Suku-suku bangsa di Nusantara memang konon jang sebagian adalah pendatang dari manca negara yang dulu adalah bagian dari sebuah imperium besar Nusantara di masa lalu yang lampau, tetapi dengan sudah melebur dan membentuk perwatakan dan kepribadian serta budaya di suku-suku bangsa Nusantara yang memperkaya khazanah etnisitas nusantara.
Saya bukan orang rasis atau diskriminatif kepada siapa saja yang telah menjadi warga negara Indonesia, meskipun berasal dari bangsa-bangsa lain.
Khusus buat WNI peranakan Tionghoa, buat saya anda masih termasuk orang-orang bangsa lain (seperti definisi UUD 1945 Pasal 26 ayat 1), meskipun orang tua atau nenek-kakek anda sudah menetap di sini sebelum Indonesia merdeka, kecuali dari anda sudah berbaur, kawin mawin dan beranak pinak dengan kaum pribumi Indonesia.
Kebanyakan Tionghoa Indonesia masih berorientasi dan berbudaya leluhurnya, bahkan malah berhubungan dengan penguasa-penguasa negeri leluhurnya dengan ada misi-misi tertentu. Diakui atau tidak, hal ini terjadi.
Salah satu akibatnya adalah tidak terjadi akulturasi yang natural/alami. Festival adat Tionghoa di Indonesia, seperti Barongsai, misalnya, sangat kelihatan sekali sebagai dipaksakan. Jika akulturasi terjadi secara natural, budaya Cina di Indonesia pasti akan bercampur dan melebur.
Itu yang harusnya terjadi, sehingga akhirnya bagaimana pun semua orang Tionghoa yang ada di Indonesia tidak ada yang termasuk atau bisa disebut sebagai bagian dari kaum Pribumi Indonesia. Karena itu, seharusnya tidak ada hak bagi mereka (kaum Tionghoa) untuk menjadi Pemimpin bagi negeri ini.
Bedakan antara Bangsa Indonesia dan Warga Negara Indonesia. Anda, kaum Tionghoa, tetap dihargai sesama manusia yang memiliki hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Yang harus anda sadari adalah kesadaran bahwa anda tidak berhak untuk memimpin negeri ini. Itu saja!
*) Pemikir Hukum Ketatanegaraan, tinggal di Surabaya, Jawa Timur.
Facebook Comments
