Berebut Kedaulatan Spratly, Memicu Ketegangan Baru di Asia Tenggara Pada Era Donald Trump

Bagikan artikel ini

Memahami geopolitik, antara lain, berarti yang semula tidak menyadari suatu daerah atau kepulauan punya ekonomis dan strategis, kemudian menyadari ternyata punya arti strategis dan ekonomis.

Misalnya saja, Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan. Di dalamnya ada sekitar 90 pulau kecil, kebanyakan karang dan atol.

Republik Rakyat Cina meskipun sampai hari ini belum bermaksud mendudukinya, tapi sudah mengklaim ke mana mana bahwa kepulauan itu adalah miliknya. Padahal Filipina, Vietnam dan Taiwan, juga mengklaim hal yang serupa.

Kalau menelisik riwayatnya, nama kepulauan Spratly diambil dari nama seorang kapten kapal penangkap ikan paus yang mendarat pertama kali di kepulauan itu pada 1840. Namun Cina menyatakan bahwa sudah lama sebelumya Cina mengenalnya, dan menamakan kepulauan itu Nasha.

Bahkan pada 1975, pas Cina masih komunis-komunisnya di era Perang Dingin, menyatakan bahwa Cina lah penemu pertama Kepulauan Spartly. Cina mengklaim mereka sudah menemukan itu di zaman Cina kuno, ketika mereka menjelajah Laut Cina Selatan.

Bukan itu saja. Cina juga mengancam siapapun yang menduduki kepulauan berarti melangar kedaulatan Cina dan tidak bisa dibiarkan. Artinya, Cina siap perang. Itu Pernyataan Cina pada 1976 lho. Bisa dibayangkan kalau terjadi seperti yang diperingatkan Cina sekarang.

Tiada lain mengapa Cina begitu keras mengklaim Spartly, karena sejak era 1970-an Filipina dan Swedia sudah mengadakan eksplorasi minyak di lepas pantai kepulauan Spratly. Berarti, Spratly kemungkinan besar kaya kandungan minyak.

Apalagi mengingat lokasi strrateginsya yang terletak di jalan silang antara Samudra Hindia dan Pasifik Barat.

Kenyataan bahwa Taiwan yang jauhnya dari kepulauan itu sekitar 1760 km, juga mengklaim Spratly adalah miliknya yang sah, bisa semakin runyam dalam beberapa tahun ke depan. Menyusul terpilihnya Donald J Trump sebagai presiden Amerika Serikat. Sebab waktu baru menang tapi belum resmi duduk di Gedung Putih, sudah mengisyaratkan melalui cuitan di twitter-nya, akan meninjau kembali kebijakan satu Cina. Yang berarti tidak lagi mengakui RRC sebagai satu-satunya negara yang mewakili bangsa Cina.

Agaknya, kalau Laut Cina Selatan banyak yang mengkhawatirkan bakal jadi pemicu ketegangan Amerika Serikat versus CIna kiranya tidak terlalu berlebihan. Vietnam, yang sejak era Perang Dingin memandang Cina sebagai musuh karena meski waktu itu sama-sama dipandang sebagai negara komunis, namun Vietnam lebih dekat dengan Uni Soviet. Ternyata dengan meyaknkan juga mengklaim kepulauan Spratly.

Menurut Vietnam, Spratly ditemukan kerajaan VIetnam pada 1802. Bahkan kerajaan sudah mendirikan perusahaan di tempat itu. Bahkan menurut Vietnam, tak ada satupun negara yang keberatan ketika Vietnam menguasai Spatly.

Lucunya, menurut Ensiklopedia Britanica 1968, berdasarkan penelisikan di dalam petanya menegaskan, bahwa Spratly merupakan wilayah Cina. Yang pastinya akan memperkuat motivasi Cina untuk mempertahankannya secara militer. Apalagi kalau Trump memang serius untuk mencabut kembali kebijakan One China Policy-nya, dan semakin mesra dengan Taiwan.

Maka, bersiap-siaplah untuk menyongsong atmosfer ketegangan militer di Laut Cina Selatan dan Selat Malaka, ang mungkin akan membawa efek domino ke Semenanjung Korea.

Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com