Beroperasinya Sistem Pertahanan Anti-Rudal THAAD AS di Korea Selatan Sebenarnya Ditujukan Terhadap Cina

Bagikan artikel ini

Dalam beberapa bulan belakangan ini, Presiden AS Donald Trump dengan sengaja membesar-besarkan ancaman senjata nuklir dan serangkaian uji coba rudal jarak menengah Korea Utara (Korut) meskipun dalam tiga kali uji coba selalu gagal.

Namun demikian, baik Presiden Trump maupun menteri luar negeri  Rex Tilerson agaknya tetap menggembar-gemborkan kemungkinan timbulnya konflik besar AS-Korut terkait senjata nuklir Korut. Menurut analisis Global Future Institute (GFI), isu senjata nuklir dan uji coba rudal jarak menengah Korut nampaknya secara sadar dimainkan sebagai isu oleh AS sebagai alasan untuk meningkatkan kehadiran militernya di Semenanjung Korea. Seraya mencari alasan pembenaran (justifikasi) agar AS bisa menempatkan dan menyebarkan Sistem Pertahanan Anti-Rudal atau yang kita kenal dengan Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di Korea Selatan.
Sejak April lalu THAAD yang merupakan perangkat pertahanan anti-rudal milik AS ini sudah dioperasionalisasikan dan dipasang di sebuah lapangan golf Seongju, Korea Selatan. Yang menjadi dalih AS untuk memasang THAAD di Korsel adalah untuk melindungi Korsel dengan lebih baik dari ancaman serangan rudal jarak menengah dan senjata nuklir Korut  yang belakangan ini semakin meningkat. Begitu menurut pernyataan Panglima Komando Pasifik AS Harry Harris.
Pernyataan Harris, nampaknya senada dengan pernyataan Presiden Trump maupun menlu Rex Tilerson, bahwa penyebaran THAAD ditujukan untuk melindungi Korea Selatan dari ancaman serangan persenjataan nuklir dan rudal jarak menengah Korut.
Antara lain Harris mengingatkan bahwa Presiden Korut Kim Jong-un semakin mendekati tujuannya membangun rudal nuklir yang berpotensi digunakan untuk menyerang kota-kota di AS.
Jelaslah sudah, bahwa otoritas politik dan otoritas militer AS sedang membangun opini adanya ancaman persenjataan nuklir Korut sebagai dalih untuk semakin meningkatkan jumlah perangkat pencegah rudal balistik ke  beberapa stasiun yang telah dimiliki AS yaitu di Alaska dan California. Bahkan Panglima Harris juga mendesak Kongres agar meningkatkan pengadaan peralatan anti rudal di Hawai.
Tentu saja yang saat ini jadi prioritas Washington adalah penempatan dan penyebaran THAAD di Korea Selatan. Yang mana salah satu alasannya, serangan militer Korut tidak hanya membahayakan jutaan warga Korsel. Tapi juga termasuk 24 ribu tentara AS yang ada di Korsel.
Meskipun dalih yang dikemukakan oleh pemerintah AS, termasuk Panglima Komando Pasifik Harris, nampak masuk akal, namun sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan.
Karena menurut kajian tim riset GFI, THAAD sebenarnya sama sekali tidak diperlukan jika semata-mata untuk menangkal ancaman serangan militer Korut. Sebab, dengan gagalnya tiga kali uji coba rudal jarak menengah yang dilaporkan bisa membawa senjata nuklir, sebenarnya kemampuan persenjataan nuklir Korut tidak berbahaya sama sekali. Bahkan kalau mau lebih tegas, kekuatan persenjataan nuklir sama sekali tidak sebesar yang digembar-gemborkan pihak AS.
Selain dari itu, kalaupun Korut memang pada perkembangannya nanti akan menyerang Korea Selatan atau Jepang, Korut cukup menggunakanb senjata-senjata jenis arteleri dan meriam. Dengan kata lain, dalih AS untuk menempatkan THAAD di Korsel untuk menghadapi serangan nuklir Korut, sama sekali tidak beralasan.
Yang lebih masuk akal, penempatan dan penyebaran THAAD di Korsel adalah untuk menghadapi semakin menguatnya kekuatan angkatan bersenjata Cina di kawasan Asia Pasifik, terutama Semenanjung Korea.
Maka tidak heran jika pihak pemerintah Cina sangat keberatan dengan operasionalisasi THAAD di Korsel. Sebab Cina pasti sudah memperhitungkan bahwa penempatan dan penyebaran THAAD sejatinya ditujukan kepada Cina. Dalam perhitungan para pakar pertahanan Cina, radar yang ada di dalam THAAD bisa menembus wilayah Cina sehingga bisa berfungsi untuk memata-matai semua kegiatan militer Cina.
Hal tersebut secara terbuka juga diperkuat oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina dalam sebuah konferensi pers. Juru Bicara Kemlu Cina Geng Shuang mengatakan negaranya keberatan  dengan keberadaan perangkat THAAD. “Radar kuat THAAD dapat menembus wilayahnya dan melemahkan kemapuan negara kami,” begitu pernyataan Geng Shuang.
Kekhawatiran Cina rasa-rasanya cukup beralasan. Kalau menelisik kemampuannya, THAAD memiliki kemampuan untuk menempuh jarak sekitar 200 kilometer dengan ketinggian menjangkau 150 kilometer. THAAD juga memiliki kemampuan untuk menembakkan rudal balistik jarak pendek dan menengah dari terminal penerbangannya. Rudal tersebut juga dilengkapi dengan teknologi hit to kill. Meskipun tidak membawa hulu ledak, namun THAAD mengandalkan energi kinetik untuk menghancurkan rudal yang masuk.
Sedemikian rupa kegusaran Beijing sehingga beberapa proyek dari beberapa perusahaan Korsel yang beroperasi di Cina dihentikan oleh otoritas Cina.
Apapun alasan AS dengan penyebaran dan penempatan THAAD, pada kenyataannya saat ini kapal induk USS Carl Vinson dan kapal selam yang dilengkapi rudal USS Michigan, sudah merapat ke perairan dekat Semenanjung Korea. Sehingga bisa dibaca sebagai isyarat bahwa AS memang sedang meningkatkan eskalasi militernya, khususnya angkatan lautnya, di Semenanjung Korea. Bukan saja untuk menghadapi Korut, melainkan juga untuk menghadapi kekuatan militer Cina.
Maka dalam konteks demikian, penempatan THAAD di Korsel, bukan saja akan membahayakan Korut, melainkan juga Cina. Ketika Cina semakin yakin bahwa keberadaan THAAD sesungguhnya ditujukan kepada negaranya, maka bisa dipastikan Cina pun akan membalas dengan mengoperasionalisasikan rudal-rudal canggihnya. Sehingga pada perkembangannya, akan semakin meningkatkan eskalasi konflik militer di Semenanjung Korea. Sehingga ketegangan militer antara AS dan Cina sebagai sama-sama negara adikuasa, tak terhindarkan lagi. Alhasil, situasi di Semenanjung Korea akan semakin memanas, dan berpotensi menciptakan instabilitas tidak saja di kawasan Asia Timur, melainkan juga di Asia Tenggara.
Dengan demikian, maka pernyataan Presiden Trump tentang kemungkinan terjadinya konflik besar antara AS versus Korut terkait program nuklir, sesungguhnya hanya alasan atau dalih agar AS bersama-sama dengan Korsel dan Jepang semakin intensif menjalin kerjasama militer di Semenanjung Korea, yang mana sesungguhnya bukan sekadar hendak menghadapi Korut, tapi untuk mengepung Cina. Maka, Cina lah sasaran strategis AS yang sesungguhnya di balik ketegangan AS-Korut terkait senjata nuklir.
Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com