Bagaimana Kita Memaknai Keluarnya Inggris dari Keanggotaan Uni Eropa?

Bagikan artikel ini

Sekutu sejati mungkin istilah yang lebih pas untuk menggambarkan hubungan bersejarah dan tradisional antara Inggris dan Amerika Serikat. Justru lepasnya Inggris dari Uni Eropa, semakin memperjelas tekad kedua negara Anglo Saxon tersebut untuk back to basic.

Seraya menggambarkan adanya hubungan yang semakin rentan antara Inggris-AS dengah Jerman maupun Perancis. Memang kalau merujuk pada Perang Dunia II atau Perang Dunia I, Perancis bersekutu dengan Inggris dan AS melawan Jerman.

Tapi persekutuan ini sangat rapuh, karena dasarnya adalah keterpaksaan perlunya sekutu menghadapi Jerman. Namun Perancis itu sendiri, kalau merujuk pada era Napoleon Bonaparte, merupakan sebuah kekuatan baru yang merupakan ancaman bagi Inggris dan sekutu-sekutunya di eropa.

Sehingga terbentuklah koalisi internasional yang dimotori Inggris untuk melawan Kepemimpinan Bonaparte di Eropa. Persis Sadam Hussein atau Khadafi di Timur Tengah, menghadapi negara negara Arab yang bersekutu dengan Amerika dan Inggris.

Meski pada 1815 Bonaparte berhasil disingkirkan dan dibuang ke Pulau St Helena hingga wafatnya, dan muncul para pemimpin baru Perancis yang pro Inggris dan sekutu-sekutunya, namun bawah sadar Perancis yang merasa berbeda secara sosial-budaya dengan Inggris dan Amerika yang notabene dari ras Anglo Saxon, tetap tertanam di alam bawah sadar bangsa Perancis. Hingga kini.

Sebenarnya kalau soal ketergantungan ekonomi masih bisa didamaikan. Tap[ karena ada yang sesuatu yang non ekonomi Inggris korslet, maka memicu keputusan exit dari UE. Misalnya soal penyelesaian krisis Suriah, Jerman dan Perancis justru sejalan sam Rusia, agar penyelesaian damai di Suriah tidak otomatis berarti menggulingkan Presiden Assad.. Tapi ini hanya salah satu pemicu, masih banyak lainnya lagi. Soal invasi AS ke Irak pada 2003, Jerman dan Perancis menolak tindakan sepihak George W Bush. Kedua negara itu cenderung membawa masalah Irak ke Sidang Dewan Keamanan PBB terlebih dahulu.

Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com