A.S. Laksana
Sejauh mana Barack Obama akan membawa Amerika? Ini pertanyaan yang terus mengusik saat kita mencermati langkah-langkah yang ia lakukan di masa-masa awal kepemimpinannya.
Sejauh mana Barack Obama akan membawa Amerika? Ini pertanyaan yang terus mengusik saat kita mencermati langkah-langkah yang ia lakukan di masa-masa awal kepemimpinannya: ia memerintahkan penutupan penjara-penjara bawah tanah NATO di Eropa, menutup penjara Guantanamo yang menjadi tempat penyiksaan, mendeklasifikasi memo presiden George W. Bush yang mengizinkan “penyiksaan” terhadap para tawanan, dan ia menawarkan komunikasi yang lebih waras dan lebih produktif dengan negara-negara lain yang sejauh ini masuk dalam kategori musuh-musuh Amerika. Ia cakap dan percaya diri dalam menjalankan keputusan-keputusannya. Dan ia pintar berkomunikasi. “Anda bisa mengharapkan upaya tak kenal lelah dari pemerintahan ini untuk meningkatkan kemakmuran dan keamanan kita pada seratus hari kedua, seratus hari ketiga, dan seluruh hari sesudahnya,” katanya pada Rabu (29/4) lalu dalam pidato 100 hari pertamanya memimpin pemerintahan. Rakyat Amerika menaruh keyakinan pada langkah-langkahnya; jajak pendapat paling akhir oleh Gallup memberi persetujuan kepada Obama sebesar 65 persen.
Sebelumnya, di masa kampanye, ia telah menunjukkan dirinya sebagai seorang komunikator hebat yang berhasil meyakinkan mayoritas warga Amerika untuk memilih dirinya dan mempercayakan kursi kepresidenan kepadanya. Itu proyek mahabesar bagi seorang warga negara keturunan Afrika yang menyandang nama “lucu”—istilah yang digunakannya sendiri dalam buku yang ditulisnya—sebuah nama yang menyiratkan akar keislaman dari pihak ayahnya, dan ia berhasil secara gemilang dalam proyek tersebut. Dan keberhasilannya menjadi orang nomor satu di Gedung Putih, bagaimanapun, telah membangkitkan sensasi dan harapan tertentu dalam dunia kepolitikan Amerika hari ini dan itu meluas hingga ke berbagai belahan dunia.
Dalam masa seratus hari pertamanya, dunia melihat penampilan seorang presiden Amerika yang jauh berbeda dari presiden sebelumnya, George Walker Bush, yang mengkhayalkan dirinya sebagai pemimpin “Perang Salib” modern saat menggaungkan perang melawan terorisme—apa pun yang ia namakan terorisme itu. Obama membuka komunikasi. Bush mengesankan dirinya sebagai orang yang hanya mau tahu apa yang ada dalam benaknya sendiri, apa yang ia inginkan, dan bagaimana itu diwujudkan apa pun alasannya, bahkan ketika alasan itu pun terbukti ketidakbenarannya. Dan Bush bukan satu-satunya presiden Amerika yang seperti itu. Kita mengenal nama Lyndon B. Johnson yang membuat alasan palsu untuk menggempur Vietnam dan Laos, Nixon untuk Cile dan Kamboja, Reagan untuk Nikaragua dan El Salvador, dan sebagainya.1) Ada puluhan manuver dan intervensi Amerika dan itu sering melibatkan alasan palsu oleh pemerintahan yang sedang berkuasa.
Sampai berakhirnya abad kedua puluh, Amerika tercatat telah mengirimkan lebih dari 250 juta serdadunya untuk berperang di negara-negara lain; dan dalam rentang waktu setelah PD II hingga saat ini, AS adalah negara yang paling banyak mengobarkan peperangan di negara lain. Jumlah itu tentunya telah bertambah lagi dengan perang yang dikobarkan George Walker Bush di Afghanistan dan Irak di awal abad ke-21.
Kini kita melihat Obama yang menawarkan “bahasa” yang berbeda dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain. Obama seperti memiliki kesediaan untuk berkomunikasi dengan bahasa yang digunakan oleh lawan bicaranya dan membawa pembicaraan ke tingkat yang lebih konstruktif. Karenanya tidak mengherankan bahwa kita bisa mengharapkan munculnya babak baru dalam hubungan Amerika dengan negara-negara seperti Kuba, Venezuela, dan bahkan arah yang membaik dalam diplomasi dengan Iran.
Setidaknya Obama menawarkan sebuah pola komunikasi yang tidak kita jumpai pada beberapa pendahulunya yang gemar menempatkan diri sebagai pusat penilaian “baik-buruk”, yang karena itu cenderung melakukan campur tangan dan mengirimkan pasukan untuk berperang. Obama memiliki kemampuan luar biasa untuk membangun kedekatan dengan siapa pun ia berbicara; ia memiliki kecakapan sebagai seorang komunikator ulung yang mampu mengubah perilaku orang lain. Jika kita melihat bagaimana Presiden Venezuela, Hugo Chavez, menyodorkan jabat tangan kepadanya, maka di sana kita melihat bagaimana Tuan Presiden telah membuat dirinya bisa diterima oleh pihak yang semula menegaskan sikap kerasnya kepada Amerika.
Apakah Obama sebuah anomali? Sejauh ini, ya. Terutama jika kita melacak jauh ke belakang riwayat sepak terjang Amerika di berbagai negara di hampir seluruh belahan bumi, yang dimulai dengan manuver CIA pada mulanya, dilanjutkan kemudian dengan pengiriman tentara setelah “alasan” ditemukan, dan diakhiri dengan terbentuknya pemerintahan baru di negara bersangkutan yang menopang kepentingan Amerika. Jika intervensi gagal melahirkan pemerintahan baru, maka Amerika akan melakukan berbagai upaya untuk menjatuhkan sanksi dan pengucilan kepada negara yang bersangkutan.
Tiga Pilar Amerika
Intelijen, militer, dan industri. Itulah tiga pilar yang sejauh ini melandasi kepentingan Amerika dengan politik luar negeri yang dijalankannya, terutama yang berkaitan dengan negara-negara Dunia Ketiga. Dan itu adalah tiga pilar yang selalu memerlukan musuh. Militer dan CIA memerlukan musuh sebagai alasan bagi keberadaan mereka. Industri, terutama kontraktor pertahanan, memerlukannya karena musuh harus diperangi, dengan persenjataan canggih dan sistem pertahanan udara; dan musuh dari musuh mereka harus dipersenjatai.
Kekayaan korporasi ini menjadi melambung, melebihi kekayaan sejumlah negara di dunia. Para eksekutif korporasi-korporasi ini menikmati kelimpahan berkat penunjukan diri sendiri sebagai polisi dunia. Kekayaan dan pengaruh mereka, didampingi dengan ketundukan media yang diperlukan untuk memelihara dan mengekalkan ketakutan, dulu terhadap “komunisme” dan kini “terorisme”, telah berlangsung berpuluh tahun dan makin menguat. Tiga pilar itu mengandung sifat alami yang menyebabkan intervensi terhadap musuh-musuh tidaklah terhindarkan.
Dalam kasus-kasus seperti Grenada, El Salvador, dan Nikaragua, sekalipun target intervensi tidak menjanjikan kesempatan ekonomi yang berlimpah bagi multinasional Amerika, CIA dan angkatan perang Amerika merasa tetap wajib turun tangan. Retorika dan program sosialis-revolusioner selalu merupakan ancaman yang harus disetop demi memelihara prinsip, dan juga sebagai peringatan bagi yang lain. Kasus-kasus dengan negara-negara kecil itu, yang terjadi berulang-ulang, menunjukkan betapa takutnya Amerika terhadap munculnya “contoh baik” dari Dunia Ketiga: lahirnya sebuah masyarakat mandiri yang tidak terikat pada Washington.
Di masa perang dingin, setiap pemerintahan dan gerakan yang mencanangkan program dan retorika semacam itu jelas tidak bisa menjadi sekutu Amerika. Negara yang tidak bisa dijadikan sekutu dalam Perang Dingin dengan segera dinyatakan sebagai “komunis”. Untuk memerangi itu diciptakanlah kemudian istilah tandingannya, yakni “keamanan nasional”. Ini sebuah gerak meliuk yang semata-mata bertolak dari pepatah: jika komunis tidak ada, Amerika harus menemukannya.
Dengan frase “keamanan nasional” sebagai alasan, kosakata “komunis” (dan juga “Marxis”) telah dimanfaatkan secara berlebihan, dan diselewengkannya sedemikian rupa, oleh pemimpin-pemimpin Amerika dan media massa sehingga menjadi benar-benar tidak bermakna. Kita sendiri sendiri pernah mengalami periode seperti itu di masa Orde Baru, yakni ketika segala ekspresi kekecewaan atau diskusi buku bisa diteriaki: “Komunis!” Musuh memang perlu diberi nama, dan juga ciri-ciri, dan dengan menyerukannya setiap waktu—entah komunis atau tukang sihir—maka rasa takut bisa dikondisikan dan kita menjadi meyakini keberadannya.
“Kita harus melawan mereka,” kata para petinggi Amerika. Dan “mereka” bisa berarti para petani di Filipina, pelukis mural di Nikaragua, perdana menteri yang terpilih dalam pemilu di Guyana Inggris, intelektual Eropa, orang-orang Kamboja yang netral, dan kaum nasionalis Afrika, dan siapa saja yang dikehendaki oleh Amerika. Mereka menjadi bagian dari konspirasi sepihak, dan dicitrakan sebagai ancaman bagi pandangan hidup bangsa Amerika. Pada masa perang dingin, tidak ada ancaman lain yang lebih menakutkan kecuali “ancaman komunis”. Pada masa sekarang, tidak ada yang lebih mengerikan ketimbang “ancaman teroris”, sehingga George Walker Bush sampai menyerukan perang salib dan menimpakan kehancuran Irak dan Afghanistan. (Di tulisan lain nanti, kita akan melihat alasan bohong di balik misi penyerbuan Amerika kepada dua negara tersebut.)
Mentalitas Konspirasi
Berkenaan dengan “komunisme”, ketika nama sudah diberikan dan ketakutan ditingkatkan, langkah selanjutnya adalah menemukan ciri-ciri umum mereka yang pantas diperangi. Maka, kita tiba pada pertanyaan selanjutnya: apa kesamaan pada setiap negara yang kemudian menjadi target gempuran dan patut dihujani bom oleh negara paling kuat di dunia itu?
Dalam setiap kasus di Dunia Ketiga, mereka pantas dijadikan sasaran ketika membuat Amerika tidak nyaman dengan kebijakan “berdiri di atas kaki sendiri”. Kita pernah mencatat suatu masa ketika negara Dunia Ketiga dikobarkan oleh gairah dan semangat untuk memerdekakan diri dari kolonialisme Barat dan ingin berdiri bebas di antara dua kekuatan yang sedang bersitegang. Itu semangat zaman yang menampilkan manifestasi umumnya dalam bentuk: (1) ambisi untuk memerdekakan diri dari ketergantungan ekonomi dan kepatuhan politis kepada Amerika, (2) keengganan untuk meminimalisasi hubungan dengan blok sosialis, atau keengganan untuk menekan kaum kiri di negeri sendiri, atau penolakan untuk membuka diri terhadap instalasi militer AS di negeri mereka, (3) munculnya upaya untuk mengganti pemerintahan yang tidak menjalankan semua cita-cita ini.
Amerika memiliki tafsirnya sendiri dalam menghadapi negara-negara yang mengembangkan gairah seperti ini: mereka adalah anti-Amerika. Dalam cara pandang seperti ini, kecenderungan untuk menjaga netralitas oleh sebuah negara sudah bisa melahirkan tudingan pro-komunis. Sepanjang berlangsungnya perang dingin, berulang kali AS menunjukkan ketidaksiapan dirinya untuk menghadapi sikap netral yang ditunjukkan oleh pemimpin negara-negara Dunia Ketiga, dan juga ketidaksenangannya terhadap retorika dan gerakan revolusioner di negara-negara tersebut. Mossadegh dari Iran, Soekarno dari Indonesia, Nkrumah dari Ghana, Sihanouk dari Kamboja, semuanya—menurut AS—harus menyatakan diri secara tegas berada di pihak “Free World”—dunia bebas yang dikomandani oleh Amerika. Ada konsekuensi serius jika mereka menolak ajakan itu.
Terhadap tekanan dari pihak Barat ini, Kwame Nkrumah, presiden Ghana tahun 1960-1966, menyatakan pendapatnya sebagai berikut: “Eksperimen yang kami coba di Ghana pada intinya adalah membangun negara dalam kerjasama dengan dunia secara keseluruhan. Begitulah yang sebenarnya diserukan oleh non-blok. Kami tidak memusuhi negara-negara sosialis sebagaimana yang dilakukan oleh negeri-negeri bekas penjajah. Harap anda ingat, sementara Inggris mencoba mengembangkan hubungan damai dengan Uni Soviet, hal yang sama tidak boleh dilakukan oleh negeri-negeri bekas jajahannya. Buku tentang sosialisme, yang diterbitkan dan dijual bebas di Inggris, dilarang di negeri-negeri koloninya. Dan setelah Ghana menjadi negara merdeka, asumsi tersebut tak pernah berubah. Ghana yang merdeka diharuskan terus melakukan pendekatan ideologis yang restriktif seperti sebelumnya. Ketika kami melakukan hal yang sama dengan Inggris dalam berhubungan dengan negara-negara sosialis, kami dituduh sebagai pro-Rusia dan membawa ide-ide yang sangat berbahaya bagi Afrika.”
Situasi Dunia Ketiga yang digambarkan oleh Nkrumah itu mengingatkan kita pada situasi kelam bagian selatan Amerika di abad ke-19. Pada waktu itu banyak sekali budak-budak yang disengsarakan dan mereka kemudian memilih bergabung dengan teman-teman mereka di utara dalam perang saudara. Orang-orang kulit putih di selatan terus saja mempertahankan pemikiran bahwa orang-orang hitam itu seharusnya berterima kasih atas apa yang telah dilakukan oleh para majikan kulit putih mereka, dan mereka seharusnya berbahagia akan hal itu. Seorang dokter dari selatan, Samuel Cartwright, menyatakan bahwa banyak budak pada waktu itu yang menderita sakit jiwa, yang ia namakan “drapetomania”. Menurut diagnosanya, itu adalah penyakit jiwa yang disebabkan oleh hasrat tak terkendalikan untuk membebaskan diri dari perbudakan.
Di paruh kedua abad ke-20, penyakit yang sama dinamakan “komunisme”. Dan di permulaan abad ke-21, penyakit itu mungkin bernama “terorisme”.
Masih berkenaan dengan komunisme, di tahun 1960-an muncul laporan jenaka yang disampaikan oleh Komisi Nasional tentang Sebab-Musabab dan Pencegahan Tindak Kekerasan. Komisi ini melaporkan bahwa J. Edgar Hoover, seorang kriminolog yang bertahun-tahun menjabat sebagai direktur FBI, telah membantu menyebarluaskan pandangan di kalangan polisi bahwa protes massa, apa pun bentuknya, selalu punya hubungan dengan konspirasi yang digerakkan oleh para penghasut, dan tentu saja yang disebut penghasut ini adalah orang-orang komunis “yang gemar membuat penyesatan untuk menyenangkan publik.”
Kunci laporan itu ada pada frase terakhir, satu hal yang menunjukkan mentalitas konspirasi di kalangan pemegang kekuasaan. Mereka selalu beranggapan bahwa tidak seorang pun, kecuali berada di bawah pengaruh musuh, bisa menggerakkan protes massa. Protes terjadi pastilah karena hasutan dari luar, dari kaum komunis, yang mencoba menyesatkan mereka.
Yang patut anda beri perhatian, mereka lupa melihat bahwa selama ini CIA-lah yang paling banyak menebar hasutan di berbagai negara untuk membuat situasi tidak menentu dan pelbagai upaya penggulingan kekuasaan. Seluruh arsip negara yang sudah dideklasifikasi—bisa anda lihat pada situs Nastional Security Archive (NSA)—menunjukkan betapa gamblang dan kasarnya manuver-menuver yang dilakukan oleh CIA dalam membuat situasi sebuah negara karut-marut. Jika Reagan mengakui bahwa rakyat El Salvador memiliki alasan kuat untuk memberontaki nasib buruk mereka, maka kita patut mempertanyakan tuduhan yang ia sampaikan mengenai persekutuan Uni Soviet, Kuba, dan Nikaragua yang telah menghasut mereka. Dan dengan alasan itulah ia kemudian melakukan intervensi di El Salvador, dengan operasi-operasi pendahuluan oleh CIA untuk menyiapkan kebohongan ekstra-legal demi mendudukkan orang yang didukungnya di kursi puncak pemerintahan.
Petualangan Pasca Perang Dingin
Perang dingin praktis berakhir ketika Uni Soviet, yang oleh Ronald Reagan disebut “Evil Empire”, bubar di tahun 1991, sekitar 5 tahun setelah Mikhail Gorbachev, pemimpin Soviet, meluncurkan kebijakan Glasnost (keterbukaan) dan Perestroika (restrukturisasi). Maka, dunia menyaksikan bermulanya sebuah era baru yang tak lebih menenteramkan: era Polisi Dunia. Implikasinya sama saja; ketika musuh tak ada, Amerika harus menemukannya. Dan alasan harus selalu tersedia bagi Amerika untuk melanjutkan petualangan.
Di paruh akhir 1990-an, Washington sibuk melibatkan diri dalam upaya serius untuk mengendalikan pemilihan umum di negara-negara yang sebelumnya adalah blok Uni Soviet: Rusia, Mongolia, dan Bosnia. Di tahun 1999, mereka mengebom rakyat Serbia dan Kosovo selama 78 hari, yang terasa selama-lamanya. Perang Balkan telah meluluhlantakkan negeri-negeri di sana. Dan puncaknya, Republik Federasi Sosialis Yugoslavia, yang oleh Whasington disebut sebagai “komunis terakhir”, terpecah belah menjadi enam negara kecil-kecil.
Setelah episode Balkan, AS melakukan petualangan lainnya di musim gugur 2001 dengan ikut campur secara terang-terangan dalam pemilu di Nikaragua untuk menghambat kemenangan kelompok kiri. Pada saat yang sama, ia membombardir Afganistan, dan melanjutkan petualangannya dengan memberi kehancuran pada Irak.
Sambil melanjutkan kebiadaban terhadap Afganistan, Washington menyempatkan diri, di tahun 2002, untuk menyewa para pendukung yang ia butuhkan dalam upaya penggulingan Hugo Chavez dan pemerintahan populisnya di Venezuela. Sepanjang tahun-tahun itu, masih sambil mencekik Kuba setelah seabad berlalu pendudukan imperialis, AS menolak mengosongkan pangkalan militer Guantanamo. Ia mengubahnya menjadi kamp tahanan bagi tawanan ilegal dan malang, juga bagi sejumlah orang yang diculik dari berbagai tempat di seluruh dunia, dalam apa yang disebut-sebut sebagai Perang melawan Terorisme.
Tidak ada perdamaian setelah perang dingin usai. Selama hampir setengah abad para petinggi mencekoki rakyat mereka dengan indoktrinasi Perang Dingin, dan memaksa rakyat memerangi penduduk-penduduk negara lain dengan alasan yang tidak jujur. Anggaran militer membengkak begitu besar demi satu hal yang terus-menerus ditanamkan ke benak warga negaranya, yakni bahwa mereka sedang bertempur untuk memerangi ancaman yang sama: Konspirasi Komunis Internasional, markas besarnya di Moskow.
Tetapi Uni Soviet kemudian remuk. Pakta Warsawa juga lenyap. Negara-negara satelit Eropa Timur sudah menjadi negara merdeka. Bekas-bekas komunis itu bahkan sudah berubah haluan menjadi kapitalis.Tetapi sampai berakhirnya masa pemerintahan George Walker Bush, tidak ada yang berubah dengan politik luar negeri Amerika.
Bahkan NATO, pakta pertahanan yang didirikan untuk—konon—melindungi Eropa Barat dari serbuan Soviet, masih tetap tegak. Pasukan dan persenjataannya makin besar, dan ia menjadi kendaraan yang dilumasi terus-menerus sehingga bisa menggelinding mulus ke mana saja politik luar negeri Washington mengarahkannya. Amerika dan sekutu NATO-nya bertindak sebagai pemerintah pengganti atas negara-negara Balkan sebagai wilayah protektorat. AS juga memanfaatkan piagam perjanjian NATO sebagai alasan pembenar bagi para anggotanya untuk bergabung dengan AS dalam menyerbu Afganistan.
Di saat Rusia menutup basis-basis Perang Dingin mereka di Eropa Timur, Vietnam, dan Kuba, AS membuka pengkalan militer di wilayah-wilayah bekas Uni Soviet dan di negara-negara lainnya. Sementara Rusia menutup stasiun radio intelijennya di Lourdes, Kuba, AS membangun stasiun penyadap yang canggih di Latvia, tepat di perbatasan Rusia, sebagai bagian dari sistem penyadapan global Washington.
Segalanya menjadi permainan yang penuh tipuan. Uni Soviet dan apa yang disebut komunisme tidak pernah menjadi, dan memang sejauh ini bukan, objek serangan-serangan global Washington. Konspirasi Komunis Internasional adalah sihir yang diciptakan oleh Amerika. Musuh sebenarnya bagi Amerika selalu saja pemerintahan atau gerakan, atau bahkan perorangan, yang dianggap menghalangi ekspansi Imperium Amerika—apa pun sebutan yang diberikan oleh Amerika terhadap mereka: komunis, negara penjahat, pedagang narkoba, teroris, intelektual, artis, dan sebagainya. Anda ingat, John Lennon, pentolan grup musik The Beatles, adalah orang yang selama bertahun-tahun, dan sampai matinya, terus dikuntit oleh FBI.
Jadi, sampai sejauh mana Obama akan membawa Amerika? Ini menjadi pertanyaan serius, sebab ia sendiri telanjur “menjanjikan” dengan beberapa langkah dan pendekatan yang dilakukannya dalam 100 hari pertama. Keberhasilan atau kegagalannya dalam 100 hari kedua, ketiga, dan seterusnya, terutama dalam membangun pergaulan antarbangsa dan antarnegara yang lebih sehat, tampaknya akan sangat ditentukan mula-mula oleh seberapa jauh ia mampu atau tidak mampu me-reframe watak dasar politik luar negeri Amerika. Persoalannya, sejarah panjang mereka dalam mencampuri urusan negara lain dan mengirimkan tentara untuk mewujudkan apa yang mereka kehendaki bahkan telah memberikan kebanggaan yang sewenang-wenang dan narsisistik pada diri para pemujanya.
Robert Kagan, orang terkemuka yang memantapkan politik luar negeri Amerika, dengan penuh kepercayaan diri mengungkapkan: “Faktanya adalah bahwa hegemoni-baik-hati yang dijalankan oleh AS adalah sesuatu yang baik bagi sebagian besar penduduk bumi. Ini tentunya merupakan alternatif terbaik dan realistis ketimbang semua alternatif yang mungkin ada.” Dan pendapat ini diamini oleh sejumlah orang lainnya, termasuk Michael Hirsch, editor majalah Newsweek, yang beranggapan bahwa privilese AS dalam menjalankan politik luar negerinya adalah sesuatu yang diterima sebagai “rasa syukur atas keuntungan historis mereka yang telah dilindungi oleh sebuah kekuatan yang bisa dibilang murah hati.”
Dengan cara itulah mereka menyepakati politik luar negeri Amerika dan bisa hidup tentaram dengannya. Dan implikasinya bisa sangat mencemaskan: AS boleh melakukan apa saja dan jika AS terpaksa harus berperang, itu pasti dilakukan dengan cara yang berperikemanusiaan. Dan berapa juta korban berjatuhan oleh “kekuatan yang murah hati” itu?
———————————
Daftar
Rujukan Buku
Agee, Philip. Inside the Company: CIA Diary, Bantam; edisi cetakan kedua, Januari, 1984
Blum, William. Killing Hope: U.S. Military and CIA Interventions Since World War II. Monroe, ME: Common Courage, 1995. ____. Rogue States: The Rule of Force in World Affairs. South End, 2000.
Kornbluh, Peter. Nicaragua, The Price of Intervention: Reagan’s War Against the Sandinistas. Washington, DC: Institute for Policy Studies, 1987.
Kwitny, Jonathan. Endless Enemies: The Making of an Unfriendly World. New York: Congdon & Weed, 1984. ____.
The Guerrilla Wars of Central America: Nicaragua, El Salvador, and Guatemala. New York: St. Martin’s, 1994.
Quigley, John. The Ruses for War: American Interventionism Since World War II. Buffalo: Prometheus, 1992.
Stockwell, John. In Search of Enemies: a CIA Story. W.W. Norton, 1978.
White, Richard. The Morass: United States Intervention in Central America. New York: Harper, 1984.
Woodward, Bob. Veil: The Secret Wars of the CIA 1981-1987. New York: Simon and Schuster, 1987
Dokumen
Dokumen-dokumen rahasia yang dideklasifikasi bisa dilihat antara lain di:
The National Security Archive, George Washington University –
http://www.gwu.edu/~nsarchiv/ Situs Forgotten History –
http://www.lossless-audio.com Departemen Luar Negeri AS –
http://foia.state.gov Encarta Encyclopedia