Belanda Sudah Minta Maaf, Saatnya Jepang Mengakui Kejahatan Perangnya di Indonesia

Bagikan artikel ini

Pada 17 Februari lalu, Perdana Menteri Belanda Mark Ruute secara resmi meminta maaf kepada Indonesia atas kejahatan perangnya di Indonesia pada periode revolusi fisik 1945-1949.

Secara eksplisit Perdana Menteri membuat pernyataan tersebut setelah menelaa studi sejarah yang menemukan fakta bahwa tentara Belanda telah menggunakan kekerasan berlebihan dalam upaya sia-sia untuk mendapatkan kembali kendali atas bekas wilayah jajahannya di Indonesia pada pasca Perang Dunia II.

Sebaliknya Jepang, yang juga telah melakukan kejahatan militer yang serupa ketika menjajah Indonesia pada periode1942-1945, amat disayangkan hingga kini masih menolak meminta maaf kepada bangsa Indonesia. Lantaran hal tersebut, kiranya mendesak bagi pemerintah Indonesia untu memasukkan isu kejahatan perang Jepang selama masa penjajahan Jepang di Indonesia dalam agenda pertemuan bilateral antara RI-Jepang.

Adapun isu kejahatan perang militer Jepang di Indonesia ada tiga. Pertama, Jugun Ianfu atau pekerja sex paksa, menjadikan kaum perempuan Indonesia sebagai budak sex untuk melayani kebutuhan biologis tentara Jepang.

Kedua, Romusha atau buruh paksa, dengan menjadikan orang-orang Indonesia melakukan kerja paksa untuk kepentingan pemerintah kolonial Jepang di Indonesia.

Ketiga, Heiho. Menjadikan orang Indonesia secara paksa sebagai tentara Jepang dengan menempatkannya di garis depan pertempuran sebagai tameng atau umpan peluru musuh Jepang yaitu tentara sekutu.

Kejahatan perang tentara Jepang di Indonesia antara 1942-1945 merupakan sejarah hitam  yang tidak boleh kita lupakan. Terutama dengan adanya kebijakan pemerintahan fasisme Jepang di Indonesia yang secara sistematis dan terencana merekrut kaum perempuan Indonesia untuk secara paksa dijdikan sebagai “budak seks” tentara Jepang (Ianfu).

Selain itu Romusha atau buruh paksa, merupakan perekrutan paksa terhadap warga masyarakat untuk dipaksa sebagai tenaga kerja, maupun Heiho yang merupakan perekrutan paksa sebagai wajib militer, merupakan tragedi dan penderitaan lahir dan batin yang dialami para leluhur bangsa kita pada masa penjajahan Jepang selama tiga setengah tahun di Indonesia. Berarti  kemajuan dan kebangkitan Jepang dari keterpurukannya dari kekalahan perang semasa Perang Dunia II, ternyata keberhasilan dan kemajuan Jepang saat ini sejatinya bertumpu pada penderitaan rakyat Indonesia di masa silam.

Bahkan yang lebih spektakuler lagi, pada 1 November 2011,   Grass Roots House Peace Museum Jepang, melalui Koran Akahata dan Asahi Shimbun, merilis sebuah dokumen soal keterlibatan mantan Perdana Menteri Menteri Jepang Yasuhiro Nakasone (1982-1987) dalam mendirikan Ianjo (Rumah Bordil Militer) Jepang di Balikpapan, Kalimantan Timur.

 

Baca: The Comfort Women and Japan’s War on Truth

 

Waktu itu Nakasone berusia 23 Tahun, dan bertugas memegang komando 3000 prajurit di Balikpapan. Pada 2009 lalu, Suharti, salah seorang korban Nakasone, pada 2009 lalu pernah mencoba mendatangi kantor Nakasone, dengan memakai kursi roda. Turut serta bersama Suharti, beberapa advokator Ianfu Indonesia seperti Dr Koichi Kimura, Eka Hindrati, Anugrah Saputra, Fumiko Kawata, dan Yamaguchi.

Bisa jadi karena memang merasa bersalah dan tidak mampu mengelak dari fakta sejarah kelam dirinya sewaktu bertugas sebagai perwira Tentara Jepang di Balipapan-Kalimantan Timur waktu itu, Nakasone tidak berani menemui Suharti.

Dari dokumen yang dirilis Grass Roots House Peace Museum Jepang tersebut, nampaknya sulit dibantah bahwa Nakasone termasuk kategori PENJAHAT PERANG pada Perang Dunia II. Dan fakta yang nampaknya sulit dibantah adalah, dia adalah penjahat perang tentara Jepang yang ada di Indonesia.

Namun, sekelumit kisah tentang mantan Perdana Menteri Jepang Nakasone, hanya sebuah ilustrasi kecil betapa perekrutan kaum perempuan Indonesia sebagai “budak seks” tentara Jepang, memang didasarkan pada sebuan kebijakan yang dibuat secara sadar dan terencana.

Pada masa pendudukan Jepang sekitar 200.000-400.000 perempuan Asia berusia13 hingga 25 tahun dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang. Para perempuan itu direkrut dengan cara halus dengan dijanjikan sekolah gratis, pekerjaan sebagai pemain sandiwara, pekerja rumah tangga, pelayan rumah makan hingga dengan cara kasar dengan meneror disertai tindak kekerasan, menculik bahkan memperkosa di depan keluarga.

 

Baca juga: Mengingatkan Kembali Tiga Kejahatan Perang Jepang di Indonesia

 

Pada 9 November 2011, Global Future Institute menggelar seminar dengan tema: Strategi Membangun Kesadaran Sejarah bagi Generasi Masa Depan Sejarah Tentang Ianfu Indonesia: Kasus Ianfu Indonesia.

Melalui seminar disepakati bahwa Perjuangan terhadap para Korban Ianfu Indonesia harus diletakkan dalam perspektif Mengembalikan Harkat dan Martabat mereka sebagai Korban.

Para peserta workshop waktu itu bersepakat mengajukan beberapa usulan langkah kongkrit yang kiranya perlu disampaikan sebagai bahan masukan baik kepada pemerintah Indonesia maupun Dewan Perwakilan Rakyat:

  1. Perlu Pelurusan Sejarah Ianfu Indonesia bahwa mereka adalah korban akibat Kejahatan Perang Tentara Jepang di Indonesia pada periode 1942-1945.
  2. Mengusulkan kepada pemerintah Indonesia, agar segera memasukkan Jugun Ianfu ke dalam buku sejarah sebagai korban dari masa Penjajahan Jepang di Indonesia.
  3. Perlu segera dibuat monument, prasasti atau bahkan museum, sebagai simbol yang bisa berbicara mengenai apa yang terjadi pada waktu penjajahan Jepang di Indonesia, dan apa yang pernah dialami oleh para Korban Ianfu Indonesia, khususnya Kaum Perempuan Indonesia.
  4. Mengingat pentingnya peran Pemerintah dalam mendukung dan membantu perjuangan elemen-elemen masyarakat terhadap para korban Ianfu Indonesia dalam konteks mengembalikan harkat dan martabat mereka sebagai korban, maka perlu adanya keterlibatan lintas-kementerian yang ada di pemerintahan.
  5. Meminta Pemerintah Indonesia agar Jepang harus bertanggungjawab dalam keikutsertaannya dalam pelurusan sejarah Jugun Ianfu Indonesia. Sehingga tidak cukup hanya dengan permintaan maaf saja.
  6. Meminta Pemeritan Indonesia agar Jepang ikut membantu pengungkapan sejarah Ianfu Indonesia.
  7. Meminta perhatian dari seluruh lembaga-lembaga pendidikan terkait dengan pengajaran sejarah di semua tingkatan pendidikan, dalam menyajikan Sejarah Ianfu Indonesia menurut sudut pandangn sejarah yang benar dan faktual.
  8. Menggarisbawahi pentingnya Penyelesaian Soal Ianfu Indonesia diletakkan dalam perspektif hubungan Indonesia-Jepang yang lebih setara dan bermartabat.
  9. Untuk program jangka pendek, mengingat kehidupan para korban saat ini yang berada dalam kesulitan ekonomi, maka perlu segera digagas Program Jaminan Sosial bagi para korban Ianfu yang berada di luar konteks program Lanjut Usia.

Kejahatan Perang tentara Jepang tentu saja tidak hanya di Indonesia. Sebagaimana dilansir situs berita Australia Sidney Morning Herald terbitan 6 Desember 2019, 12 ribu tentara sekutu yang berstatus tahanan perang Jepang dan 9 ribu warga sipil Asia tahanan tentara Jepang, tewas secara mengenaskan akibat kerja paksa dalam pembangunan rel kereta api yang menghubungkan Burma/Myanmar-Thailand.

 

Baca: Don’t mention the war crimes: how Japan fakes its history by omission

 

Maka itu terkait Kejahatan Perang Jepang di Asia maka selain Indonesia, beberapa negara Asia yang juga bekas wilayah jajahan Jepang, meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah Jepang. Seperti Korea, Taiwan, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Papua Nugini.

Hingga kini pemerintah Jepang masih menolak mengakui tindak kejahatan perangnya di Indonesia maupun negara-negara Asia lainnya yang waktu itu termasuk negara-negara jajahannya.

Bahkan ketika para pejabat tinggi pemerintahan Jepang mengunjungi Kuil Yasukuni, yang didedikasikan untuk sekitar 2,5 juta laki-laki, perempuan, dan anak-anak Jepang yang meninggal untuk negara mereka sejak didirikan pada tahun 1869, sama sekali tidak pernah menyebut-nyebut, apalagi mengecam tindak kejahatan perang yang pernah dilakukan tentara kekaisaran Jepang semasa Perang Dunia II atau semasa meletusnya Perang Asia Timur Raya.

Image of Japanese Militarism & Its War Crimes in Asia Pacific Region

 

Bahkan terhadap dua negara sekutu Jepang sejak pasca Perang Dunia II yaitu Australia dan Selandia Baru pun, pemerintah Jepang sama sekali menolak meminta maaf atas kejahatan perangnya di masa silam.

Menelaah fakta-fakta sejarah hitam Jepang di Indonesia maupun negara-negara Asia lainnya yang juga eks koloni Jepang, saatnya para diplomat Indonesia maupun elemen-elemen masyarakatnya harus lebih pro aktif mendesak pemerintah Jepang meminta maaf sekaligus mengakui kejahatan perang tentara kekaisaran Jepang di Indonesia pada periode 1942-1945.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute

 

 

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com