Asumsi Perubahan Dan Kiamat Dalam Perspektif Religi

Bagikan artikel ini
Ngaji Kecil Geopolitik di Hari Ke-8 Ramadhan 1445
Meski tidak selalu berbanding lurus, bahwa perubahan kerap diawali oleh distrust alias ketidakpercayaan. Atau sebaliknya, karena faktor kepercayaan (trust) bisa terjadi perubahan. Tapi tidak setiap kali. Itu titik mula. Entah perubahan personal ataupun sifatnya nonpersonal/publik. Nah, ngaji kecil ini membahas perubahan karena distrust, bukan faktor trust.
Bila gejala public distrust dibiarkan maka ia akan meningkat menjadi social disorder atau ketidaktertiban sosial. Jika kondisi tersebut terus berlarut di masyarakat tanpa upaya pencegahan, ia dapat melaju jadi social disobedience atau pembangkangan sosial. Kemudian social disobedience bisa naik lagi kadarnya menjadi political disobedience alias pembangkangan politik. Nah, ujung semuanya ialah political riot atau kerusuhan politik. “Lantas, terjadilah perubahan”. Jadi, asumsi perubahan secara teori ialah: public distrust – social/public disorder – social disobedience – political disobedience – political riot.
Sedangkan tempo/waktu aksi, entah mulai public distrust, social disorder dan seterusnya  hingga ke political riot, bersifat nisbi. Relatif. Tergantung faktor-faktor yang mempengaruhi baik internal maupun eksternal. Temponya bisa cepat, sedang, lambat, atau bahkan tak terjadi kerusuhan politik sama sekali karena cerdasnya antisipasi di setiap level situasi.
Secara teori, massa aksi pada Mei 1998 di Jakarta —reformasi— yang menumbangkan Orde Baru, isu tersebut tergolong political riot yang diawali public distrust atas praktik dan operasional supra-struktur politik di masa itu. Jadi, perubahan dari Orde Baru ke Era Reformasi berawal dari ketidakpercayaan publik terhadap praktik-praktik operasional Orde Baru.
Sesuai judul catatan ngaji ini, lain asumsi perubahan, lain pula teori kiamat atau tanda-tanda kehancuran. Dari perspektif religi, entah kiamat kecil, sedang, ataupun kiamat (kehancuran) besar selalu bermula dari riak. Ya. Riak adalah mental ingin dipuji atau sifat pamer guna memperoleh sanjungan. Dan itulah fenomena sosial politik bertajuk pencitraan yang sekarang marak baik di panggung (geo) politik lokal/nasional, regional maupun di level geopolitik global.
Filsuf Jean Baudrillard menamai gejala tersebut sebagai hyper-reality. Realitas semu. Atau istilahnya Era Simulakra. Simulakra merupakan suatu era dimana batas antara citra dan realitas telah melebur. Bahkan, citra itu sendiri berubah menjadi (seolah-olah) sebuah realitas.
Istilah lain fenomena tersebut kerap disebut post-truth. Era pasca-kebenaran. Di era (post-truth) ini, kebohongan menyamar sebagai kebenaran lewat emosi nitizen, buzzers, atas nama euforia mengaduk-aduk alam bawah sadar serta persepsi publik. Hoaks misalnya, dibilang kenyataan, atau fakta objektif dikatakan opini, dan lain-lain. Tergantung setting agenda kelompok kepentingan di balik algoritma.
Tahapan setelah riak adalah syirik. Ya. Arti syirik secara vertikal (hablum minallah) ialah menyekutukan Tuhan. Itu makna mutlak. Membuat sesembahan selain Dia, Tuhan Yang Mahapengasih. Sedangkan arti horizontal (hablum minannas) dari syirik ialah, “Semua itu karena aku!” Kalau tidak ada aku, engkau tak jadi apa-apa. Sopo siro sopo insun. Angkuh. Merasa paling hebat sendiri. Begitu ilustrasinya.
Fase setelah syirik disebut munafik. Ini fase mencla-mencle. Tidak satunya kata dan perbuatan. Isuk dele sore tempe. Jika berkata ia bohong, kalau berjanji diingkari, bila dipercaya (amanah) ia mengkhianati. Nah, kelompok religius, khususnya muslim sudah membaca tanda-tanda kiamat selain hal-hal di atas, contohnya, kelak kiamat ditandai dengan munculnya Dajjal, Ya’juj Ma’juj dan seterusnya, salah satu di antaranya juga muncul Ruwaibidhah.
 
Rasullah SAW bersabda, “Akan datang tahun-tahun penuh dengan kedustaan yang menimpa manusia. Pendusta dipercaya, orang jujur didustakan, amanat diberikan kepada pengkhianat, orang jujur dikhianati, dan Ruwaibidhah turut bicara”. Lantas, beliau ditanya sahabat, “Siapakah Ruwaibidhah itu?” Beliau menjawab, “Orang-orang bodoh yang mengurusi perkara umum”. Poin intinya, Ruwaibidhah adalah sosok yang tak punya kapasitas keilmuan, tetapi ikut campur dalam urusan orang banyak. Dan Rasulullah telah memberi isyarat kemunculannya sejak 14 abad silam.
Fase terakhir sebelum kiamat —masa kehancuran— tiba disebut fasik. “Membuat kerusakan di muka bumi”. Pada fase ini, apapun kebijakan terkait umat justru membuat kerusakan di sana-sini meski dikemas dengan diksi dan semantik canggih, misalnya, sustainable, green energy, dan lain-lain.
Dua asumsi di atas, entah teori perubahan ataupun kiamat, silakan deskripsikan ke kondisi hari ini baik di level lokal/nasional, regional, maupun geopolitik global. Clue-nya begini: “Sudah di tahap mana perubahan dan/atau fase kiamat sekarang ini?”
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com