Era penjajahan klasik yang menggunakan hingar bingar militer sudah mulai ditinggalkan. Ia telah dianggap masa lalu. Peradaban bergeser. Kini memasuki era penjajahan gaya baru. Cirinya senyap, tanpa letusan peluru. Dan jika merujuk power concept atau penggunaan kekuatan (oleh negara kolonial) sebagaimana teori ruang pada (ilmu) geopolitik yang meliputi power militer, politik dan power ekonomi, agaknya di era kini — mereka lebih menyukai tata cara politik dan ekonomi. Istilahnya soft atau smart power. Militer duduk di belakang seolah-olah hanya shock and awe (menakut-nakuti) meski tidak demikian.
Akan tetapi, politik dan strategi kolonial jenis apapun tetap memakai devide et impera yang dijalankan secara masiv dan sistematis di negara target. Sasarannya jelas yakni untuk melemahkan bahkan memporak-porandakan persatuan serta kesatuan (golongan mayoritas) dari sisi internal. Kenapa? Dalam mindset kaum penjajah, persatuan dan kesatuan itu merupakan ancaman pokok. Momok yang menakutkan.
Metodenya, selalu dipasang proxy agent (boneka lokal perpanjangan kolonialis) pada tiap-tiap kelompok besar dan golongan yang dinilai sangat mengakar di masyarakat, lalu antarkelompok tersebut dibentur-benturkan. Dibikin gaduh sendiri. Dibuat skenario seolah-olah alami, namun sejatinya kegaduhan tersebut hasil rekayasa mereka.
Dan uniknya, proxy agent ini justru tidak sedikit yang dari golongan pemuda, elit politik, kaum cendikia, tokoh-tokoh masyarakat, dan lain-lain. Mereka —para proxy agent— ada yang secara sadar memang sengaja ‘melacurkan’ simbol-simbol yang melekat pada dirinya sebab faktor imbalan, ada juga karena safety player (cari selamat), dan tidak sedikit akibat ketidakpahamannya tentang kondisi yang sesungguhnya terjadi.
Inilah yang kini tengah berlangsung seru di republik tercinta ini. Entah sampai kapan..