Bila Pancasila Tidak Berdaulat, Bangsa Tak Akan Selamat

Bagikan artikel ini

Kontemplasi Kecil Jelang Rajab

Catatan ini dilatarbelakangi keprihatinan atas praktik – praktik konstitusi UUD NRI 1945. Ya, UUD ini adalah hasil amandemen empat kali terhadap UUD 1945 Naskah Asli rumusan para pendiri bangsa. Ada perbedaan judul di antara kedua UUD, pada diksi “NRI”. Dalam catatan ini, bila penulisannya tanpa diksi NRI, maksudnya adalah (UUD) Naskah Asli rumusan  the Founding Fathers. Sebaliknya, apabila mencantumkan NRI artinya UUD hasil amandemen kurun waktu 1999-2002 silam.

Oleh para pegiat konstitusi, penyebutan UUD NRI 1945 hasil empat kali amandemen —untuk membedakan dengan UUD 1945 Naskah Asli— kerap disebut dengan istilah UUD 2002 alias ‘UUD Palsu’. Meski secara de jure kedua istilah tersebut tidak akan ditemui dalam literatur hukum manapun, namun kini mulai familiar di telinga publik.

Mengapa UUD NRI 1945 diistilahkan UUD 2002, atau UUD Palsu?

Sebab, UUD hasil empat kali amandemen diteken pihak otoritas yang berwenang (Presiden RI ke-5) pada tahun 2002, sehingga sebutan mudahnya ialah UUD 2002. Sekedar tanda saja. Secara substansi, ia sangat berbeda dengan UUD 1945 karya the Founding Fathers.  Nanti kita urai. Sedang istilah UUD Palsu, semata-mata merujuk pada dunia periklanan. Maksudnya, ketika ada 2 (dua) produk yang hampir sama, maka produk yang terbit belakangan disebut tiruan alias produk palsu. Itu sekilas keterangan kenapa ada istilah UUD Palsu. Tak lebih.

Balik ke laptop. Ya. Latar keprihatinan di atas tadi, tak lain akibat dikuburnya Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Betapa miris. Pancasila sebagai philosophische grondslag, dasar negara, way of life dan seterusnya, kini tinggal gaungnya. Bahkan (alm) Buya Syafii Maarif sempat memotret fenomena ini dengan frase keprihatinan:

“..Pancasila dimuliakan dalam kata, diagungkan dalam tulisan, namun dikhianati dalam perbuatan”.

Pertanyaan filosofis muncul, “Bagaimana bangsa akan selamat, sedangkan way of life dan/atau Norma Hukum Tertingginya tidak berdaulat?” Ini retorika sekaligus asumsi penulis guna melanjutkan catatan ini.

Pantas saja, hasil penelitan Prof Kaelan dari UGM terhadap UUD 2002 ditemukan fakta mengenaskan. Apa itu? Jika merujuk Pancasila, sesungguhnya pasal-pasal pada Batang Tubuh telah diganti 97%. Bukan diubah atau diamandemen, tapi diganti. Sungguh bebedah. Warisan para pendiri bangsa cuma tersisa 3%.

Katakanlah, unsur Ketuhanan Yang Maha Esa. “Sila Pertama”. Kini justru muncul ‘tuhan-tuhan baru’ dalam kehidupan berbangsa – bernegara. Dalam praktik konstitusi sekarang, ada sebagian elit yang mentuhankan demokrasi ala Barat. “Demokrasi sebagai tujuan”. Atau, ada pula golongan yang mentuhankan Ketua Partai, ataupun mati-matian ingin meraih popularitas, elektabilitas, ataupun mengejar jabatan dan seterusnya, bukannya mencari ridho Illahi.

Kerap kali, Ketuhanan YME dalam Sila Pertama cuma dipakai saat jelang Pemilu melalui kyai, ulama, dan/atau habib untuk mendulang suara. Pada praktik dan sirkus demokrasi ala Barat, agama dijadikan tuhan. Simbol-simbol agama hanya alat untuk menaikkan elektabilitas.

Timbul anekdot berulang, “Mendadak berkopyah, tiba-tiba berjilbab!” misalnya, atau para elit politik sibuk di lorong – lorong pesantren, bagi-bagi sembako, angpow, dan lain-lain. Ini salah satu contoh saja. Bahwa praktik sistem UUD 2002 membuat semua entitas nyaris menyukai ‘tuhan – tuhan baru’. Padahal, dalam Pancasila bersemayam Kedaulatan Tuhan itu sendiri. Ini yang kerap diabaikan oleh para elit politik. Mereka tak mampu melihat hal tersirat dari apa yang tersurat.

Menginjak Sila Kedua: “Kemanusian Yang Adil dan Beradab”. Bahwa penjuru atau ujung tombak sila ini seyogianya para cendikia, kaum akademis, dan golongan intelektual. Kenapa? Sebab, merekalah yang membidani, memelihara serta mengawal peradaban yang berkemanusian. Tetapi, dalam praktik tak sedikit dari golongan ini justru menjadi ‘pelacur – pelacur intelektual’. Maaf. Mereka merapat ke kekuasaan demi jabatan, bahkan menjadi stempel kekuasaan atas tindakan yang tak beradab dari oknum penguasa atas nama ‘SDM’ (selamatkan diri masing-masing). Ya. Hukum tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.

Apalagi Sila Ketiga. Persatuan Indonesia yang seyogianya dimotori TNI-Polri selaku garda terdepan. Dalam Pemilu 2024 ini, terlihat longgar. Publik mencium, mulai ada gejala keberpihakan kedua institusi bersenjata tadi kepada salah satu pasangan calon dalam Pilpres. Entah kenapa.

Tak dapat dipungkiri, salah satu dampak UUD 2002 memang terjadi politisasi di semua lini. Politisasi menelorkan komersialisasi. Dan di sektor-sektor tertentu, komersialisasi membidani apa yang disebut kriminalisasi (Ichsanuddin Noorsy, 2023). Silakan deskripsikan pada masing-masing sektor asumsi Noorsy tadi. Benar, atau sekedar persepsi?

Pancasila dan UUD 1945 itu satu tarikan napas. Tak boleh dipisah. Tidak dapat dipenggal-penggal dalam praktik operasional. Andai Pancasila itu garis vertikal, UUD 1945 ialah garis horizontal. Nah, paduan keduanya —secara tersurat— membentuk tanda plus atau dimensi positif. Makna tersiratnya, bahwa dimensi dimaksud (plus) menimbulkan aura serta energi positif di sekeliling. Saya tak berani mengatakan, apakah aura positif tersebut seperti rahmatan lil alamin, atau semacam memayu hayuning bawana, namun setidaknya — aura positif dimaksud adalah hasil dari irisan kedua dimensi tadi.

Ketika Pancasila sudah tidak menjangkar pada UUD-nya akibat amandemen empat kali (1999-2002), selain hal tersebut ujud pengkhianatan terhadap Pancasila sebagaimana isyarat Buya Maarif di atas, juga secara posisi — keselamatan bangsa dan negara sedang tidak baik-baik saja. Niscaya tersebar aura negatif di sana-sini akibat Pancasila telah diubah menjadi Demokrasi ala Barat, dan UUD 1945 digantikan oleh UUD 2002.

Jadi, jika ada keinginan Pilpres kembali digelar di MPR dalam kapasitas sebagai Lembaga Tertinggi Negara bukannya tanpa dasar, karena ide tadi merupakan pengejawantahan Sila Keempat: “Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”.

Tatkala ia diganti dengan Pilpres secara langsung (Pilpressung) alias one man one vote —banyak-banyakan suara— itu identik mencapakkan asas musyawarah mufakat, nilai-nilai warisan leluhur. Sila Keempat. Rakyat sekarang seperti dijejali (dan dipaksa) menggunakan nilai asing yang belum tentu pas dengan budaya dan kepribadian bangsa.

Lantas, implikasinya seperti apa?

Muncul tradisi buruk di masyarakat dimana pada era silam nyaris tak ada. Seperti NPWP:  nomer piro wani piro contohnya, atau rakyat hanya berharap bansos dan BLT; sikap apatis, cuek, bahkan masa bodoh; ataupun menunggu ‘serangan fajar’ dan dampak buruk lainnya.

Dalam konteks kebijakan, tren yang muncul, seolah-olah kemiskinan dipelihara (dan dipertahankan) karena dianggap sebagai ‘pasar gemuk’ di setiap hajatan Pemilu. Maka implikasi dalam kebijakan, salah satu contohnya, para elit membuka kran impor dikala petani panen raya. Alhasil harga pun jatuh. Segelintir elit menarik fee dari importir, namun banyak petani merugi. Gulung tikar. Inilah kemiskinan struktural. Rakyat miskin karena faktor kebijakan.

Kalau sudah begini, posisi Sila Kelima Pancasila jauh panggang dari api. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia cuma mimpi di siang bolong.

Uraian di atas hanya ilustrasi kecil perihal Pancasila yang sudah tidak berdaulat justru di bumi dimana ia digali dan dicetuskan oleh  the Founding Fathers.

Dan tidak ada niat menyinggung ataupun menggurui siapapun pada catatan ini, terutama para pihak yang berkompeten. Hanya sekedar sharing atas permenungan penulis memasuki bulan Rajab 1445 Hijriyah/13 Januari 2024.

Nah, simpulan akhir kontemplasi ini adalah, “Pancasila berdaulat, bangsa selamat”.

Marhaban Ya Syahru Rajab!

M. Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com