Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
Peperangan asimetris atau asymmetric warfare kini kerap diperbincangkan orang dan banyak kalangan sebab dinilai sebagai kecenderungan baru dalam jagat politik dan keamanan. Tak boleh dipungkiri, bahwa kharakter, ciri, serta sifatnya lebih soft dan seolah-olah lebih murah daripada peperangan simetris (symmetric warfare) yang mutlak harus mengerahkan kekuatan militer secara terbuka lagi cenderung high cost. Kendati watak dan perilaku asimetris lebih ‘lembut – murah’ dibandingkan hingar-bingar perang simetris, namun dalam hal korban serta kerugian-kerugian yang diderita sebuah negara tidak kalah ‘besar’ akibatnya daripada kerugian dan korban pada perang secara militer. Demikian pula capaian hasil atau tujuan, tidak akan jauh berbeda antara keduanya atau mungkin sama bahkan bisa jadi lebih hebat lagi.
Istilah lain asymmetric warfare yang mengemuka selain disebut perang non militer, dalam bahasa populer juga dinamai smart power, atau perang non konvensional, irreguler dan lain-lain. Berdasar penelusuran di berbagai literatur, inti dari definisi asymmetric warfare bisa dirangkum sebagai berikut:
“suatu model peperangan yang melibatkan dua aktor atau lebih, dikembangkan melalui tata cara tidak lazim di luar aturan perang konvensional. Memiliki spektrum dan medan tempur yang luas meliputi hampir di setiap aspek astagatra (geografi, demografi, sumber daya alam/SDA, ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya, dll)”.
Barangkali inilah benang merah asymmetric warfare yang NETRAL. Pertanyaanya: kenapa netral, apakah ada definisi yang tidak netral atau tendensius?
Dewan Riset Nasional (DRN), 2008, Jakarta misalnya, menekankan asymmetric warfare lebih kepada keadaan dimana ada ketidakberimbangan kekuatan antara aktor-aktor yang berkonflik. Kemudian substansi pengertian menurut Wikipedia.com, 2 Juli 2013, hanya menyoroti perbedaan kekuatan dan strategi atau taktik yang berbeda. Sedangkan Robert Tomes, 2004, dalam buku Relearning Counterinsurgency Warfare, Parameter, US Army War College lain lagi. Ia lebih spesifik mendefinisikan perang asimetris, karena selain melihat perbedaan para aktor yang berkonflik juga mencermati cara berinteraksi dan upaya saling mengeksploitasi kelemahan-kelemahan lawan. Sudah barang tentu hal tersebut terkait dengan strategi dan taktik perang unconvensional.
Selanjutnya Land Warfare Doctrine 1, 2008, The Fundamentals of Land Warfare, Australia’s Department of Defence, cenderung menekankan tentang kemunculan asimetris. Asimetris dapat pula diartikan dengan perbedaan tujuan, komposisi pasukan, kultur, teknologi dan lain-lain. Artinya tatkala ada perbedaan perbandingan antara pihak-pihak yang berperang maka disitu asimetris akan lahir.
Hingga kini, belum ada pengertian baku yang dapat dijadikan referensi tunggal perihal asymmetric warfare. Masih debatable, beragam definisi, terdapat aneka penafsiran baik arti, maksud maupun bagaimana perang asimetris itu sendiri.
Ketika beberapa literatur mencoba memberi contoh bahwa perang asimetris itu semacam “perlawanan” al Qaeda terhadap Amerika Serikat (AS), atau penembakan-penembakan anggota Polri oleh orang tak dikenal (OTK) —-bukannya salah— menurut hemat penulis kok kurang tepat. Walau pendapat apapun soal asimetris, sebenarnya syah-syah saja, wong namanya juga kebebasan berpendapat. Akan tetapi penulis tidak ingin terjebak debatisasi, atau saling menyalahkan, merasa benar sendiri, dan lainnya, oleh karena kebenaran ilmu dan pengetahuan sifatnya juga nisbi, relatif dan masih bergerak sesuai tuntutan zaman. Alasan pokok kenapa demikian, sebab jika sebuah peperangan dianalogikan sebagai “sistem”, maka dua contoh peristiwa di atas cuma sebatas metode belaka. Ya, bahwa penembakan dan teror hanya ujung terakhir (hilir) dari sebuah sistem. Bukankah di dalam sistem itu ada unsur man power, ada manajemen, ‘mesin’, materil, terdapat marketing, ada metode, dll? Pertanyaan lagi: bagaimana disimpulkan sebuah sistem (asimetris) jika yang dikaji hanya cara dan metode (al Qaeda dan OTK)-nya saja?
Sekali lagi, terlalu sederhana —jika tidak boleh mengatakan didangkalkan— memberi contoh perang asimetris melalui kedua peristiwa di atas. Penulis cenderung sepakat bila dua contoh tadi dinilai sebagai tindakan (taktik) gerilya. Entah itu gerilya kota, hutan, gerilya teknologi, dan lain-lain. Motivasi gerilya memang bermula dari ketidakseimbangan kekuatan berbagai sumberdaya antara pihak-pihak yang saling bertikai. Inti ilmunya: “memukul lawan disaat ia lengah dan lemah!”.
Seandainya kita menelan bulat-bulat gambaran permisalan atas ‘perjuangan’ (al Qaeda dan OTK) tanpa kritik sama sekali, niscaya akan terkesan, bahwa asymmetric warfare seolah-olah hanya domain, atau cara —perlawanan— yang berasal dari kelompok miskin, bangsa terjajah, golongan marginal, dll terhadap atau melawan kelompok kaya, kaum kolonial, atau negara-negara lebih kuat dan lebih super daripadanya. Bukankah di era kini, justru peperangan asimetris —atau smart power— menjadi pola favorit di kalangan negara kolonial Barat guna melebarkan sayap imperialisme di negara-negara ‘target’?