiter pada catatan ini, maka pola perang simetris (militer) sebagai pedoman awalnya. Artinya, breakdown dan pembahasan asymmetric warfare melalui analog atas pola symmetric warfare sebagaimana diurai sekilas tadi. Pertanyaannya: bukankah ilmu, teori, dan lain-lain diketemukan manusia —salah satunya— melalui penelitian (research) serta analogi peristiwa?

Tersirat memang ada kesamaan karakter antara peperangan simetris dengan model perang asimetris (non militer). Bombardier di awal serangan contohnya, dalam asimetris identik dengan tebaran atau pelemparan isue-isue di suatu wilayah yang hendak ditarget. Semacam bombardier tetapi melalui rumor, hasutan, berita, isue, kejadian, ‘penciptaan kondisi’, dan lain-lain. Inilah awalan. Contoh Arab Spring kemarin, negeri target semacam Tunisia, Yaman, Mesir dan lain-lain diterpa dahulu dengan aneka isue demokrasi, korupsi, kemiskinan, pemimpin tirani, secara gegap gempita melalui berbagai media dan jejaring sosial sehingga dalam benak rakyat hanya ada satu kata: “rakyat menjadi miskin akibat bercokol rezim tirani dan koruptif”. Inilah penciptaan opini.

Tahap berikut dalam manuver simetris pasca bombardier ialah masuknya kavaleri. Manuver tank-tank kavaleri sebagai penebalan serangan, dalam analog asimetris dimaknai sebagai TEMA. Secara empiris, Arab Spring atau Musim Semi Arab yang melanda Jalur Sutera merupakan “tema gerakan” via kekuatan massa setelah opini dibentuk sebelumnya melalui isue-isue yang digencarkan media, jejaring sosial, dan lain-lain.

Tahap terakhir dalam peperangan secara militer ialah masuknya pasukan infanteri ke wilayah target. Pada analog asimetris atau non militer, manuver infanteri ini disebut SKEMA gerakan. Inilah inti strategi peperangan yakni ‘pendudukan’ wilayah (sasaran) target. Pendudukan dalam konteks asimetris ialah penguasaan (ekonomi) negara dimaksud serta pencaplokan SDA via perubahan —kudeta— rezim sebagai titik mula. Lengsernya Ben Ali di Tunisia, Abdullah Ali di Yaman, Mobarak dan seterusnya cuma kunci pembuka skema untuk penguasaan ekonomi yang lebih luas.

Hal lain yang perlu dicatat, bahwa geliat penguasaan ekonomi niscaya berimplikasi juga terhadap pemberdayaan sumberdaya alam (SDA) menjadi hardcash. Itu mutlak. Maka wajar jika kebanyakan negara koloni merupakan daerah serta jalur-jalur kaya SDA sebagaimana kelompok negara di lintasan Silk Road atau Jalur Sutera (Asia Tengah, Timur Tengah dan Afrika Utara). Oleh sebab mencaplok SDA negara dimaksud identik menguasai ekonominya, demikian sebaliknya.

Dengan demikian, apapun asymmetric warfare di muka bumi, bahwa isue-isue dan tema boleh bervariasi serta beragam warna, akan tetapi SKEMA tidak akan berubah sepanjang masa, bahkan identik dengan tujuan symmetric warfare dimana inti skema selalu ‘satu tarikan nafas’ antara penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA. Bedanya hanya soal penggunaan peluru (symmetric) dan tanpa mesiu sama sekali (asymmetric).

Bersambung Bag-3

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com