Pemakzulan Versus Dekrit Presiden

Bagikan artikel ini
Jelang hari H coblosan (14 Februari 2024), suhu dan dinamika copras-capres semakin panas. Dan tampaknya, menguat pula isu-isu lain yang tidak kalah seru. Diduga kuat, ‘isu lain’ dimaksud bakal mewarnai Pemilu 2024, terutama di tahapan Pilpres.
Adapun isu-isu lain tersebut antara lain sebagai berikut:
Pertama, arus pemakzulan terhadap Jokowi oleh beberapa entitas di publik dengan muatan isu hentikan cawe-cawe, atau Pemilu tanpa Jokowi, dan lain-lain;
Kedua, menguatnya gerakan perubahan rezim (sistem dan aturan) alias kembali ke UUD 1945 Naskah Asli sesuai rumusan the Founding Fathers.
Apa hendak dikata. Meski terdapat isu (perubahan) lain yang hampir mirip dengan poin kedua soal perubahan UUD, namun perubahan dimaksud melalui amandemen ke-5 (bukan kembali ke Naskah Asli). Isu ini kurang mendapat respon publik, sebab sama saja/identik setuju dengan penggantian atau liberalisasi UUD 1945 via empat kali amandemen pada kurun 1999-2002.
Beberapa kalangan akademis/intelektual maupun kelompok spiritual meramal, bahwa nantinya bakal timbul ‘konflik’ dalam Pemilu. Ada tiga skenario konflik. Misalnya, 1) konflik sebelum Pilpres; 2) konflik saat hari H coblosan; dan 3) konflik usai coblosan. Atau, mungkin cuma dua skenario saja yaitu konflik sebelum Pilpres, atau konflik setelah Pilpres. Silakan deskripsikan sendiri.
Pertanyaannya, “Apakah yang menjadi password (pintu masuk) kelak dalam konflik baik sebelum Pilpres maupun konflik saat dan/atau usai Pilpres?”
Secara teori, eskalasi konflik bemula dari social distrust alias ketidakpercayaan publik kepada pemerintah, terutama kiprahnya di penghujung kekuasaan; kemudian social distrust berubah menjadi social disorder (ketidaktertiban sosial); social disorder meningkat jadi social disobedience (pembangkangan sosial); dan social disobedience berubah jadi political disobedience alias pembangkangan politik; dan muara akhir ialah political riots (kerusuhan politik).
Dalam tahapan/eskalasi konflik, ia dapat berubah sangat cepat menuju political riots pada satu sisi, namun di sisi lain — eskalasi konflik bisa dihentikan di tengah jalan sepanjang solusi dan cara bertindaknya tepat, cerdas, strategik dan komprehensif integral. Ya. Solusi yang membuat nyaman semua pihak terutama rakyat. Bukan cara bertindak yang memperkeruh keadaan.
Kedua isu di atas, baik arus pemakzulan maupun gerakan kembali ke UUD 1945 sejatinya merupakan cermin dari social distrust dan social disorder. Bedanya ada di proses. Bila isu pemakzulan menyorot kiprah dan perilaku sosok dan/atau kinerja pemerintah, sedangkan isu kembali ke UUD 1945 mengkritisi rezim (sistem dan aturan). Bukan sosok, tak pula mengkritisi kinerja pemerintah. Namun, menyikapi Sistem dan Asas Negara. Jadi, kedua isu tersebut beda target, berbeda cara.
Modus isu pemakzulan, cenderung mengarah pada people power atau revolusi sosial. Tak pelak, modus ini bakal berhadapan dengan alat perlengkapan negara (TNI-Polri), sedangkan isu kembali ke UUD 1945 memilih jalan damai dan beradab lewat sidang umum MPR dengan agenda tunggal: “Kembali ke UUD 1945 Naskah Asli melalui teknik adendum”. Secara taktis, isu kembali ke UUD 1945 lebih sexy. Selain lebih soft, juga meredam atau menarik konflik dari akar rumput ke gedung MPR di Senayan. Melokalisir konflik.
Cara perubahan melalui people power bisa kebablas menjadi kerusuhan massal sebagaimana Mei 1998 yang menelan banyak korban dan kerugian material. Bahkan diprakirakan eskalasi konflik nantinya lebih parah daripada Mei 1998 karena faktor internal —balas dendam politik— dan faktor eksternal, yaitu masuknya anasir dari luar alias ditunggangi oleh kepentingan asing.
Tak pelak memang, secara peperangan asimetris (nirmiliter) bahwa Indonesia kini merupakan buffer zone, atau vulgarnya ialah medan tempur (proxy war) bagi kepentingan adidaya Barat dan Timur. Ini keniscayaan geopolitik, geostrategi dan geoekonomi.
Jika inside (slulup) lebih dalam lagi, posisi medan tempur sejatinya diakibatkan oleh rezim UUD NRI 1945 itu sendiri —hasil empat kali amandemen— terutama ayat tambahan (hasil amandemen) di ayat (4) Pasal 33 yang justru menganulir ayat-ayat di atasnya.
Kembali ke laptop. Sesuai judul telaah kecil ini, jika nanti timbul konflik dalam Pilpres, jawabannya adalah Dekrit Presiden. Kenapa? Tak lain, dalam rangka mencegah chaos yang lebih besar serta meluas, dan menganulir Balkanisasi Nusantara.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com