Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Sejak Januari lalu, Le Luong Minh resmi menjabat Sekretaris Jenderal ASEAN baru menggantikan Dr Suri Pitsuwan dari Thailand. Dari perspektif latarbelakang kedua sosok ini saja sudah cukup menarik untuk diulas. Dr Surin Putsuwan selain tercatat pernah menjadi Menteri Luar Negeri Thailand, juga dikenal sebagai tokoh sentral Partai Liberal. Sedangkan Le Luong Minh, merupakan Deputi Menter Luar Negeri Vietnam.
Menariknya lagi, Le Luong Minh memulai karirnya sebagai staf Kementerian Luar Negeri Vietnam pada 1975, ketika Vietnam Utara di bawah kepemimpinan Ho Chi Minh berhasil mengalahkan Vietnam Selatan yang berada di bawah pemerintahan rejim militer Nguyen van Thiu yang didukung Amerika. Sekaligus mengusir pasukan militer AS yang sepenuhnya mendukung rejim militer Vietnam Selatan sejak pertengahan 1950-an.
Satu lagi yang perlu dicatat, sejak 1995 Luong Minh praktis aktivitas diplomasinya berada di kancah forum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selain menjadi perwakilan tetap markas PBB dan berbagai jabatan terkait lainnya di beberapa organisasi internasional lainnya baik yang bermarkas di Geneva maupun New York maka pada 2004 lalu berhasil mencapai puncak karir diplomatiknya dengan menjadi Duta Besar Vietnam untuk PBB. Bahkan yang lebih spektakuler lagi, pada 2008 sempat dipercaya sebagai Presiden Dewan Keamanan PBB.
Tak diragukan lagi, Luong Minh punya reputasi bagus sebagai diplomat ulung. Terkait kapasitasnya sebagai Sekjen Baru ASEAN menggantikan Dr Surin Pitsuwan, latarbelakang dirinya sebagai pejabat senior Kementerian Luar Negeri Vietnam, tak heran jika berbagai kalangan diplomatik baik dari kubu Amerika dan Uni Eropa maupun dari kubu persekutuan Cina-Rusia dalam kerangka Shanghai Cooperation Organization (SCO), sama-sama berkeinginan menarik Luong Minh masuk ke dalam orbit pengaruhnya. Apalagi ketika saat ini perseteruan AS versus Cina semakin memanas di Asia Tenggara (baca: ASEAN) baik di ranah ekonomi-perdagangan maupun di ranah militer dan pertahanan.
Dr Surin Pitsuwan Giring ASEAN ke Orbit Pengaruh AS-Uni Eropa
Pada Kamis 18 April 2013 lalu misalnya, Sekretariat ASEAN di Jakarta sempat menggelar forum Ekonomi dan Kebijakan Tingkat Tinggi yang melibatkan para pejabat senior dan pakar ekonomi dari kawasan ASEAN maupun Uni Eropa. Yang mana salah satu agendanya adalah mengevaluasi proses Integrasi ASEAN dan Uni Eropa berdasarkan pembangunan di masa lalu, maupun prospeknya di masa depan.
Melalui forum ini jelaslah bahwa sasaran strategis sesungguhnya dari pihak Uni Eropa adalah membujuk dan mempengaruhi Sekjen baru ASEAN tersebut agar semakin berkiblat ke AS dan Uni Eropa.
Arah dari forum ini sebenarnya sudah bisa dibaca agar ASEAN dan Uni Eropa bisa menyelaraskan kepentingan-kepentingan strategisnya ke depan di tengah-tengah kian cepatnya perobahan dan kemungkinan pergeseran geopolitik dari kawasan Atlantik ke Pasifik.
Pesan sentral yang sempat mencuat dalam forum bersama ASEAN-Uni Eropa tersebut adalah, agar dalam lima tahun ke depan, kerjasama dan kemitraaan ASEAN-Uni Eropa bisa semakin erat dan mencapai kemajuan yang lebih meningkat daripada sekarang.
Hal ini semakin nyata ketika Duta Besar Uni Eropa Julian Wilson mengatakan dalam forum tersebut: Hal ini sebenarnya sangat sederhana : “Seperti ASEAN, kami percaya bahwa jika negara-negara bisa beraksi bersama, menjadikan kita lebih kuat dan lebih efektif. Inilah apa yang dimaksud dengan integrasi kawasan dan inilah mengapa kami mengatakan bahwa kami memiliki ‘DNA yang sama’ dengan ASEAN…”
Forum bersama ASEAN-Uni Eropa yang digelar April lalu tersebut sepertinya memang merupakan aliansi strategis yang dimotori oleh berbagai kepentingan korporasi-korporasi global baik dari AS maupun Eropa. Hal ini terlihat dari para penyelenggara dan pemrakarsa forum bersama tersebut seperti Global Europe, Sekretariat ASEAN, Delegasi Uni Eropa di Jakarta, dan Konrad Adenauer Foundation (Sebuah lembaga donor Jerman yang berhaluan kanan-liberal), ASEAN Foundation dan Habibie Center. Mereka inilah merupakan mitra dari acara tersebut.
Kenyataan tersebut cukup mengkhawatirkan karena forum tersebut bisa dibaca sebagai isyarat adanya gerakan terencana untuk mempengaruhi Sekjen ASEAN baru Luong Minh masuk dalam orbit kerjasama strategis AS dan Uni Eropa.
Jika kecenderungan ini benar-benar terjadi, maka haluan politik ASEAN di bawah kepemimpinan Luong Minh tidak aka ada perobahan yang cukup signifikan dibanding di era kepemimpinan Dr Putsuwan.
Semasa kepemimpinan Dr Surin Pitsuwan, ASEAN benar-benar didorong ke arah skema liberalisasi politik dan ekonomi. seperti terbukti dari manuver Pitsuwan untuk mempengaruhi Komisi I bidang luar negeri DPR-RI agar secepatnya meratifikasi ASEAN Charter dengan alasan Indonesia adalah Center of Gravitation ASEAN dan harus memainkan peran besar dalam kepemimpinan di ASEAN.
Padahal, justru pemberlakuan AFTA dalam kerangka ASEAN Charter inilah, yang akan membawa Indonesia menjadi negara terlemah di ranah ekonomi di kalangan negara-negara ASEAN. Lolosnya ASEAN Charter oleh para anggota Komisi I DPR masa bakti 2004-2009, dan tentunya pemerintah RI di bawah kepemimpinan Presiden SBY, yang berakibt mendukung pemberlakuan AFTA, pada perkembangannya akan menghancurkan kedaulatan nasional Indonesia di ranah ekonomi dan dunia usaha.
Dengan masuknya free trade sebagai bagian dari ASEAN Charter yang merupakan konstitusi ASEAN, berarti Indoensia di ranah ekonomi telah membuka pintunya lebar-lebar untuk dihancurkan, ditaklukkan dan dijinakkan. Dan pada saat yang sama, pemerintah Indonesia terikat oleh kewajiban untuk melemahkan elemen-elemen bangsa yang dipandang tidak patuh pada ketentuan free trade tersebut baik pengusaha, profesional, buruh, nelayan maupun petani.
Melalui AFTA dalam Skema Piagam ASEAN 2015, pada kenyataannya akan jadi Payung Hukum bagi penguasaan 11 bidang usaha di wilayah kedaulatan Indonesia. 11 sektor bidang usaha yang terancam masuk dalam perangkap internasionalisasi AS adalah: Kayu (Usulan Indonesia), Karet dan Tekstil (Usulan Malaysia), Agro-ekonomi dan perikanan (Usulan Myanmar), Elektronik (Usulan Filipina), E-ASEAN and Health Care (Usulan Singapore), Transportasi Udara dan Turisme (Usulan Thailand).
Bukan itu saja. ASEAN Charter membuka peluang ASEAN mendiktekan Undang-Undang baru di dalam negeri, dan merobah Undang-Undang dalam negeri yang lama kita yang bersifat protektif terhadap ancaman pengaruh ekonomi asing, menjadi produk Undang-Undang yang sejalan dengan skema Trans Pacific Partnership (TPP) AS. Kepentingan Skema TPP AS tersebut didukung melalui pasal 3 di bagian B terkait ASEAN ECONOMIC COMMUNITY-(AEC). Yang mana seluruh negara ASEAN harus berkomitmen membentuk Pasar Tunggal ASEAN.
Ini jelas sangat berbahaya bagi keutuhan dan kekompakan entitas bisnis Indonesia maupun kekuatan tawar(bargaining position) dari tenaga kerja Indonesia di semua tingkatan.
Dan Surin Pitsuwan, merupakan aktor penting dalam melaksanakan skema TPP tersebut dengan mendorong Komisi I DPR-RI secepatnya meratifikasi ASEAN Charter 2015. Dan manuver Pitsuwan berhasil. Dalm konteks ini, Thailand merupakan salah satu mata-rantai dari Skema TPP AS yang dimainkan untuk memecah-belah kubu ASEAN selain Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam dan Singapura.
AFTA maupun BALI CONCORD II, telah mengikat Indonesia dalam kerangka kesepakatan ASEAN yang dalam jangka menengah dan panjang, akan sangat membelenggu dan menghancurkan kedaulatan nasional Indonesia di bidang ekonomi.
Luong Minh Harus Prakarsai Keseimbangan Baru di ASEAN lewat SCO
Bisa dimengerti jika Dr Surin Pitsuwan menolak untuk jalin kerjasama dengan Rusia maupun Cina dalam kerangka dan skema Shanghai Cooperation Organization (SCO), mengingat keterlibatannya yang intensif dan sepenuh hati menggolkan pemberlakuan ASEAN CHARTER 2015 maupun AFTA yang hakekatnya sangat berhaluan liberal. Dan Surin Pitsuwan sejatinya juga merupakan politisi partai liberal di Thailand.
Karena itu, Luong Minh sebagai Sekretaris Jenderal ASEAN yang barus, harus mempertimbangkan sebuah cara pandang baru dalam membuat sebuah kebijakan strategis ASEAN yang didasari gagasan untuk menciptakan Kekuatan Keseimbangan Baru di kawasan Asia Tenggara, khususnya ASEAN.
Keberadaan Kemitraan Lintas Pasifik (Trans Pacific Partnership/TPP) yang dirancang Amerika Serikat dan blok ekonomi negara-negara maju yang tergabung dalam G-7, semakin nyata dimaksudkan untuk membendung pengaruh Cina di kawasan Asia Pasifik.
Masuk akal jika Cina kemudian memprakarsai sebuah blok ekonomi tandingan. Sejak November 2012 lalu, negri Tira Bambu tersebut secara resmi mulai membentuk blok baru perdagangan bebas se-Asia. Tentu saja ini sebuah manuver Cina yang tidak bisa dianggap remeh oleh Amerika dan sekutu-sekutu G-7. Sebab jika rencana strategis Cina tersebut terwujud, berarti Cina akan menggalang sebuah kekuatan ekonomi baru Asia yang mencakup 28 persen dari total pertumbuhan ekonomi dunia berdasarkan GDP (Produk Domestik Bruto).
Blok ekonomi perdagangan bebas se-Asia yang diberi nama Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RECP) tersebut, secara resmi diumumkan pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, jelas punya makna strategis. Sejak perang dingin antara blok AS dan negara-negara barat versus Uni Soviet dan Cina, Kamboja dan Cina menjalin hubungan yang amat mesra. Bahkan ketika Kepala Negara Kamboja Pangeran Norodom Sihanouk digulingkan oleh junta militer pimpinan Jenderal Lon Nol pada 1970, Cina yang waktu itu masih berada dalam kekuasaan Mao Zedong, tetap mengakui Sihanouk sebagai kepala negara Kamboja yang sah (Baca Prince Norodom Sihanouk, My War with CIA, 1974).
Karena itu, keberadaan dan kiprah RECP harus dibaca sebagai gerakan tandingan Cina terhadap strategi pengepungan AS melalui terbentuknya TPP yang digagas oleh Presiden Barrack Obama. Forum secara potensial memang bisa menjadi kekuatan ekonomi yang cukup strategis karena beranggotakan sepuluh negara anggota ASEAN (termasuk Indonesia). Juga termasuk negara-negara Asia lainnya seperti Cina, India, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru.
Pada tataran ini, Indonesia harus membaca trend global ini secara cermat dan penuh perhitungan. Sehingga dengan dasar itu, harus mendorong Sekjen ASEAN baru Luong Minh agar bisa menggalang ASEAN ke arah kemungkinan kerjasama strategis Cina dan Rusia dalam kerangka SCO.
Setidaknya ada dua bahan pertimbangan yang kiranya layak untuk dipertimbangkan. Bahwa Rusia saat ini semakin memprioritaskan arah kebijakan luar negerinya ke Asia Pasifik, yang tentunya juga ASEAN telah dijadikan prioritas utama.
Selain itu, Rusia itu sendiri merupakan aset strategis terkait kerjasama Migas ASEAN-Rusia. Penguasaan Rusia terhadap geopolitik Asia Tengah dan Laut Kaspia sebagai penyuplai minyak dunia, seharusnya merupakan dasar pertimbangan strategis untuk merumuskan arah baru kebijakan luar negeri ke arah kerjasama strategis ASEAN-Rusia.
Ladang minyak di Laut Kaspia diperhitungkan dapat memproduksi 4 juta barel minyak per hari pada 2015, hampir sama dengan kombinasi tingkat produksi Iraq-Kuwait. Laut Kaspia memiliki cadangan minyak 77,1 milyar barel atau 7,4% minyak dunia, dilihat sebagai sumber minyak terbesar kedua atau ketiga di dunia. Selain itu, Laut Kaspia memiliki kekayaan alam berupa gas alam yang melimpah.
Rusia juga memiliki peran dalam mempengaruhi geopolitik di kawasan Asia Tengah, terutama dalam area energi. Rusia sebagai patron dari negara-negara Asia Tengah tetap menganggap region tersebut sebagai sphere of influence¬-nya(Daerah Pengaruhnya). Di dalam energy policy-nya, Moskow telah berusaha menanamkan pengaruhnya. Bagi Rusia, ekspor minyak dan gas alam merupakan penyumbang terbesar pendapatan luar negerinya – pada tahun 2002, 50% di dapatkan dari ekspor, 40% dari pendapatan pemerintah. Oleh karena itu, Rusia melakukan segala sesuatu untuk meningkatkan produksi energi untuk revitalisasi ekonomi dan politiknya.
Cina pun juga merupakan aktor yang menginginkan keterlibatan geopolitik di Asia Tengah, terlihat dari usaha Cina membangun ikatan-ikatan bisnis energi dengan mengirim perusahaan perusahaan minyaknya ke negara-negara Asia Tengah, dipandang sebagai kepentingan energy security Cina. Kepentingan Cina terlibat dalam geopolitik Asia Tengah dapat dipandang berangkat dari kepentingan keamanan nasionalnya.
Inilah yang mendasari Rusia dan Cina kemudian membangun aliansi strategis dalam kerangka SCO pada 2001 lalu.
Cina Sebagai Kekuatan Hegemoni Baru Ekonomi di Asia Pasifik
Merujuk pada artikel Ranap Simanjuntak, Bangkitnya Negara Adidaya Asia, di http://www.sindoweekly-magz.com/artikel/37/i/15-21-november-2012/highlight/72/bangkitnya-negara-adidaya-asia, terungkap bahwa berdasarkan riset yang dirilis Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Cina bakal menjadi negara adidaya di bidang ekonomi yang baru. OECD memprediksi Negeri Tirai Bambu itu akan berhasil menggusur AS sebagai negara ekonomi terbesar dunia empat tahun mendatang.
Tentu saja ini bukan prediksi sembarangan. Seperti menurut riset OECD, Meski dilanda perlambatan dan tekanan ekonomi beberapa bulan terakhir, Cina ternyata mampu menggeliat kembali. Dalam aktivitas manufaktur sebagai indikator utama ekonomi, Cina mengalami penguatan. Purchasing Managers Index atau PMI pada Oktober lalu tercatat mengalami kenaikan, menjadi 50,2 (dalam skala 100).
Sebelumnya, PMI Cina di bawah angka itu. Juli : 49,3, Agustus : 47,6, dan September mengalami penguatan hingga 49,8.
Khusus dalam Pembangunan Infrastruktur, salah satu agenda strategis yang akan dibahas dalam KTT G-20 di St Petersburg, Rusia, September mendatang, Cina kiranya bisa menjadi salah satu inspirasi bagi Indonesia.
Dalam mengatasi kemacetan, negara itu dibantu perusahaan swasta Shenzhen Hashi Future Parkir Equipment Co. sedang membuat konsep sarana transportasi umum bernama straddling bus. Transportasi bus ini dapat berjalan di atas mobil umum, khusus bagi kendaraan dengan ketinggian kurang lebih 2 meter. Straddling bus sendiri memiliki ketinggian 4–4,5 meter sehingga memungkinkan kendaraan lainnya dapat berjalan seperti di bawah jembatan layang. Alat sensor yang dimiliki straddling bus juga berfungsi untuk memindahkan kendaraan besar seperti truk atau bus yang terlalu dekat dengan alat transportasi ini.
Diperkirakan, dengan adanya straddling bus, maka kemacetan akan berkurang 25 hingga 30 persen. Kecepatan straddling bus mencapai 40 km per jam. Selain itu, bus tersebut mampu menampung sekitar 1.200 penumpang. Ini sekadar menggambarkan betapa rencana perekonomian Cina dijalankan secara sistematis dan terencana.
Dalam menggagas kebijakan swakarsa, Cina pun cukup imajinatif dan kreatif. Untuk membuat pundi-pundi di dalam negeri kian menggembung, pejabat pemerintah diharuskan mengisap rokok buatan lokal. Saat ini, ada sekitar 350 juta orang perokok. Kalau ada pejabat mengisap rokok merek negara lain akan didenda.
Kedigdayaan Cina sepertinya tidak sekadar di ranah ekonomi. Di bidang pertahanan dan militer pun, negara tirai bambu inipun cukup Berjaya. Cina, pada tahun 2011, menjadi negara dengan anggaran belanja militer terbesar, yakni 90 miliar dolar AS atau naik 4 kali lipat sejak 2000. Ini adalah anggaran militer terbesar kedua setelah AS yang mencapai 600 miliar dolar AS.
Postur angkatan bersenjatanya pun semakin agresif. Sejak 2011, Cina telah melancarkan diplomasi militer dengan mengirimkan perwira tinggi dan pejabat senior kementerian pertahanannya untuk mengunjungi 14 negara tetangga seperti Vietnam, Myanmar, Nepal, Singapore dan Filipina.
Bukan itu saja. Cina bahkan mengembakan bentuk kerjasama militernya dengan ikut serta dalam delapan latihan militer bersama dengan negara lain, termasuk dengan Pakistan dan Indonesia. Khusus dengan Indonesia, Cina bahkan telah memberikan program pelatihan kepada pasukan khusus Indonesia. Bahkan memberikan juga pelatihan kepada pasukan penerjun Belarusia.
Dalam program pengembangan persenjataan nuklir pun, Cina semakin meningkatkan terus kemampuannya. Termasuk dalam pengembangan rudal antar benua yang berbasis di darat, rudal yang diluncurkan dari kapal selam, dan bahkan bom nuklir berbasis pesawat udara.
Karena itu terbentuknya RECP tak pelak lagi merupakan isyarat bahwa Cina akan muncul sebagai kekuatan hegemoni baru di kawasan Asia Pasifik. Sekaligus sebagai TPP tandingan rancangan AS yang tidak memasukkan Cina dalam keanggotaan TPP.
Maka tak heran jika kebangkitan Cina sebagai adidaya baru di Asia Pasifik sangat mengkhwatirkan Amerika, sehingga menjadi salah satu isu yang dimunculkan Obama ketika kampanye presiden untuk kedua kalinya, ketika menghadapi Mitt Romney November 2012 lalu.
Maka itu, Global Future Institute merasa perlu mengingatkan Sekjen Baru ASEAN Luong Minh agar tidak mengulangi keputusan Surin Pitsuwan yang menolak gagasan kerjasama ASEAN-Rusia-Cina dalam kerangka SCO.