Saatnya Indonesia dan Global South Harus Memprakarsai Pembentukan Sistem Keamanan dan Ekonomi Mandiri Bebas dari Hegemoni AS dan Barat

Bagikan artikel ini

Membahas masalah Palestina dan Suriah memang cukup kompleks. Lantaran bukan sebatas konflik Arab versus Israel atau Yahudi versus Islam.

Ada dua isu global yang cukup krusial sejak 1948 saat Negara Israel diproklamirkan secara sepihak oleh Zionis Yahudi. Pertama,  keberadaan negara bangsa Israel dengan merebut sebagian besar wilayah Palestina, dengan mengabaikan hak-hak warga Arab Palestina. Kedua,  dukuingan AS dan Barat terhadap aksi sepihak Israel merebut sebagian besar wilayah Palestina sejak 1948 sejatinya merupakan bagian integral dari Strategi Global AS, Inggris dan Perancis untuk melestarikan dominasi dan hegemoninya di kawasan Timur-Tengah sejak Pasca Perang Dunia I. Yang kemudian berlanjut seturut keberhasilan AS, Inggris dan Perancis tampil sebagai negara-negara pemenang Perang Dunia II.

Maka itu kejahatan militer dan genosida terhadap warga Palestina di Gaza maupun aksi-aksi militer yang dilancarkan Israel ke wilayah kedaulatan Syria (Suriah) sehingga berakibat tewasnya warga sipil (non-combatant) termasuk perempuan dan anak-anak, mendapat dukungan sepenuhnya dari AS, Inggris, Perancis, Kanada, dan Jerman.

Bahkan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonia Guterres mengakui bahwa serangan militer Hamas Palestina terhadap Israel cukup beralasan mengingat selama 56 tahun warga Palestina berada dalam genggaman penjajahan Israel yang didukung dari belakang oleh AS, Perancis, Jerman, Inggris dan Kanada. Pernyataan Antonio Guterres tersebut ketika mendukung pernyataan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

Dalam perspektif geopolitik AS, kawasan Timur-Tengah sudah seperti pekarangan halaman belakang rumahnya sendiri.  Hampir di semua penjuru Timur-Tengah tentara AS punya pangkalan militer. Mulai dari Arab Saudi sampai Suriah. Dari Yordania sampai Qatar. Di Kuwait dan Qatar, mereka punya gudang militer 60.000 m2 yang sehari-harinya merawat tank jenis M-1 dan puluhan ribu amunisi penghancur seperti Tomahawk, rudal yang mampu menghancurkan musuh dalam radius 50 meter.

Di Bahrain, menjadi markas Armada Laut Kelima AS yang menguasai kendali kontrol terhadap Teluk dan Samudra Hindia. Juga di Qatar, angkatan bersenjata AS mempunyai pangkalan udara Al-Udeid Air Base. Pangkalan Udara itu landasannya terpanjang di Teluk, mampu menampung segala macam jenis pesawat, mulai dari tipe pengebom B-52 hingga jet tempur F-36.

(Baca Muza Kazhim & Alfian Hamzah, Iran, Skenario Penghabisan. Jakarta: PT Cahaya Insan Suci, 2007)

Mengapa Amerika dan sekutu-sekutunya seperti Inggris dan Perancis begitu gigih untuk melestarikan hegemoni globalnya di Timut-Tengah sehingga mendukung secara total Israel merebut seluruh wilayah Palestina dari tangan Arab Palestina? Cerita ini bermula ketika seusai Inggris berhasil menaklukkan tentara Turki Ustmani pada Perang Dunia I, Inggris sebagai negara pemenang perang menyadari bahwa Timur-Tengah mengandung harta karun yang nilainya lebih tinggi dibandingkan emas dan perak, yaitu Minyak.

AS yang merupakan sekutu strategis Inggris pada Perang Dunia I, melalui salah satu perusahaan multinasional minyak terbesarnya, Standard Oil of California, berhasil menemukan minyak untuk kali pertama. Menyadari adanya harta karun minyak yang begitu melimpah di kawasan Timur Tengah, pemerintah AS pada 1933 dengan segera menjalin kerja sama dengan Arab Saudi berdasarkan skema Minyak untuk Keamanan (Oil for Security).

Skema kerja sama AS-Arab Saudi pada 1933 tersebut mengandung dua klausul penting: Arab Saudi akan melapangkan akses Amerika ke sumber-sumber minyak. Sebagai timbal-baliknya, Amerika akan memberikan bantuan persenjataan, pelatihan militer, plus membangun pangkalan militer di Dhahran.

Pada 1938, lima tahun sejak perjanjian AS-Arab Saudi, eksplorasi Standard Oil membuahkan hasil. Mereka menemukan ladang minyak yang cukup besar di Dhahran. Menariknya, Pentagon atau kemeterian pertahanan AS yang tak ada kaitannya dengan minyak, pada 1944 menyerukan kepada publik bahwa Amerika berhasil menguasai salah satu material paling berharga dalam sejarah dunia, yaitu Minyak. Nampaknya ini merupakan pesan tersirat bahwa sejak saat itu bagi pemerintah AS minyak dan keamanan merupakan dua hal yang bertaut satu sama lain. Minyak dan kekuatan militer merupakan kesatuan yang tak terpisahkan.

Bagi AS maupun sekutu-sekutunya yang tergabung dalam NATO, menyatunya minyak dan militer di Timur Tengah, merupakan rule-based policy. Skema AS-Inggris-Perancis untuk mempertahankan hegemoni globalnya di Timur Tengah tersebut menemukan momentumnya yang pas ketika Pasca Perang Dunia II, Inggris memprakarsai pembagian Palestina yang menguntungkan Israel alih-alih Arab Palestina. Yang kemudian mencapai kulminasinya ketika pada 1948 Israel memproklamirkan dirinya sebagai negara bangsa. Keberadaan Israel di jantung Timur Tengah memang merupakan skenario AS dan blok Barat untuk menciptakan instabilitas politik dan keamanan di kawasan tersebut. Sehingga tujuan strategis AS-Inggris menguasai minyak Timur-Tengah bisa bebas tanpa hambatan.

Skema AS, Inggris yang kemudian didukung oleh Jerman dan Kanada, adalah untuk menguasai minyak. Sebab seturut perjanjian Oil for Security antara Presiden Frank Delano Roosevelt dan Raja Arab Saudi Abdul Azis bin Ibnu Saud, maka Standard Oil yang kemudian berubah nama jadi Chevron, kemudian mengajak beberapa perusahaan minyak lainnya menanamkan investasinya dalam bidang minyak di Arab Saudi. Antara lain Texaco, Exxon dan Mobile. Mereka ini sebagai kongsi bisnis kemudian sepakat membentuk Arabian American Oil Company (ARAMCO).

Baca juga: Dewan Kerjasama Teluk Kreasi Rockefeller-Rothschild untuk Kuasai Monopoli Minyak Timur Tengah

Adapun konsesi ladang minyak yang diberikan Saudi dan negara-negara Teluk kepada AS dan sekutu-sekutunya dari blok Barat kalau kita bayangkan seluas Perancis, Spanyol dan Jerman jadi satu. Besar sekali bukan?

Latarbelakang inilah yang secara akurat dapat menjelaskan dua hal. Bahwa untuk mempertahankan skema Minyak Untuk Keamanan, Amerika butuh dua hal. Keberadaan Israel di jantung Timur Tengah sebagai ujung tombak skema penjajahan gaya baru AS dan Barat. Sehingga logis jika AS dan sekutu-sekutunya selalu mendukung secara total seluruh aksi militer Israel yang ditujukan kepada Palestina maupun Suriah.

Kedua, AS perlu membangun pangkalan militer sebanyak-banyaknya di negara-negara yang berada di kawasan Timur-Tengah. Seperti di Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Bahrain, Oman, Uni Emirat Arab, dan Yordania. Bahkan pada Pasca Invasi ke Irak menggulingkan Saddam Hussein, AS juga menguasai pangkalan militer maupun pelabuhan di Irak.

Skema Minyak untuk Keamanan yang jadi landasan kebijakan luar negeri AS baik oleh partai Republik maupun partai Demokrat, pada 1973 semakin dilembagakan ke dalam kerja sama antara AS dengan tujuh negara Arab yang kemudian dikenal sebagai Dewan Kerja Sama Teluk (Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Yordania).

Maka itu negara-negara yang berada di luar orbit pengaruh skema AS-Dewan Kerjasama Teluk yang bertumpu pada Minyak untuk Keamanan sebagai rule-based policy mereka, nampaknya sudah harus punya sebuah kesadaran baru. Bahwa kerja sama dengan negara-negara Barat atas dasar kesetaraan dengan negara-negara Barat rasa-rasanya sudah sulit diharapkan.

Sehingga Skema Kerja Sama Selatan-Selatan atau South-South Cooperation sudah saatnya semakin diintensifkan di antara negara-negara berkembang/developing countries termasuk Indonesia, dengan menganut prinsip kemandirian dan tidak tergantung pada AS dan sekutu-sekutunya.

Sudah saatnya negara-negara berkembang termaksuk Indonesia, mulai menggagas pembentukan sistem keamanan mandiri yang bebas dari campur-tangan AS dan NATO. Bahkan di bidang ekonomi sudah saatnya mempertimbangkan kemungkinan mengeluarkan mata-uang sendiri sehingga bebas dari dolar AS atau Euro.

Yang lebih penting di atas semua itu tadi, Global South perlu mendesak negara-negara Barat, terutama AS, agar memberikan kompensasi dan ganti rugi atas periode kolonisasi mereka di Timur Tengah yang sudah berlangsung selama 56 tahun.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com