Paparan Agus Hans Satyabudi (Budayawan) yang disampaikan pada kegiatan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk: “Masyarakat Adat, Peran dan Masa Depannya“, yang diselenggarakan oleh DPP Aksi Bela Negara (ABN RI) dan Global Future Institute (GFI) pada Rabu, 27 Februari 2019.
Saya ingin memulai dari titik kosong. Karena kalau kita mengikuti perkembangan seperti sekarang ini, sudah lama kita salah jalan. Tahun 2000 mungkin kita masih ingat dengan penulis buku Alvin Toffler dan John Naisbitt. Saya katakan itulah awal mula hoaks sebenarnya.
Mereka yang menciptakan dunianya seperti ini. Kita percaya dan kita masuk dalam mimpi mereka. Sedangkan yang mereka berikan adalah alibi. Kita punya mimpi sendiri. Saya coba melihat mimpi kita sendiri ini.
Sebagai sebuah titik di dalam kertas kosong, di titik itu kita semua ada. Di tengah itulah hati kita. Hati kita bersama-sama.
Bung Karno pernah mengatakan, saudara-sadauraku sebangsa setanah air. Artinya, kita ini satu udara. Satu udara yang menyebabkan kita hidup bersama. Jika kita berpaling pada nilai-nilai sejarah atau legenda-legenda yang ada di daerah kita masing-masing, kita akan dapatkan kesamaan. Inti daripada kehidupan bernegara kita adalah sama, satu.
Pancasila adalah empat unsur. Tanah, air, api dan angin. Tanah dan api diterjemahkan merah. Angin dan air adalah putih. Tanah air merah putih. Itulah dasar kita bernegara untuk merdeka.
Di adat Papua, ada satu cerita di saat Bung Karno berda di Boven Digoel datang dua orang tua, kuli dan pantei. Kuri dan Pansai menyerahkan dua batu merah dan putih sebagai simbol penyerahan bumi cenderawasih, mutiara hitam. Yapen luma yapen. Dari raja Ampat untuk membuka. Mungkin tidak perlu diteruskan. Pohon, pohon dan tanda silang.
Intinya adalah semua penuh dengan bahasa sandi. Bahasa sandi yang selama ini kita lupakan. Itu adalah simbol empat dan tanda silang sebagai pembuka tempat-tempat yang penuh dengan titik ordinat. Seperti dimana tempat burung cenderawasih bernyanyi dan menari. Itu budaya.
Kemudian juga saudara kita dari Kalimantan. Di sana ada kerajaan tua Nansarunai menjadi kerajaan Tarunai atau Brunei dipakai tetangga kita, kemudian menjadi Borneo. Bakula Rauna, Bola warna.
Dan ketika kita bicara empat unsur alam tadi, kita bicara bahasa alam semesta, bahasa cahaya. Di dalam cahaya itu, disitu anak dari cahaya, itu adalah warna. Dan warna itu hanya bisa dimengerti dengan bahasa hati.
Jika kita tidak satu hati, tidak memakai hati kita, kita tidak akan bisa pernah bersatu dalam satu warna dan satu hati. Oleh sebab itu kita mesti kembali kepada sebuah titik. Titik itu kita sebut hati. Itu berada pada pusat empat unsur tadi. Ketuhanan Yang Maha Esa. Berada di Tengah. Kemanusiaan yang adil beradab. Sila kedua, sebagai simbol kecerdasan hati. Persatuan Indonesia sebagai simbol tempat dimana kita bersama, itu sila ketiga. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan sebagai sila keempat. Dimana hikmat dan kebijaksanaan tadi adalah milik Allah Subhanahu wa ta’ala. Hanya bisa dimengerti dengan hati dan bisa kita ajak berkomunikasi dengan bermusyawarah. Lalu kita bisa mencapai sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bagaimana kita mencapai itu? Pancasila ini bukan hanya sekedar simbol-simbol. Pancasila itu hidup seperti ketika alam semesta ini diciptakan. Allah mengatakan kun fayakun, alam semesta ini sudah ada. Cerita nusantara ini sudah ada sejak awal sampai nanti berakhir. Yang menjadi pertanyaan kita, jika saat ini kita masih tau masih kenal dengan yang namanya nusantara.
Sejak prasasti Kebun Kopi, Tarumanegara, nusantara sudah mulai ada. Kemudian ketika prasasti Batutulis, disitu sebenarnya ditunjukkan kepada kita bagaimana mereka membangun nusantara ini.
Itu adalah koordinat. itu adalah tata cara bagaimana membangun nusantara. Tapi sayang selama ini kita hanya melihat sebagai batu yang ada coret-coretan saja. Terkait ini, bila ada kesempatan, nanti kita akan mengupas lebih lanjut.
Kemudian menjadi pertanyaan setelah kita berkumpul ini, apakah masih ada nusantara di hari esok? Apakah masih ada nusantara bagi anak cucu kita? Jika tidak, betapa bersalah dan berdosanya kita. Oleh sebab itu inilah saatnya kita melihat kedepan. Kita lihat masa depan untuk kita semua. Nusantara sudah ada sejak dulu sampai nanti.
Titik di tengah yang tadi, kalau di Bali mereka memakai budaya atau adat disebut Panca Mandala Darmawawangse, yang diterjemahkan menjadi buku Jala Sutra. Di Timor dikenal Patasiwa Patalima. Kemudian di Jawa, kita sebut Papat Kalima Pancer. Di Jawa Barat dengan ilmunya Prabu Siliwangi, kakang kawah adi ari ari sedulur papat kalimo pancer. Itu semua bagaimana menyatukan diri kita dengan alam nusantara.
Ketika alam ini dijadikan, bila kita membaca Al Qur’an surat al Hadid ayat 3 difirmankan: “Aku adalah awal, aku adalah akhir, aku adalah dhohir dan aku adalah ghoib. Dan Aku Maha Mengetahui. Di mana tempatku di hati.”
Bila kita bicara surat ini, kita sudah bicara tentang ruang dan waktu dan ilmu, yang tempatnya ada di hati. Dikatakan aku adalah awal, aku adalah akhir. Itu bukan Allah, karena Allah tiada awal dan tiada akhir. Itu bicara ciptaan.
Aku adalah awal, aku adalah akhir, kita bicara tentang waktu. Disitulah waktu dimana nusantara itu ada. Sejak dulu sampai nanti seharusnya.
Aku adalah dhohir dan aku adalah ghoib. Disitulah ruang dimana nusantara seharusnya ada. Ghoib disitulah ada ruangan adat, jiwa dan logika. Dhoir, geografis kita dan waktu yang bila kita lakukan saat ini. Kita dipersilahkan melihat dengan masa lalu untuk melihat masa depan.
Sesungguhnya manusia itu merugi, seperti disebutkan dalam surat Al Ashr. Kita tentunya tidak mau merugi sekarang. Karena mereka hanya melihat dalam hitungan waktu. Kita harus bergerak sebaliknya dari waktu. Gerakan kita harus tawaf.
Ini yang harus kita lakukan bagaimana menggunakan hati kita. Kita bergerak tawaf, mengikuti alam, mengikuti gerak ilmunya budaya kearifan lokal. Disitulah bagaimana kita bisa belajar dari saat kita masih kecil.
Kalau kita melihat di dalam buku dan saya coba menyimpulkan, agar kompas ini lebih mudah dibaca, saya beri angka. Angka hanya sembilan dalam hidup kita. Tapi jika salah kita meletakkan sembilan angka ini, kita akan menjadi limbah di dunia.
Kita mampu dari nol kembali ke nol. Maka di dalam kompas jala sutra, kita coba mengungkap sembilan angka tadi.
“Aku adalah awal, Aku adalah akhir.” Itu adalah angka. Angka empat menuju delapan. Angka empat antara merah dan putih, antara api dan angin. Itulah posisi jiwa dan ruh. Delapan adalah posisi tanah dan air.
“Akulah adalah Ghoib, Akulah wujud”. Ghoib kita adalah sama. Jiwa yang sama, ruh yang sama. Sejak alam semesta ini diciptakan hanya satu, itulah Bhineka Tunggal Ika.
Begitu banyak yang bisa kita gali dari nilai-nilai budaya. Dan itu kita tinggalkan. Kita tertipu oleh John Naisbitt dan Alvin Toffler. Parahnya kita ikuti mimpi mereka. Oleh sebab itu mari saatnya kita menentukan mimpi kita sendiri dengan membangun negeri kita sendiri, budaya kita sendiri. Dan kita menggapai nusantara Indonesia yang abadi. Sekian Terima kasih.