AS versus Cina Semakin Memanas di Laut Cina Selatan: Penempatan THAAD dan Profilerasi Senjata Nuklir Meluas ke Asia Tenggara

Bagikan artikel ini

Persaingan global AS versus Cina di Laut Cina Selatan nampaknya bakal semakin memanas, menyusul manuver kapal perusak atau navy destroyer Angkatan Laut AS melewati perairan Laut Cina Selatan minggu lalu. Hal ini membuktikan bahwa tentara AS akan memusatkan kekuatannya di Laut Cina Selatan, memang nyata adanya.

Apalagi menteri pertahanan AS Mark Esper telah menyatakan akan menantang klaim pemerintah Cina atas perairan Laut Cina Selatan tersebut. Maka manuver kapal perang AS USS Mustin mendekati kepulauan Paracel, harus dibaca bukan saja sebagai bentuk tanntangan terbuka kepada manuver tentara Cina, melainkan juga untuk semakin memperkuat klaim AS atas Laut Cina Selatan sebagai perairan internasional.

Seperti dilansir Japan Today pada 30 Agustus 2020 lalu, pejabat Pentagon mengatakan Cina menembakkan empat rudal balistik ke Laut China Selatan pada hari Rabu sebagai peringatan nyata bagi pesawat pengintai AS yang terbang di dekat daerah tempat Beijing melakukan latihan angkatan laut.

Ketegangan semakin memanas ketika menteri pertahanan AS Mark Esper mengecam Cina telah gagal menghormati komitmennya agar tidak melakukan militerisasi di Laut Cina Selatan.

Baca: Navy guided-missile destroyer challenges Beijing’s claims in the South China Sea

Dalam konstelasi global dan regional yang sedemikian mengkhwatirkan di Laut Cina Selatan, maka Sistem Pertahanan Rudal yang dikenal dengan nama Terminal High Altitude Area Defence (THAAD) di Korea Selatan oleh pemerintah AS, besar kemungkinan akan diperluas penempatannya di Laut Cina Selatan yang saat ini merupakan hotspot area antara AS versus Cina. Berarti situasi tersebut berpotensi memicu meningkatnya kembali eskalasi konflik militer di Asia Tenggara.

Sebab dilihat dari perspektif kepentingan strategis militer AS, THAAD memiliki kemampuan untuk mendeteksi kegiatan-kegiatan militer Cina, mengingat kemampuan THAAD memiliki jangkauan operasional 200 kilometer (km) dan dirancang untuk mencegat rudal pada ketinggian antara 40 dan 180 km.

Analis Cina juga mengkhawatirkan radar X-band THAAD  yang meskipun  akan dikonfigurasi sebagai radar kontrol tembakan  dengan kemampuan deteksi 600 km, itu mungkin bisa dikonfigurasi ulang sebagai radar peringatan dini, yang memungkinkan jangkauan deteksi melebihi 2.000 km.

Kisaran tersebut menunjukkan bahwa kegiatan rudal Cina di darat dan di laut di Cina utara dan timur dapat masuk dalam radar pengawasan dan deteksi Angkatan Laut dan Angkatan Udara AS. Maka itu logis, jika THAAD juga akan ditempatkan di sekitaran Laut Cina Selatan.

Radar THAAD juga dapat membedakan hulu ledak nyata dan umpan. Jika diintegrasikan ke dalam jaringan pertahanan rudal nasional AS, radar ini diduga dapat meningkatkan peluang keberhasilan dalam mencegat rudal Cina bahkan pada  “fase dorongan,” yang artinya semakin mengurangi keandalan pencegah strategis Cina dalam menciptakan kekuatan keseimbangan strategis terhadap Amerika Serikat.

Bagi Indonesia ini merupakan tren global yang cukup mengkhawatirkan. Sebab selain keunggulan sistem partahanan antirudal, THAAD AS juga mengandung muatan nuklir yang cukup membahayakan.

Bukan itu saja. Seturut dengan pembatalan secara sepigak Perjanjian Senjata Nuklir Jarak Menengah (INF) oleh Presiden AS Donald Trump pada Agustus 2019 lalu, Keputusan Trump tersebut bisa dipastikan akan mendorong Amerika Serikat semakin agresif membujuk negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara untuk memasang rudal-rudal  buatan  AS di kawasan ini. Dengan dalih untuk melawan kekuatan militer Cina.

Selain dari itu Cina, Korea Utara, Jepang, Taiwan, Singapura, India dan Pakitan, akan memandang batalnya perjanjian INF sebagai isyarat bahwa pengawasan maupun perlucutan senjata tidak lagi sebagai norma-norma dan hukum internasional yang akan dipatuhi. Sehingga negara-negara tersebut merasa tidak lagi terikat pada kesepakatan tersebut, dan merasa berhak mengembangkan program persenjataan nuklirnya masing-masing.

Terkait dengan perkembangan di Laut Cina Selatan yang semkain memanas tersebut, pemerintah Jepang nampaknya satu sikap dan pandangan dalam menghadapi pertarungan AS versus Cina di Laut Cina Selatan. Setidaknya hal tersebut tergambar dalam pertemuan antara Menteri Pertahanan Jepang Taro Kono dan mitranya dari Amerika Serikat (AS) Mark Esper akhir Agustus lalu.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute.

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com