Pro Kontra TPP di Jepang Inspirasi Bagi Indonesia

Bagikan artikel ini

Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Trans Pacific Partnership (TPP) atau kemitraan lintas negara-negara Asia Pasifik saat ini merupakan ancaman nasional bagi Indonesia, mengingat fakta bahwa TPP merupakan alat dari 600 korporasi global Amerika Serikat untuk menjajah perekonomian negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Namun, para anggota DPR Komisi I bidang luar negeri sepertinya tidak ada yang menyadari betapa krusialnya peran dan keberadaan TPP yang berpotensi untuk memecah-belah kekompakan dan persatuan antar negara-negara forum ekonomi Asia Pasifik maupun ASEAN sebagai perhimpunan negara-negara Asia Tenggara.

Tapi di Jepang, ada satu cerita yang cukup menarik, meskipun Jepang merupakan motor penggerak terbentuknya TPP bersama Amerika Serikat dan Australia. Membuka kembali tumpukan berita lama pada Desember 2012 lalu, Organisasi Koperasi Pertanian Jepang Ja- Zenchu (The National Central Union of Agricultural Cooperatives), telah menegaskan sebuah sikap politik yang cukup strategis: Akan mendukung para calon legislative (DPR) atau partai politik yang menentang keikutsertaan Jepang dalam proses negosiasi yang diselenggarakan TPP.

Menariknya lagi, Ja-Zenchu sebagai organisasi perwakilan kelompok Tani Jepang, mengecam Yoshihiko Noda, Perdana Menteri Jepang dari Partai Demokrat saat itu, karena telah tunduk pada kemauan dan kepentingan para pengusaha dan konglomerasi kelas kakap Jepang, sehingga tidak secara tegas menetapkan kriteria menentang keikutsertaan Jepang dalam forum TPP.

Padahal, Perdana Menteri Noda yang berasal dari Partai Demokrat Jepang itu, sejatinya merupakan partai yang berseberangan dengan Partai Liberal Demokrat, yang sejak pasca Perang Dunia II, praktis merupakan sarang politik para pengusaha-pengusaha besar Jepang yang berkolaborasi dengan aparat birokrasi dan politisi partai.

Begitupun, ketika mulai berkuasa sebagai perdana menteri Jepang sejak September 2011, Perdana Menteri Noda tak kuasa melawan tekanan kepentingan para pengusaha Jepang yang bersama korporasi-korporasi Jepang bersekongkol membentuk TPP sebagai tandingan dari APEC maupun ASEAN.

Lebih celakanya lagi, Konfederasi Serikat Buruh Jepang (Rengo) yang ternyata tetap berada dalam kendali kepentingan para pengusaha Jepang, ikut-ikutan menekan Perdana Menteri Noda agar tidak menentang Skema TPP dalam kebijakan perekonomian Jepang ketika Partai Demokrat berkuasa. Maklum, Rengo ternyata salah satu pendukung dana dari kemenangan Noda dan Partai Demokrat.

Yang patut jadi pelajaran penting bagi para politisi partai di Indonesia, betapa pun akhirnya baik LDP maupun demokrat sama-sama mendukung partisipasi Jepang dalam forum TPP, namun terlebih dahulu terjadi perang konseptual antara yang pro kebijakan TPP dan yang anti TPP baik di internal Partai Liberal Demokrat maupun Partai Demokrat.

Hal inilah yang sama sekali tidak mencuat di kalangan anggota DPR Komisi I bidang luar negeri maupun Komisi Ekonomi. Apalagi di internal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai PDIP, Golkar, Gerindra, Hanura atau Nasdem.

Alhasil, meski kedua partai akhirnya tunduk pada kepentingan para pengusaha besar Jepang yang tergabung dalam Zaibatsu, namun pada perkembangannya telah terjadi modifikasi dan kesepakatan baru karena posisi tawar yang kuat dari kelompok-kelompok akar rumput seperti Ja-Zenchu ataupun Rengo.

Dengan kata lain, para pengusaha Jepang Zaibatsu harus menerima beberapa prasyarat dan konsesi yang diajukan asosiasi tani maupun konfederasi buruh Jepang.

Di luar kenyataan bahwa Partai LDP maupun Demokrat cenderung memihak kebijakan TPP, ada beberapa partai kecil yang secara tegas menentang keikutsertaan Jepang dalam forum TPP. Misal Partai Sosial Demokrat, Partai Komunis Jepang (JCP), Partai Masa Depan Jepang, Partai Hijau dan sebagainya.

Sayangnya, partai-partai tersebut masuk kategori gurem dan tidak mengakar di kalangan masyarakat.

Begitupun, JCP saat ini cukup kreatif dalam menggalang dukungan masyarakat Jepang. Harian Inggris the Guardian melaporkan, dalam 16 bulan terakhir terjadi lonjakan anggota lebih 410 ribu orang; kader JCP kebanyakan berusia muda dan berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Ini berbanding terbalik dengan Partai Demokrasi Liberal Jepang (LDP) yang anggotanya menyusut dari 5 juta orang menjadi sekitar 1 juta orang.

JCP mulai dilirik oleh para pelajar, pengangguran, dan pekerja berpenghasilan kurang dari 2 juta yen (atau sekitar 200 juta rupiah) per tahun, setelah sesumbar akan berfokus pada lapangan kerja dan kesejahteraan rakyat Jepang.

Seorang pekerja pabrik, Yasuhisa Wakabayshi, 23 tahun, bergabung dengan JCP sejak Januari 2009. “Tidak seperti partai-partai terkemuka, gerakan komunis tidak mencari bantuan dari perusahan-perusahaan besar,” tutur Wakabayashi. “Mereka (partai komunis) jujur dan peduli terhadap permasalahan, kesejahteraan, dan pendidikan bagi masyarakat,” imbuhnya.

JCP juga memanfaatkan teknologi internet untuk menyebarkan propagandanya. Di situs You Tube misalnya, video klip mengenai perlawanan terhadap eksploitasi buruh di Jepang, yang diunggah oleh pemimpin JCP Kazuo Ishii telah disaksikan lebih dari 100 ribu kali. Sirkulasi surat kabar resmi JCP, Akahata, yang berarti ‘bendera merah’ juga mengalami kenaikan.

Begitupun, setidaknya TPP telah jadi isu pro dan kontra dalam kepolitikan Jepang. Satu hal yang belum terjadi di Indonesia. Seorang mantan ketua Partai Demokrat Jepang Yamada Masahiko telah menggunakan posisi anti TPP sebagai dasar penyusunan partai barunya, yang dia beri nama Partai Anti TPP dan Partai Anti Senjata Nuklir.

Sialnya, masyarakat pemberi suara di Jepang, 31 persen mendukung partisipasi Jepang dalam TPP. Hanya 16 persen yang menentang TPP, dan 44 persen tidak menyatakan sikapnya secara jelas.

Indonesia sudah saatnya memandang TPP sebagai ancaman nasional. Betapa tidak. Jika kita cermati anatomi negara-negara Asia yang sudah menyatakan bergabung ke dalam blok perdagangan TPP yang disponsori AS, setidaknya ada beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura dan Vietnam.

Malaysia, Brunei dan Singapura, bisa dipastikan dari sejak awal kemerdekaannya, memang sudah terikat dalam komitmen sebagai negara-negara eks koloni Inggris yang tergabung dalam Perhimpunan Negara-Negara Persemakmuran (Common Wealth).

Sedangkan Vietnam, meski pada era Perang Dingin berkecamuk merupakan musuh Amerika namun saat ini berada dalam satu fron bersama negara Paman Sam tersebut karena sama-sama menaruh kekhawatiran terhadap semakin menguatnya pengaruh Cina di kawasan Asia Pasifik.

Negara-negara lain yang juga tergabung dalam blok perdagangan TPP juga secara nyata merupakan sekutu strategis AS seperti Australia, Kanada, Selandia Baru, Meksiko,  dan Peru.

Adapun Jepang, sejak Shinzo Abe dari LDP mengambil alih pemerintahan dari tangan Noda pada Desember 2012, pada Maret 2013 lalu secara resmi memutuskan masuk dalam perundingan perdagangan bebas TPP atau Kemitraan Lintas Pasifik.

Pada tataran ini, Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan ASEAN dan Asia Tenggara pada umumnya, harus memandang tren ini secara cermat dan penuh perhitungan. Karena di balik gagasan TPP untuk menggalang dukungan dari negara-negara Asia Pasifik, sasaran sesungguhnya adalah untuk membendung pengaruh dan kekuatan Cina sebagai negara adidaya baru di kawasan Asia Pasifik, dan Asia Tenggara pada khususnya.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com