Bagaimana Kabarmu, Kim Jong-un?

Bagikan artikel ini

Panggung politik ‘Dua Korea’ di Semenanjung Korea, sesungguhnya merupakan abstraksi proxy war yang nyata di muka bumiSedang proxy war itu sendiri, dapat dimaknai sebagai konfrontasi antardua (negara) kekuatan besar tetapi melalui pemain-pemain pengganti (proxy). Urgensi pemain pengganti dalam perang tersebut adalah menghindari konfrontasi langsung. Artinya, jika ‘dua kekuatan’ terjadi konflik secara langsung niscaya akan berakibat fatal, justru beresiko kehancuran bagi keduanya. Inilah ciri khusus perang jenis baru, dimana antara pihak yang bertempur tak langsung bersentuhan.

Dan pihak ketiga selaku proxy, selain lazimnya ialah negara-negara kecil (dalam orbit dan pengaruh para adidaya), sering berupa nonstate actors semacam lembaga swadaya (LSM), organisasi massa, Multinational Corporations (MNCs), dan tak jarang pula via tangan-tangan golongan dan kelompok-kelompok tertentu di masyarakat, atau bahkan melalui individu-individu tertentu dengan mengatasnamakan HAM,feedom, aliran dalam agama, perang budaya, “agama”, ekonomi, demokrasi, dan lain-lain.

Dalam perang proxy, mungkin sulit dikenali siapa kawan-siapa lawan, oleh karena perseteruan para pihak sering tak menyentuh sasaran, artinya ia dikendalikan dari kejauhan (remote control). Adanya kendala untuk menemukan bukti-bukti baik formil, yuridis maupun materiil yang akan mengungkap siapa di belakang para pihak, hampir menjadi keniscayaan. Namun bagi kalangan tertentu yang ‘sasmita’, gerakan mereka lazimnya dapat diendus lewat pola-pola yang ditampilkan pada modus yang digunakan.

Gambaran lain proxy war itu ibarat pertunjukan wayang. Ada tiga unsur pokok di setiap pagelaran yang terdiri atas: “Wayang, Dalang, dan Penanggap”. Penanggap disini sering disebut sebagai Pemilik Hajatan. Dalam interaksinya, sang wayang akan ikut maunya si dalang, sementara si dalang tergantung hasrat si pemilik hajatan dimana pasti ada ‘ijab kabul’ sebelum pagelaran terhampar. Begitulah garis besarnya. Ilustrasinya ialah, “Pak Dalang, saya minta lakonnya Petruk Dadi Wedus (disembelih), jangan Petruk Dadi Ratu lagi, karena lakon Petruk Dadi Ratu sudah sering digelar di Indonesia via pagelaran Otonomi Daerah dan one man one vote!” Jelas? Siap, Pak!

Usai Perang Dingin (1947-1991), sesungguhnya skenario bertajuk ‘Benturan Peradaban’ (Clash of Civilizations) antara Kapitalisme versus Komunisme telah dianggap sejarah masa lalu oleh AS selaku pemenangnya. Pertanyaannya kini, “Apakah konflik di Semenanjung Korea hanyalah artefak Perang Dingin, atau puzzle lain yang tersisa?”

Tak bisa dipungkiri siapapun, proxy war yang terjadi di Korea jelas merupakan perpanjangan atau perwalian perang antara AS melawan Cina. Ada puzzle lain berserak saat detik-detik hancurnya Soviet dulu, tanda berakhir Perang Dingin. Korsel itu proxy-nya kapitalis AS, sedang Korut ialah pemain pengganti daripada komunisme Cina. Itulah sisa puzzle. Kendati dalam implementasi politik abad XXI kini, Cina boleh dikatakan sukses mengadopsi dua ideologi melalui kebijakan yang bernama “One Country and Two Syatem”, sebuah sistem negara dengan elaborasi sosialisme dan kapitalisme hidup berdampingan.

Agaknya, pecahnya Uni Soviet menginpirasi Negeri Tirai Bambu untuk tetap konsisten dan komitmen terhadap “Sosialisme Berciri Cina”. Artinya, sistem perekonomian boleh “bebas” (kapitalisme), tetapi kontrol politik tetap dalam kendali Partai Komunis Cina (PKC).

Kembali ke Korut. Dari sisi geopolitik, meskipun geliat Korut itu dalam kendali Cina, karena “Beijing mengendalikan lebih dari 70% ekonomi Korut melalui ekspor dan bisa mematikan negeri itu kapan saja, tetapi tidak pernah ia lakukan,” kata Brett Daniel Shehadey dari Asia Times (19/3/2012), tetapi pada perspektif hegemoni Cina sendiri, peran Korut tidak sekedar buffer zone dalam menangkal pengaruh Barat di wilayahnya, juga sering ia diperankan sebagai ‘anjing geladak’ yang siap mengonggong untuk kepentingan “tuan”-nya, Cina.

Sebaliknya bagi Korut, Beijing adalah mitra dagang utama dan sekutu dekat, baik sekutu ideologis (komunis) maupun pragmatis. Ekspor minyak Cina mencapai 300.000 barel per bulan dan telah 60-an tahun berjalan tanpa ada sinyal akan ditinggalkan oleh Cina. Kenapa demikian, menurut Shehadey, kehancuran Korut justru akan menimbulkan permasalahan tersendiri bagi Cina. Ia bakal terimbas pengungsian massal, imigrasi besar-besaran, atau dampak sosial dan keamanan lain ketika Korut bangkrut secara politik dan negara.

Itulah gambaran sepintas hubungan antara Cina dengan Korut, selain memiliki ikatan ideologis dan pragmatis, juga merupakan sekutu tradisional sejak dahulu. Dan barangkali, hanya Cina yang mampu mengendalikan ‘keliaran’ Korut di panggung politik global.  Sekali lagi, hanya Cinalah yang bisa mengontrol Korut secara mutlak!

Akan tetapi, tatkala Kim Jong-un naik takhta menggantikan bapaknya, Kim Jong-il yang mati tahun 2013, kontrol Cina terhadap Korut seperti melonggar dan bahkan hampir tak dapat dikendalikan. Eksekusi mati atas Jung Sun Taek (paman Kim Jong-un sendiri) misalnya, telah menimbulkan sedikit keretakan hubungan, oleh karena Taek merupakan orang kepercayaan Cina selama kedua negara menjalin hubungan ideologis.

Di satu sisi, semakin meluasnya ekspansi ekonomi Cina melalui konsep One Country and Two System, karena jangkauan kebijakan tersebut selain merambah pasar di belahan bumi Barat juga mampu menjalin pertalian ekonomi dengan Korsel, tetangga dekat yang merupakan “proxy”-nya Paman Sam. Sementara Presiden Cina, Xi Jinping berkeinginan untuk terus menarik investasi asing dalam jumlah besar dari seluruh dunia ke Cina serta memperluas hubungan dengan berbagai negara, terutama AS. Kenapa Paman Sam, secara geo-ekonomi ia dianggap sebagai pelahab produk dan ekspor Cina terbesar serta paling menguntungkan sebagai sumber devisa yang penting dari produk makanan khususnya, di antara produk-produk lain. Dengan demikian, adanya gangguan dalam hubungan itu akibat memanasnya suhu politik misalnya, niscaya akan merugikan Cina itu sendiri.

Namun di sisi lain, “kegaduhan politik” yang membuat gerah Barat, sering ditabuh oleh Kim Jong-un di panggung politik. Hal ini jelas “mengganggu” hubungan diplomasi terutama bidang ekonomi antara Cina dan Paman Sam. Uji coba nuklir misalnya, selain menghebohkan negara-negara Barat, juga berujung sanksi PBB bagi Korut. Juga kecaman Jong-un terhadap AS, “Bahwa yang paling bertanggung jawab atas ketidakstabilan situasi dunia dengan mengganggu negara-negara muslim adalah AS!”. Teroris hanyalah kedok untuk menggulingkan negara Islam, lanjut diktator muda tersebut.

Dunia mengetahui, hanya Cina seorang yang mampu menghentikan langkah kontroversi Korut di panggung global karena faktor geopolitik sebagaimana diurai sekilas di atas, termasuk pembiayaan nuklir adalah sokongan dari Negeri Tirai Bambu. Hal ini ditegaskan oleh David Cohen, Menteri Muda Keuangan AS bidang Terorisme dan Intelijen, “Kami tidak mendengar apapun selain niat kuat dari pejabat senior Cina untuk mengenakan saksi PBB yang memutus pembiayaan program nuklir Cina”. Dan kemungkinan besar, Cina tak ingin pasar dan geliat ekonominya terkendala di pasar AS dan negara-negara sekutunya.

Tak ada kawan dan lawan yang abadi kecuali kepentingan. Itu sudah jamak dalam dunia politik. Juga isyarat Pepe Escobar, bahwa politik praktis bukanlah yang tersurat melainkan apa yang tersirat. Ini pun kian jamak dalam perpolitikan global. Maka mencermati pertemuan Obama dengan Xi Jinping dalam skema “one-on-one” terkait KTT Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di Beijing, November 2014, niscaya ada hidden agenda yang tak dipublikasikan oleh Susan Rice, Penasihat Keamanan Nasional, yang datang mendahului di Cina. Rice hanya menyampaikan, bahwa bakal ada “tonggak penting” dalam pertemuan kedua pemimpin adidaya tersebut terkait hubungan antara Cina dan AS.

Maka berita “hilang”-nya Jong-un dari hiruk-pikuk politik selama ini, pertanyaan selidiknya adalah, “Apakah hidden agenda (tonggak penting) tersebut terkait bargaining AS terhadap Cina agar mengganti model kepemimpinan di Korut demi kepentingan (ekonomi) yang lebih besar?” Sekali lagi, tak ada kawan dan lawan yang abadi kecuali kepentingan. Kim Jong-un, mana kegaduhanmu sekarang?

Terimakasih

(Pointers Diskusi di Global Future Institute, Jakarta, pimpinan Hendrajit)

Saran Bacaan:

Revealed: The Halliburton Conspiracy to Unify Korea!

Former Top Official Says Kim Jong-un Is No Longer in Control of North Korea,

Pyongyang ingin hubungan ekonomi dengan Beijing terus berlanjut,

Kim Jong-un kirim utusan kepercayaan ke China,

Korea Utara melanjutkan penyelundupan manusia, China mengetatkan keamanan perbatasan,

China fokuskan tekanan pada Korea Utara,

Resolusi PBB 2094 jatuhkan sanksi kepada Korea Utara,

Amerika Serikat Kembali Kirim Militernya ke Korsel,

AS Tuai Keuntungan dari Perang Suriah,

Babak Baru Hubungan Korsel-Korut Lewat Pembicaraan Tingkat Tinggi,

Presiden Korut: Terorisme Hanyalah Kedok Amerika Untuk Gulingkan Negara Islam,

Rice: Kunjungan Obama ke Tiongkok,

“Tonggak Penting” Korut Peringatkan Kemungkinan Munculnya Konflik Bersenjata di Asia Pasifik,

Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com