Dari Pax Americana ke Pax Sinica

Bagikan artikel ini

Secara historis, arah hubungan antara kekuatan yang meningkat dan kekuatan hegemonik selalu ditentukan oleh kekuatan militer, kekayaan, teknologi, dan kualitas kepemimpinan. Kini dunia sedang menyaksikan pergeseran kekuatan global itu seiring dengan digantikannya unipolaritas dengan multipolaritas pada tingkat yang berbeda-beda.

Pada zaman dahulu, kita mengenal Pax Romana ketika Kekaisaran Romawi meluas hingga ke Eropa selama hampir dua abad. Ali Parchami (2009), Hegemonic Peace and Empire The Pax Romana, Britannica and Americana, menjelaskan secara harfiah, Pax Romana diterjemahkan sebagai “perdamaian Romawi”.

Para imperialis dan orang-orang Barat yang terinspirasi oleh hal ini memujinya sebagai “zaman keemasan” yang gemilang dengan stabilitas dan kemakmuran.

Selama abad pertengahan, ketika Kerajaan Inggris menguasai teknologi kemaritiman, Pax Britannica muncul sebagai pemimpin kekuatan global yang menguasasi lautan samudera dan mencengkeram bangsa-bangsa lain sebagai koloni dibawah bendera Britania Raya.

Di zaman modern, lahir Pax Americana dari dominasi kekuasaan Amerika Serikat (AS) pasca Perang Dunia Kedua. Donimasi ini makin menglobal setelah jatuhnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin, dimana dunia beralih ke tatanan unipolar yang didominasi AS. Tidak ada pesaing besar, dan yang terjadi menunjukkan adanya konvergensi negara-negara menuju keharmonisan.

Namun apa yang tampak saat ini, Pax Sinica, yang merujuk pada platform dan pengaruh kekuatan China secara geopolitik, geoekonomi, geostrategis dan diplomasi, mengancam akan menjungkirbalikkan Pax Americana.

Di bawah Xi Jinping, China telah beralih melihat permasalahan dari perspektif yang berpusat pada negaranya, kepada sudut pandang global dan bersedia memikul tanggung jawab yang lebih besar.

Dalam konflik yang sedang berlangsung di Ukraina dan di Gaza, khususnya dalam kasus Gaza, AS dan negara-negara Barat tampak bias dan tidak mampu membendung konflik, justru mendorong Israel dengan perlindungan dan dukungan, ketika kebrutalan menimpa warga sipil Palestina.

Alih-alih menyetujui resolusi Majelis Umum PBB yang menyerukan genjatan senjata kemanusian, AS berjanji menyediakan lebih banyak peluru kendali kepada Israel (UN General Assembly adopts Gaza resolution calling for immediate and sustained “humanitarian truce”, 26/10/2023).

Beruntung dunia bergerak menuju multipolaritas, karena China mengambil peran proaktif dalam politik dan konflik global. China menyerukan gencatan senjata dan mengatasi akar konflik.

China juga menyerukan keadilan yang belum ditegakkan terhadap rakyat Palestina, dan mendesak agar “hukuman kolektif” terhadap rakyat Palestina harus diakhiri.

Selama kepemimpinan China di Dewan Keamanan PBB, resolusi 2712 (2023), menyerukan koridor kemanusiaan yang “mendesak dan diperluas” di seluruh Gaza untuk menyelamatkan dan melindungi nyawa warga sipil.

Beijing juga mengeluarkan policy paper pertamanya mengenai perang Israel-Gaza, menyerukan gencatan senjata komprehensif dan konferensi PBB guna menyusun peta jalan bagi solusi dua negara, dengan menjunjung “keadilan dan kebenaran” serta mengedepankan perdamaian dan dialog (Meetings Coverage Security Council, 15/11/2023).

Tak terbatas konflik di Gaza, sebelumnya pada Maret 2023, China juga telah memainkan peran kunci sebagai juru damai Iran dan Arab Saudi. China tampak mulai mencari peran lebih pro aktif dalam konflik global dan di Timur Tengah dengan visi keharmonisan global dan non-intervensi antar negara.

Pada Agustus 2023, Iran dan Arab Saudi tidak hanya diundang untuk bergabung dalam BRICS, tapi mulai 1 Januari 2024, keduanya resmi menjadi anggota BRICS (Reuters, 24/8/2023; Bloomberg, 4/1/2024).

Pengaruh Global China Menguat

Keanggotaan baru dalam BRICS, singkatan dari Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan, terutama dengan masuknya Iran, Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA) dan Mesir, makin menguatkan peran China dalam usahanya meningkatkan pengaruh politiknya di kawasan Timur Tengah dan negara-negara petrodollar.

Terlepas dari perbedaan politik di antara mereka, sebagai emerging market countries membutuhkan dorongan bersama untuk merestrukturisasi sistem ekonomi politik dan keuangan global yang dipimpin AS agar menjadi adil, seimbang, dan representatif.

Menurut BRICS Investment Report (UNTAD, 2022), anggota BRICS mewakili lebih dari 42 persen populasi dunia dan menyumbang hampir seperempat produk domestik bruto (PDB) global.

Secara signifikan, pengaruh ekonomi BRICS telah meningkat selama beberapa dekade terakhir, sebagai pendorong pertumbuhan global, perdagangan dan investasi.

BRICS dipuji oleh beberapa analis sebagai penyeimbang terhadap forum dan lembaga ekonomi Barat seperti G7 dan Bank Dunia.

Mereka percaya BRICS dapat menggunakan pengaruh politik dan kekuatan ekonominya untuk mendorong reformasi yang sangat dibutuhkan seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mewakili realitas dunia yang lebih multipolar.

BRICS telah berjuang untuk mencapai potensinya dalam menawarkan alternatif terhadap sistem keuangan dan politik tradisional.

Pendirian Bank Pembangunan Baru (NDB) atau Bank BRICS, sebuah bank pembangunan multilateral dengan modal ditempatkan sebesar USD 50 miliar untuk mendanai infrastruktur dan proyek terkait iklim di negara-negara berkembang.

Bank tersebut, yang mencakup anggota BRICS serta Bangladesh, Mesir, dan UEA sebagai pemegang sahamnya, telah menyetujui pinjaman lebih USD 30 miliar sejak didirikan pada 2015.

Sebagai perbandingan, Bank Dunia saja memberikan komitmen lebih USD 100 miliar pada 2022. Investasi asing juga memainkan peran penting dalam perekonomian BRICS, dengan Foreign Direct Invesment tahunan yang meningkat lebih empat kali lipat dari 2001 hingga 2021, dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan modal tetap bruto.

BRICS juga telah menciptakan Pengaturan Cadangan Kontinjensi (CRA) senilai USD 100 miliar, sebuah fasilitas likuiditas mata uang asing yang dapat dimanfaatkan oleh para anggota selama gejolak keuangan global.

Meski belum akan terwujud dalam waktu dekat, BRICS juga mendorong terciptanya mata uang bersama dalam upaya menantang dominasi dolar dan penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan antar anggota.

Sebagai negara dengan PDB terbesar dan paling berpengaruh dalam barisan BRICS, China akan terus mendorong blok ini dan Belt and Road Initiative (BRI) untuk meningkatkan pengaruh politiknya di tengah meningkatnya persaingan dengan AS.

Bagi Rusia dan Iran, ini adalah tentang mencari sekutu baru pada saat kedua negara terkena sanksi Barat.

Bagi anggota BRICS yang diperluas, BRICS+ menjadi alternatif kekuatan ekonomi dan geopolitik terhadap tatanan dunia baru yang dipimpin AS, dan memposisikan dirinya sebagai perwakilan negara-negara Selatan.
—————

Eko Sulistyo

Penulis adalah Direktur Institute for Climate Policy and Global Politics

Koran Kontan, 15 Januari 2024

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com