Aplikasi Teori Speech-Act untuk Eramuslim.com

Bagikan artikel ini

Penulis: Dina Y Sulaeman, mahasiswa Program Doktor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, research associate of Global Future Institute (GFI)

Ada rubrik menarik di LiputanIslam.com, situs yang kelihatan baru muncul sebulan yang lalu, yaitu rubrik Tabayun. Saya salut sekali pada kejelian penulis rubrik ini, juga kegigihan mencari ‘sumber asli’ sebuah berita.

Nah, salah satu artikelnya yang berjudul ‘Eramuslim Menyensor Berita Kontradiksi dari Al Arabiya’ menarik dibahas dengan mengaplikasikan salah satu teori dalam studi HI, speech act.
Entah disadari atau tidak oleh penulisnya, dia sedang mengaplikasikan teori speech-act (tentu saja, tidak detil, tapi ‘spirit’-nya). Teori speech act banyak dipakai untuk menganalisis isu security dan sekuritisasi. Mengapa sebuah kondisi dinyatakan tidak aman? Mengapa Bush menyebut war of terror sebagai ‘perang salib’? Mengapa Obama mengatakan bahwa AS dan Israel memiliki kesamaan kepentingan; apapun yang mengancam keamanan Israel artinya mengancam kepentingan AS? Nah, semua terkait dengan ‘pernyataan’ kan? Pernyataan-pernyataan seperti ini ketika disebarluaskan akan memunculkan kondisi ‘aman’ atau sebaliknya, ‘tidak aman’; pernyataan akan memunculkan perang, atau sebaliknya mendamaikan.
Masalahnya, pernyataan siapa yang bernilai ‘sekuritisasi’ itu? Pernyataan seseorang ‘entah siapa’ (seperti yang dikutip Eramuslim.com), atau pernyataan elit?
Jawabannya sudah jelas, elit. Berikut saya copas dari artikel jurnal “Words, Images, Enemies: Securitization and International Politics” (Michael C. Williams)
…while the securitization process is in principle completely open (any ‘‘securitizing actor’’ can attempt to securitize any issue and referent object), in practice it is structured by the differential capacity of actors to make socially effective claims about threats, by the forms in which these claims can be made in order to be recognized and accepted as convincing by the relevant audience, and by the empirical factors or situations to which these actors can make reference. Not all claims are socially effective, and not all actors are in equally powerful positions to make them.
Nah, berita yang dikutip oleh Eramuslim itu masuk ke isu security: siapa sebenarnya yang diperangi Iran? Menurut Eramuslim: yang diperangi Iran itu sesungguhnya Arab Saudi, bukan Israel (Eramuslim dan media sejenisnya memang secara masif mempropagandakan isu: Iran itu sekutu Israel)
Apa argumen yang dipakai oleh artikel di Eramuslim? Yaitu, pernyataan ex-dilpomat AS yang berdiskusi dengan pejabat Iran secara informal (private meeting).
Kelihatan dimana rapuhnya?
Bahasa gampangnya: emang siape lu? Siapa itu si Frederic Hof yang ex-diplomat (EraMuslim menyebutnya diplomat, padahal mantan diplomat;  namanya pun salah kutip, jadi “Freud Huff’). Siapa itu ‘Iranian official” yang dimaksud?
Lalu, si penulis artikel bantahan di LiputanIslam.com menyodorkan pernyataan tokoh-tokoh elit Iran yang memenuhi syarat speech-act (yang saya kutip di atas, yaitu, orang yang memang kata-katanya punya efek dalam sekuritisasi; yang memang punya jabatan jelas terkait dengan sekuritisasi). Dia menulis,
Bagi yang mengerti bagaimana sistem pemerintahan Iran, maka terang saja hal ini akan tertolak, karena yang memegang kuasa tertinggi adalah Rahbar, yang selama ini dalam statemen yang beliau kemukakan, musuh Iran adalah Amerika dan Israel. Setiap shalat Jum’at, selalu diringi dengan yel -yel “Marg Bar Isroil, Marg Bar Amrika “  yang artinya “Matilah Israel, Matilah Amerika”. Yang terbaru, dalam konferensi Persatuan di Teheran, Rahbar mengajak semua umat Islam bangkit untuk melawan takfiri, bukan Arab Saudi.
Bahasa gampangnya: kalau mau menganalisis jangan pakai omongan gosip dong!
Ini sama saja dengan sebuah kasus (nyata): pernah ada seorang pejabat di sebuah kementerian, dia menganalisis situasi di Iran berdasarkan ‘kata teman saya, diplomat X –bukan orang Indonesia- yang pernah bertugas di Iran’.  Atau, seorang penstudi HI, menganalisis situasi di Irak berdasarkan ‘kata teman saya tentara Arab Saudi yang sedang studi banding di Irak’. Kejauhan, rek.
Kalau untuk pembicaraan desas-desus sih silahkan saja. Tapi untuk analisis yang sifatnya ilmiah, tentu ini bukanlah basis argumentasi yang valid.
Intinya, berdasarkan teori speech act ini, kalau mau menganalisis suatu fenomena HI di state-level, ya pakai dong pernyataan-pernyataan elit sebagai basis argumen, bukan pernyataan kroco-kroco, entah siapa, dan anonim pula.
Saya pernah menulis buku Obama Revealed (buku itu ditulis saat Obama dielu-elukan setengah mati oleh sebagian orang-orang Indonesia; dan akhirnya batal diterbitkan oleh sebuah penerbit major –padahal awalnya sudah deal—karena penerbit lain dalam satu grup-nya rupanya sudah menerbitkan buku yang menyanjung-nyanjung Obama); saya ternyata dalam buku itu menggunakan teori speech-act ini.
Dalam buku itu, saya membuktikan bahwa Obama tunduk kepada lobby-lobby Zionis di AS dengan menganalisis kata-kata Obama sendiri (dan kata-kata para elit AS). Jadi, ini bukan pakai teori konspirasi (sebagaimana yang sering diolok-olok sebagian orang: pokoknya kalau menuduh ada Zionis, itu pasti teori konspirasi, kata mereka).
Untuk menganalisis Suriah pun, kita tidak bisa hanya menyandarkan pada ‘kata teman saya yang relawan ke Suriah’ atau ‘kata teman saya orang Suriah’. Perlu dianalisis pula pernyataan-pernyataan elitnya. Transkrip wawancara Assad dan menteri-menterinya dengan berbagai media bisa dengan mudah didapat, dan bisa dianalisis kata-per-kata.
Lalu, hal menarik kedua yang dilakukan si penulis adalah: melacak sampai ke sumber aslinya. Dia tidak berhenti menganalisis artikel yang dimuat di Eramuslim. Dia menemukan berita serupa (namun jauh lebih utuh, hanya dikutip sebagian) di Al Arabiya, dan ternyata Al Arabiya pun mengutip dari sumber berbahasa Arab, Al Rai (kuwait). Dari perbandingan kedua berita, terlihat ada manipulasi informasi yang dilakukan oleh Eramuslim dengan cara mengutip sebagian saja demi menggiring opini “Iran sekutu Israel”. Di  berita yang sama, sebenarnya pernyataan Frederic Hof sudah menunjukkan kontradiktif (di awal menyatakan Iran tidak memusuhi Israel, tapi di bagian-bagian selanjutnya malah menunjukkan sebaliknya).
Kemauan melacak sampai ke sumber asli penting sekali dalam menganalisis konflik. Bahasa sama sekali tidak bisa dijadikan alasan kendala. Saat saya menulis Prahara Suriah, masih sangat sedikit yang mengungkap bahwa sebenarnya para pemberontak Suriah adalah afiliasi Al Qaida (dan karena itulah saya diintimidasi). Saya menemukan fakta ‘kecil’, terselip di artikel Thierry Mayssan (jurnalis independen dari Prancis) bahwa di awal konflik, ada jurnalis Spanyol, Daniel Iriarte yang bertemu tak sengaja dengan Mahdi Al Harati di Suriah (tokoh Al Qaida Libya, yang sebelumnya terlibat penggulingan Qaddafi; dan media Irlandia–keluarga Al Harati memang hidup makmur di Irlandia—mengungkap bahwa Harati menerima dana dari CIA). Saya mengecek sampai ke berita berbahasa Spanyol. Thanks to Google translate, saya bisa mengecek bahwa memang benar Iriarte bertemu dengan Al Harati; dia bersama pasukan Al Qaida Libya mendirikan pasukan Liwaa Al Tauhid di Suriah, dengan tujuan menggulingkan Assad. Jadi ini informasi yang valid dan bisa dipakai dalam analisis.
Di era Google ini, orang memang dengan mudah menyebarluaskan kebohongan. Namun, orang yang berakal sehat pun dengan mudah check-and-recheck, juga dengan bantuan Google. Tinggal memilih saja, mau jadi orang jenis pertama, atau kedua.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com