ATHG Komisi Penyiaran dan Komisi Informasi Tahun 2015

Bagikan artikel ini

Otjih Sewandarijatun, alumnus Universitas Udayana, Bali. Tinggal di Jakarta Timur

Setelah reformasi berdiri berbagai lembaga baru yang muncul sebagai respon atas public distrust terhadap kinerja dari organ pemerintahan yang ada.  Lembaga baru ini disebut dengan berbagai istilah, semisal komisi negara independen (independent regulatory agencies), administrative agenciesbaik di bawah cabang pemerintahan eksekutif maupun lembaga yang independen.  Komisi negara independen merupakan organ negara (state organs) yang dirancang untuk dapat bersifat independen, dan karenanya berada di luar cabang eksekutif, yudikatif dan legislatif.  Implementasi peranan komisi ini justru mempunyai fungsi gabungan ketiganya, baik itu kuasi eksekutif, kuasi legislatif atau kuasi yudikatif (Funk & Richard, 2001:23-24).  Dalam istilah lain suatu model organ yang demikian disebut juga sebagai lembaga kuasi negara atau auxilarry state institution.

Komisi Informasi Publik dan Komisi Penyiaran Indonesia merupakan lembaga negara independen yang dibentuk atas perintah undang-undang.  Komisi Informasi merupakan amanat dari UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan tugas utama yakni menyelesaikan sengketa informasi dan menetapkan kebijakan umum pelayanan informasi publik bagi badan-badan publik, dan bertanggungjawab ke Presiden.  Komisi Informasi secara hierarkis terdiri dari Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi Propinsi dan Komisi Informasi Kabupaten (bersifat opsional atau sepanjang dibutuhkan).  Sedangkan Komisi Penyiaran Indonesia dibentuk di tingkat pusat dan propinsi sebagai amanat dari UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dengan kewenangan sebagai regulator dalam penyelenggaraan penyiaran di Indonesia.  Kedua lembaga negara ini meski berbeda satu sama lain, tetapi memiliki fungsi yang penting karena menyangkut hak publik yang mendasar yakni kebebasan atas informasi dan berekspresi.
Jika kita cermati tren yang akan berkembang di tahun 2015, maka integrasi ekonomi kawasan dalam Komunitas ASEAN akan segera terjadi.  Bersamaan dengan itu, era digitalisasi ASEAN pun dimulai yang mempengaruhi berbagai sektor, terutama industri media massa dan penyiaran yang mulai mengalami migrasi dari analog ke digital, modernisasi pelayanan publik melalui e-government, e-commerce, National Single Window Services bagi pelayanan publik, dan lainnya. Terkait dengan industri media massa maka penyiaran akan menjadi salah satu sektor yang dinamis karena persaingan industri yang makin ketat, modernisasi tehnologi serta perubahan dalam struktur pasar yang makin berkembang dan dinamis.
Menghadapi perkembangan dalam industri media massa, terutama penyiaran, ada sejumlah isu penting yang akan dihadapi oleh KPI, yakni :
Pertama, ambiguitas dalam interpretasi kewenangan pemberian izin penyiaran antara pemerintah dan KPI perlu segera diselesaikan sehingga tidak menimbulkan dispute kewenangan dan memperjelas pertanggungjawaban atas penggunaan kewenangan dalam pelayanan publik.  Selama ini, terjadi tarik ulur kewenangan antara pemerintah dan KPI soal pemberian ijin penyiaran di tengah bergeliatnya industri penyiaran baik konvensional maupun nonkonvensional.
Kedua, kewenangan KPI sebagai regulator yang menentukan pedoman perilaku penyiaran, termasuk di dalamnya menyangkut content siaran, apakah itu berita iklan, hiburan dan lainnya secara faktual belum memiliki pengaruh yang efektif dalam mencegah pelanggaran maupun perlindungan hak-hak publik untuk mendapat tontonan atau tayangan yang layak sesuai dengan norma-norma publik yang berlaku.  Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya angka aduan publik atas dugaan pelanggaran pedoman perilaku penyiaran dari tahun ke tahun yang jumlahnya merangkak hingga mencapai puluhan ribu aduan.  Lihat saja berbagai tayangan yang melanggar ketentuan seperti content berita yang partisan, adegan kekerasan dan berbau pronografi, SARA, serta bentuk lainnya yang masih dapat dijumpai dalam program siaran televisi kita.
Memang, KPI telah memberikan sangsi baik teguran maupun pemberhentian sementara sejumlah program siaran.  Namun, kewenangan KPI yang tidak ditopang dengan kekuatan paksa dan eksekusi atas putusan KPI atas objek yang menjadi kewenangannya membuat KPI tidak memiliki daya dalam menegakan aturan penyiaran.  Bahkan, KPI seolah-olah hanya pelengkap penderita dalam industri penyiaran. Kondisi KPI yang demikian akan semakin sulit ketika berhadapan dengan ekspansi industri media asing yang melihat ceruk pasar potensial di Indonesia ketika integrasi ekonomi kawasan dan global semakin efektif.  KPI akan berhadapan dengan pebisnis media kelas dunia dalam tren konglomerasi dan konvergensi industri penyiaran.
Ketiga, KPI juga akan berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik baik dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan ketika menjalankan fungsinya.  Sikap partisan media massa terutama media penyiaran masih akan menjadi fenomena di tahun 2015 bersamaan dengan dinamika politik pasca Pilpres.  Hal ini sebagai akibat dari penguasaan pemodal dan sekaligus politisi dalam industri media massa.  Hampir sebagian besar televisi di Indonesia pada saat Pilpres 2014 menunjukan sikap partisan.  Karena itu, tanpa dukungan dari para elit politik yang berkuasa akan sulit bagi KPI untuk menegakan aturan.
Situasi serupa akan dihadapi oleh Komisi Informasi Publik.  Kebutuhan publik akan akses informasi badan-badan publik atau transparansi telah menjadi bagian dari isu publik karena menyangkut pengawasan dan akuntabilitas dari badan-badan publik.  Untuk itu, keberadaan Komisi Informasi menjadi urgen baik di tingkat pusat maupun daerah guna mendorong transparansi dan good governance.  Namun demikian, keberadaan Komisi Informasi akan menghadapi sejumlah persoalan mendasar yang perlu mendapat perhatian, di antaranya:
Pertama, secara kelembagaan akses publik untuk mendapat informasi dari badan-badan publik akan sangat ditentukan oleh dua organ utama yakni Komisi Informasi baik pusat maupun daerah dan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang seharusnya dibentuk di tiap instansi atau badan publik. Kendalanya adalah secara kelembagaan kedua organ tersebut belum efektif dan menyeluruh terbentuk sehingga menghambat publik dalam akses informasi publik yang telah ditentukan oleh UU.  Muncul kesan seolah-olah badan-badan publik dalam hal ini instansi pemerintah tidak memberikan prioritas dan masih dalam budaya tertutup dari akses publik, kecuali untuk informasi yang diklasifikan tertutup atau rahasia menurut UU.
Kedua, transparansi akan menjadi isu penting dalam integrasi ekonomi kawasan karena menyangkut iklim investasi yang tidak bisa dilepaskan dari peranan pemerintah.  Dunia bisnis akan menuntut pelayanan yang lebih transparan dan akuntabilitas dari lembaga-lembaga pemerintah penyedia layanan publik. Ketidaktransparanan dianggap sebagai celah untuk praktek KKN dan tidak kompatibel dengan kepentingan bisnis yang menekankan efektifitas dan efesiensi.  Terkait itu, jika standar pelayanan informasi publik tidak dapat ditetapkan dengan target yang lebih maju, maka terbuka kemungkinan lebih besar akan terjadi eksplosi sengketa informasi antara publik dengan badan-badan pemerintahan.
Ketiga, klausul tentang klasifikasi informasi yang dikecualikan bagi akses informasi publik menjadi kewenangan pejabat PPID.  Masalah kemudian adalah interpretasi klasifikasi informasi menjadi sangat dipengaruhi oleh kepentingan subjektif PPID dari badan publik terkait.  Hal ini berpotensi menjadi hambatan dalam membuka akses seluas-luasnya bagi publik atas informasi dari badan-badan publik.  Namun demikian, di sisi lain dapat pula dipahami kekhawatiran bahwa negara perlu melindungi informasi-informasi tertentu yang dianggap sensitif semisal menyangkut keamanan, penegakan hukum dan lainnya.  Karena itu menjadi penting untuk memastikan adanya aturan yang lebih jelas mengenai klasifikasi informasi.
Keempat, akan terbuka potensi dimana klausul mengenai kedudukan pemohon informasi yang ditentukan oleh UU yakni warga negara maupun badan hukum Indonesia mengalami tantangan karena kebutuhan aktor-aktor global, terutama yang digerakan oleh integrasi ekonomi kawasan dan global.  Batasan status kewarganegaraan dan badan hukum akan dianggap sebagai kendala bagi kekuatan di luar ketentuan tersebut yang memiliki kepentingan strategis di Indonesia, terutama bisnis.
Persoalan akses informasi publik ringkasnya akan muncul terkait dengan isu kelembagaan yang belum mapan baik di tingkat pusat maupun daerah, ruang lingkup dan klasifikasi objek informasi, standar prosedur pelayanan informasi publik serta kultur transparansi yang belum terbentuk.  Meski demikian, perlu dicermati bahwa para pembuat kebijakan penting untuk menempatkan kepentingan nasional dalam berbagai dimensi dalam melakukan perbaikan kinerja dalam pelayanan informasi publik.  Alfin Toffler, seorang futurolog mengatakan bahwa informasi merupakan sumber daya kekuatan terpenting abad modern, siapa menguasai informasi maka dia memiliki sumber daya untuk berkuasa.  Karena itulah, tuntutan atas akses informasi perlu untuk dikaji secara mendalam agar kebutuhan informasi publik dapat terselenggara tanpa membahayakan kepentingan nasional.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com