Penulis: Agus Setiawan, Pegiat Sosial Politik dan Research Associate GFI
Artikel ini merupakan tulisan kedua dari artikel “Bila Tidak Ada Visi, G-20 Merupakan Penjara Bagi Indonesia (1)”
Pendahuluan
Sebagai tuan rumah, Indonesia dipuji oleh WTO dan korporasi transnasional karena telah berhasil memfasilitasi berlanjutnya program mereka yang tertunda pada Putaran Doha. Mulusnya Paket Bali, mempercepat berjalannya proyek-proyek infrastruktur fasilitas perdagangan di negara-negara berkembang maupun tertinggal. Dengan demikian mesin kapital IMF dan World Bank mulai mengucurkan dana dengan nama pinjaman, bantuan kerjasama maupun hibah yang semakin menyuburkan ideologi neolib dan gaya hidup hollywood di negara-negara berkembang dan tertinggal.
Setelah macet selama 12 tahun, akhirnya Konferensi Tingkat Menteri IX WTO di Bali berhasil menyepakati “Paket Bali” – yang isinya tidak lain adalah agenda “Putaran Doha” yang telah terkatung-katung selama ini.
Tiga Paket Bali yang disepakati meliputi:
1. Fasilitas perdagangan,
2. Pembangunan untuk negara-negara tertinggal (least developed countries/LDCs),
3. Pertanian.
Seperti yang sudah-sudah, masalah pertanian tetap alot, karena AS dan negara-negara maju tetap ngotot menentang subsidi pertanian. Namun akhirnya usul India disepakati setelah memberi kelonggaran kepada India untuk menegosiasikan besaran subsidi dan stok pangannya dalam empat tahun ke depan. Demikian pula tuntutan paket pertanian negara lain seperti Kuba, Venezuela, Bolivia dan Nikaragua akhirnya juga disetujui oleh negara-negara maju. Justru hasil negosiasi inilah yang telah ditunggu-tunggu oleh korporasi transnasional, karena mereka sudah lama bersiap-siap untuk memperluas pasarnya.
Lalu benarkah negara-negara berkembang diuntungkan oleh kesepakatan Paket Bali itu? Tentu tidak! Paket Bali tidak mengubah apa-apa. Bahkan Paket Bali akan menjadi Tsunami bagi negara-negara berkembang dan tertinggal. Betapa tidak bila kesepakatan paket subsidi pertanian dengan tenggat 4 tahun ditukar dengan fasilitas perdagangan bebas. Maka bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada tahun 2020 nanti, ketika gelombang raksasa liberalisasi perdagangan melanda pasar negara-negara berkembang.
Putaran Bali sekali lagi menunjukkan sikap dominasi negara-negara maju yang selalu memaksakan kehendak. Hal tersebut tampak jelas dalam kesepakatan paket fasilitas perdagangan – dimana negara-negara maju melalui WTO – bisa memaksa negara-negara berkembang untuk membangun infrastruktur, seperti pembangunan pelabuhan, bandara, perizinan, kepabeanan, dan lain sebagainya yang berbiaya besar. Proyek infrastruktur itu dibangun oleh negara-negara berkembang dan tertinggal sudah pasti dengan “bantuan” World Bank, mulai dari konsultasi, standarisasi sampai anggaran. Lalu siapa yang menikmati hasil pembangunan itu. Ya lagi-lagi negara maju, karena mempermudah dan memperlancar arus lalu-lintas barang dan jasa mereka di negara-negara berkembang.
Sebaliknya, dengan menciptakan berbagai standar teknis internasional yang ditetapkan melalui WTO, negara-negara maju mampu membendung masuknya aneka produk olahan negara-negara berkembang. Belum lagi hambatan new non-tariff barrier, negara-negara maju memberlakukan tarif ekskalasi untuk sejumlah jenis produk olahan. Dengan kata lain, negara-negara maju berusaha menutup pintu rapat-rapat terhadap masuknya produk olahan negera-negara berkembang. Indonesia sendiri sudah sering mengalami hambatan dalam ekspor produk pertanian, perikanan dan produk olahan lain ke AS dan Eropa. Tapi ga kapok-kapok. Dari gambaran ini jelas menunjukkan peran WTO sebagai “sistem kontrol” untuk mempertahankan dominasi ekonomi negara-negara maju secara elegan dengan perjanjian dan standarisasi yang aneh-aneh.
Doktrin purba ekonomi kapitalisme liberalisme adalah memang bagaimana menumpuk kekayaan dengan jalan menguasai tanah dan isi tanah. Bahasa kerennya, kuasai suatu negara, kuras sumberdayanya. Jadi apapun istilahnya, tetap penindasan namanya! Doktrin ini terus berkembang membelah peradaban umat manusia menjadi dua kelas dengan sebutan negara maju (Utara) dan negara tertinggal/berkembang (Selatan). Kalau dengan bahasa Indonesia: Utara adalah majikan sedangkan Selatan adalah pembantu. Seperti kata Iblis, “aku lebih mulia dari manusia karena aku diciptakan dari api, sedang munusia itu kotor karena diciptakan dari tanah!” Dimanapun, kapanpun kita berbeda. Aku dan kau tidak mungkin bersatu. Ideologi Iblis ini terus tumbuh dan berkembang menembus ruang dan waktu membelah umat manusia sampai hari kiamat. Oleh karena itu, penindasan tidak akan hilang dari muka bumi.
Membaca Ekonomi Indonesia Mutakhir
Indonesia dengan populasi penduduk sebanyak 250 juta jiwa secara ekonomis jelas merupakan pangsa pasar yang besar. Bila dibanding dengan kelompok negara kekuatan ekonomi baru BRIC (Brazil, Rusia, India dan China), Indonesia memang masih tertinggal dalam soal tenaga berpendidikan tinggi, yang merupakan modal penting guna menggerakkan perekonomian, terutama dalam pengembangan ekonomi kreatif yang sekarang sedang digembar-gemborkan oleh pemerintah.
Industri kreatif menjadi unggulan karena mampu menggerakkan ekonomi rakyat dengan mengembangkan bakat individu, serta mengeksploitasi daya cipta individu berdasarkan pengetahuan dan informasi. Industri kreatif dipandang semakin penting dalam meningkatkan kesejahteraan. Industri abad ke 21 akan sangat tergantung pada produksi pengetahuan melalui kreativitas dan inovasi seperti bidang: arsitektur, desain, fesyen, kerajinan, musik, teknologi informasi, penerbitan dan percetakan, periklanan, riset dan pengembangan, kuliner, TV + radio, seni pertunjukkan, permainan interaktif, film/video/fotografi, dan pasar barang seni.
Disamping itu, dalam konteks pemanfaatan teknologi informasi, internet dan ponsel kerap dijadikan ukuran kemajuan suatu negara. Untuk pengguna internet Indonesia tergolong rendah, yakni 8,7 orang per 100 populasi atau 8,7% dari populasi. Namun masih lebih tinggi dari India, yakni 5,1%. Sedangkan, di China sebanyak 28,5%, Brazil 38,7% dan Rusia 42,4%. Dan untuk pelanggan ponsel, Indonesia tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara BRIC, yakni 69,2%. Indonesia hanya dikalahkan oleh Rusia yang mencapai 163,6% yang berarti satu orang memiliki lebih dari satu ponsel. Sedangkan, Brazil sebesar 89%, China 55% dan India hanya 43,8%.
Masih dalam konteks industri kreatif, nenek moyang kita dahulu telah mewariskan seni budaya tinggi, mulai dari puisi, lagu, tarian sampai seni ukir, seni pahat, pembuatan patung, candi, senjata, benteng bahkan kapal perang. Situs-situs tersebut tersebar dari sabang sampai merauke menjadi warisan sejarah yang tidak ternilai harganya. Ditambah keindahan panorama alam yang masih asri menjadikan Indonesia sebagai salah satu tujuan wisata alam, sejarah dan budaya terbaik dunia. Namun pada kenyataannya dalam urusan pariwisata, Indonesia ditingkat regional masih kalah jauh dari Malaysia, Singapura dan Thailand.
Kalau dibandingkan dengan Indonesia, Malaysia dan Singapura tidak ada apa-apanya dalam soal obyek wisata. Tapi kedua negara tersebut mampu mengelola potensi pariwisatanya dengan baik. Dari sektor pariwisata Indonesia baru mampu menyumbang 14,33 % PDB, padahal dengan potensi yang dimiliki seharusnya mampu menyumbang sampai 20% PDB, bahkan mencapai 25% PDB bersama transportasi dan komunikasi bila didukung infrastruktur yang memadai.
Demikian pula sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan baru mampu menyumbangkan 14,43% PDB. Indonesia sebagai negara kepulauan tropis yang selalu disinari matahari sepanjang tahun, dengan tanah yang subur seharusnya sektor ini mampu menyumbangkan paling sedikit 20% PDB. Eh pada kenyataannya malah terbalik, Indonesia malah impor 29 komoditas pangan. Lebih aneh lagi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia sampai impor garam dari Australia, India, Selandia Baru, Jerman, Denmark. Memang aneh tapi nyata, ini daftar produk impor, nilai, volume dan negara asal tahun 2013 lalu:
- Beras. Nilai impor sampai Agustus: US$ 156,332 juta. Volume impor sampai Agustus: 302,71 juta kg. Negara asal: Vietnam, Thailand, Pakistan, India, Myanmar, dan lainnya.
- Jagung. Nilai impor sampai Agustus : US$ 544,189 juta. Volume impor sampai Agustus: 1,80 miliar kg. Negara asal : India, Argentina, Brazil, Thailand, Paraguay dan lainnya.
- Kedelai. Nilai impor sampai Agustus : US$ 735,437 juta. Volume impor sampai Agustus: 1,19 miliar kg. Negara asal : Amerika Serikat, Argentina, Malaysia, Paraguay, Kanada dan lainnya.
- Biji Gandum. Nilai impor sampai Agustus : US$ 1,66 miliar. Volume impor sampai Agustus: 4,43 miliar kg. Negara asal : Australia, Kanada, India, Amerika Serikat, Singapura dan lainnya.
- Tepung Terigu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 45,29 juta. Volume impor sampai Agustus: 104,21 juta kg. Negara asal : Srilanka, India, Turki, Ukraina, Jepang dan lainnya.
- Gula Pasir. Nilai impor sampai Agustus : US$ 31,11 juta. Volume impor sampai. Agustus: 52,45 juta kg. Negara asal : Thailand, Malaysia, Australia, Korea Selatan, Selandia Baru dan lainnya.
- Gula Tebu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 1,16 miliar. Volume impor sampai Agustus: 2,21 miliar kg. Negara asal : Thailand, Brazil, Australia, El Savador, Afrika Selatan dan lainnya.
- Daging Sejenis Lembu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 121,14 juta. Volume impor sampai Agustus: 25,21 juta kg. Negara asal : Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Singapura.
- Jenis Lembu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 192,56 juta. Volume impor sampai Agustus: 72,54 juta kg. Negara asal : Australia.
- Daging Ayam. Nilai impor sampai Agustus : US$ 30,26 ribu. Volume impor sampai Agustus: 10,83 ribu kg. Negara asal : Malaysia.
- Garam. Nilai impor sampai Agustus : US$ 59,51 juta. Volume impor sampai Agustus: 1,29 miliar kg. Negara asal : Australia, India, Selandia Baru, Jerman, Denmark, lainnya.
- Mentega. Nilai impor sampai Agustus : US$ 60,09 juta. Volume impor sampai Agustus: 13,51 juta kg. Negara asal : Selandia Baru, Belgia, Australia, Perancis, Belanda dan lainnya.
- Minyak Goreng. Nilai impor sampai Agustus : US$ 45,55 juta. Volume impor sampai Agustus: 48,01 juta kg. Negara asal : Malaysia, India, Vietnam, Thailand, dan lainnya.
- Susu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 530,47 juta. Volume impor sampai Agustus: 139,68 juta kg. Negara asal : Selandia Baru, Amerika Serikat, Australia, Belgia, Jerman dan lainnya.
- Bawang Merah. Nilai impor sampai Agustus : US$ 32,00 juta. Volume impor sampai Agustus: 70,95 juta kg. Negara asal : India, Thailand, Vietnam, Filipina, Cina dan lainnya.
- Bawang Putih. Nilai impor sampai Agustus : US$ 272,47 juta. Volume impor sampai Agustus: 332,88 juta kg. Negara asal : Cina, India, Vietnam.
- Kelapa. Nilai impor sampai Agustus : US$ 698,49 ribu. Volume impor sampai Agustus: 672,70 ribu kg. Negara asal : Thailand, Filipina, Singapura, Vietnam.
- Kelapa Sawit. Nilai impor sampai Agustus : US$ 1,87 juta. Volume impor sampai Agustus: 3,25 juta kg. Negara asal : Malaysia, Papua Nugini, Virgin Island.
- Lada. Nilai impor sampai Agustus : US$ 2,38 juta. Volume impor sampai Agustus: 224,76 ribu kg. Negara asal : Vietnam, Malaysia, Belanda, Amerika Serikat dan lainnya.
- Teh. Nilai impor sampai Agustus : US$ 20,66 juta. Volume impor sampai Agustus: 14,58 juta kg. Negara asal : Vietnam, Kenya, India, Iran, Srilanka dan lainnya.
- Kopi. Nilai impor sampai Agustus : US$ 33,71 juta. Volume impor sampai Agustus: 14,03 juta kg. Negara asal : Vietnam, Brazil, Italia, Amerika Serikat dan lainnya.
- Cengkeh. Nilai impor sampai Agustus : US$ 2,79 juta. Volume impor sampai Agustus: 262,30 ribu kg. Negara asal : Madagaskar, Mauritius, Singapura, Brazil, Comoros.
- Kakao. Nilai impor sampai Agustus : US$ 48,52 juta. Volume impor sampai Agustus: 19,51 juta kg. Negara asal : Ghana, Pantai Gading, Papua Nugini, Kamerun, Ekuador dan lainnya.
- Cabai (segar). Nilai impor sampai Agustus : US$ 360,08 ribu. Volume impor sampai Agustus: 281,93 ribu kg. Negara asal : Vietnam, India.
- Cabai (kering-tumbuk). Nilai impor sampai Agustus : US$ 15,00 juta. Volume impor sampai Agustus: 12,26 juta kg. Negara asal : India, Cina, Jerman, Malaysia, Spanyol dan lainnya.
- Cabai (awet sementara). Nilai impor sampai Agustus : US$ 1,56 juta. Volume impor sampai Agustus: 1,64 juta kg. Negara asal : Thailand, Cina, Malaysia.
- Tembakau. Nilai impor sampai Agustus : US$ 371,09 juta. Volume impor sampai Agustus: 72,98 juta kg. Negara asal : Cina, Turki, Brazil, Amerika Serikat, Filipina dan lainnya.
- Ubi Kayu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 38,38 ribu. Volume impor sampai Agustus: 100,80 ribu kg. Negara asal : Thailand.
- Kentang. Nilai impor sampai Agustus : US$ 18,18 juta. Volume impor sampai Agustus: 27,39 juta kg. Negara asal : Australia, Kanada, Mesir, Cina, Inggris.
Coba, berapa devisa kita yang terbuang. Presiden terpilih nanti harus sadar bahwa Indonesia sekarang dalam kondisi darurat karena sudah mengimpor 29 komoditas pangan. Perlu sebuah solusi cepat dan tepat dalam jangka pendek yang mampu membalikkan keaadaan dari impor menjadi ekspor. Sehingga Indonesia memiliki ketahanan pangan yang kuat – yang tidak tergantung dari negara lain – karena Indonesia memiliki sumber daya alam yang lebih untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Indonesia juga kaya akan sumber daya alam mineral dan energi. Indonesia adalah pemasok sumber daya alam terbesar dunia, sektor ini masih menjadi penyumbang terbesar PDB, yakni 35%. Dengan kebijakan baru pemerintah Indonesia yang melarang semua ekspor biji mineral mentah sebagai upaya meningkatkan dan mengembangkan pengolahan domestik diharapkan mampu meningkatkan pendapatan negara jauh lebih besar lagi.
Kebijakan pemerintah ini, ternyata berdampak luar biasa terhadap industri dunia. Sebagai contoh, penghentian ekspor biji nikel mentah ternyata memicu guncangan besar dalam industri nikel global, terutama bagi pabrik-pabrik baja stainless yang membuat semua barang mulai dari peralatan dapur hingga mobil dan bangunan.
Bayangkan kita masih kaya akan sumber daya mineral lain, seperti biji besi, emas, perak, mangan, bauksit, timah, tembaga, timbal, alumunium, seng, dan masih banyak lagi. Sayangnya, kebijakan pemerintah tersebut tidak tegas. SBY masih melonggarkan kebijakan bagi Freeport-McMoRan dan Newmont Mining Corp dengan membolehkan ekspor tembaga, biji besi, timbal dan seng yang terkonsentrasi sampai 2017, padahal keduanya memproduksi 97 persen tembaga Indonesia.
Bila kita simak laporan Badan Pusat Statisitik Indonesia (BPS), maupun prediksi lembaga-lembaga keuangan internasional mutakhir menunjukkan bahwa PDB Indonesia akan menembus Rp 10.000 trilyun pada akhir tahun ini. Artinya Indonesia telah menjadi negara kaya dalam deretan 20 negara terkaya di dunia. Bukan itu saja, komposisi utang luar negeri Indonesia terakhir – baik pemerintah maupun swasta yang berkisar Rp 2.000 trilyun atau 20% dari PDB masih aman dan wajar bila dibandingkan dengan negara lain – seperti Thailand (40%), Malaysia (50%), India (60%), Brazil (70%), Singapura (100%), Amerika Serikat (AS) memiliki utang Rp 170.000 trilyun (100%) dan Jepang Rp 115.000 trilyun (200%) dari PDB. Sebagai catatan saja bahwa AS adalah negara yang memiliki hutang terbesar di dunia. Termasuk utang ke PBB sebesar Rp 10,7 trilyun.
Melihat tren pertumbuhan yang rata-rata 6% pertahun dan rasio utang yang aman tidak mengherankan bila Indonesia digadang-gadang akan menjadi “Macan Asia” pada 2020 dan menjadi “Macan Dunia” pada 2030, dengan mengalahkan Jepang yang sekarang merupakan kekuatan ekonomi terbesar ketiga dunia setelah AS dan China.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah rakyat Indonesia tahu bahwa kita sudah menjadi negara kaya. Dengan kata lain, rakyat Indonesia sudah menjadi orang kaya dengan GDP per Capita US$ 4.000,- per tahun. Saya yakin pasti sebagian besar rakyat Indonesia tidak tahu, bahkan termasuk wakil-wakil rakyat kita juga mungkin tidak tahu.
Mengapa? Karena pendapatan negara memang hanya dinikmati oleh segelintir orang – sekitar 43.000 orang kaya atau 0,02% populasi penduduk miskin yang setara dengan 25% PDB. Ditambah 40 orang Indonesia terkaya di dunia yang setara dengan 10% PDB. Jumlah mereka ini mewakili 35% PDB Indonesia atau setara dengan 87,5 juta kekayaan rakyat miskin Indonesia. Sungguh terrlaaluu!
Inilah paradok Indonesia, negara kaya tapi rakyatnya miskin. Lalu apa solusinya buat Presiden terpilih nanti dan para wakil rakyat terhormat untuk merealisasikan PDB tersebut dengan adil dan beradab?
Memang ini bukan perkara mudah, karena bila kita terus mempertahankan pertumbuhan ekonomi model kapitalime liberalisme (neolib) yang sedang berjalan ini, maka kita akan terus meningkatkan angka kemiskinan, pemukiman kumuh dan gelandangan paralel dengan keberhasilan pembangunan itu. Hal ini terjadi karena proses ekonomi neolib memang bertujuan menghancurkan kegiatan ekonomi lokal dan mengganti dengan kegiatan ekonomi baru. Sebagai ilustrasi dengan masuknya modal dibarengi dengan pengalihan kepemilikan lahan, maka terputuslah akses tanah dan sumber daya alam masyarakat sehingga terciptalah “masyarakat mengambang” disuatu wilayah tertentu. Karena tidak mermiliki akses ekonomi dan pengalaman kemudian terpinggirkan dan termiskinkan sebagai akibat proses ekonomi baru itu. Jadi tidak mengherankan bila terjadi peningkatan kaum urban dan meluasnya pemukiman kumuh ditengah gemerlapnya kehidupan perkotaan.
Lalu apa pilihan model pembangunan ekonomi yang ingin kita terapkan sebagai kesinambungan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) untuk menjadikan Indonesia sebagai Macan Asia. Model Rusia atau model China, atau tetap berjalan sesuai dengan kebijakan yang sudah ada mengikuti kemauan negara maju. Atau model Pancasila, yang perlu kita bahas lebih jauh lagi implementasinya dalam diskusi tersendiri. Yang jelas sekarang tinggal kemauan Presiden terpilih nanti untuk bersikap adil dan mau membagi kue hasil pendapatan pembangunan nasional secara proporsional. Paling tidak GDP per Capita US$ 4.000,- bukan sekedar angka statistik yang dipuji-puji oleh IMF dan World Bank. Tapi benar-benar dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia.
Terlepas dari persoalan ideologi itu, ada beberapa kebijakan yang perlu diambil Presiden terpilih nanti guna melakukan terobosan penting bagi kesejahteraan rakyat. Pertama, renegosiasi serta membuat undang-undang kontrak karya migas dan minerba yang lebih menguntungkan negara agar sejalan dengan semangat pasal 33 UUD ’45, jangan sampai negara hanya dapat royalti 1% sedangkan ada pihak lain yang mendapat sampai 6% dari Freeport McMoran. Kalau UU ini berjalan, dalam jangka pendek tentu akan dapat meningkatkan PDB kita secara signifikan dari hasil tambang dan produk olahannya.
Kedua, sebagai negara agraris dalam jangka pendek kita perlu undang-undang “darurat” untuk bela negara, ketahanan pangan dan lapangan kerja bagi rakyat indonesia yang komprehensif dan integratif dengan undang-undang agraria – yang memberikan hak kepemilikan kepada rakyat miskin yang tidak memiliki tanah dan aset. Dengan demikian pemerintah membuat solusi mengatasi pengangguran dan menyediakan lapangan kerja bagi rakyat miskin. Salah satu bentuknya adalah dengan menciptakan “cluster pangan” dilahan yang tidak produktif diluar jawa dan “cluster perikanan” di pulau-pulau yang tidak berpenghuni yang diperkirakan akan mampu menyerap paling sedikit 60 juta lapangan kerja sampai tahun 2020. Bila berhasil, bukan saja kita berhenti impor 29 produk pertanian, malah kita bisa ekspor. Efek program ini juga akan meningkatkan PDB kita lebih besar dari kontrak karya pertambangan. Bahkan merupakan langkah penting guna menjadi Macan Asia.
Ketiga, efisiensi anggaran belanja negara. Belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, kalau RAPBN yang diajukan oleh pemerintah periode 2014-2019 terpilih nanti sebesar Rp 2.000,- trilyun, maka sudah pasti bocor setengahnya. Dimana saja bocornya? Tahap Pertama pada saat penyusunan anggaran di DPR biasanya bocor 5 – 10%. Tahap kedua saat pengesahan anggaran di setiap fraksi dan komisi bocor lagi 5 – 10%. Dan terakhir adalah saat pelaksanaan proyek oleh pengguna anggaran bocor lagi 30 – 40%. Disinilah perlu transparansi anggaran yang mudah diakses oleh umum, sehingga meningkatkan kualitas pengawasan anggaran negara oleh masyarakat.
Memang perlu keberanian dari pemerintah untuk membuat APBN yang efisien, transparan dan terukur pelaksanaannya sesuai dengan kebutuhan rakyat banyak. Lebih ekstrim lagi, kalau pemerintah baru nanti hanya butuh APBN 2014-2019 sebesar Rp 1.000,- trilyun. Ya cukup, jangan ditambah-tambah lagi dengan program yang tidak jelas manfaatnya. Salah satu bentuk efisiensi anggaran adalah dengan program “birokrat minimalis”. Sebuah program standarisasi birokrasi nasional mulai dari tingkat desa atau kelurahan sampai tingkat provinsi dan kementerian. Tujuannya adalah jangan sampai anggaran belanja negara habis untuk urusan birokratis, seperti mengadakan rehab atau pembangunan gedung baru, pengadaan barang yang tidak sesuai kebutuhan, rapat-rapat di hotel, perjalanan dinas yang sifatnya rutin, dan lain sebagainya. Kalau program “birokrat minimalis” ini berjalan, akan menghemat APBN dan APBD besar-besaran sampai 25%.
Nah, kembali kepada anggaran yang Rp 1.000,- trilyun. Presiden terpilih bisa membuat buat program khusus. Misalkan buat modal pendirian bank koperasi setingkat bank sentral yang diluar kendali IMF dan World Bank. Sebuah bank asli milik rakyat Indonesia – model Grameen Bank di Banglades. Sedang akumulasi modal bisa dengan gaya Presiden Suharto dulu, yakni 5% keuntungan BUMN harus di setor menjadi modal bank koperasi.
Bayangkan Indonesia punya bank sendiri dengan modal Rp 1.000,- trilyun, coba berapa banyak cluster pangan dan cluster perikanan dengan dukungan teknologi tepat guna bisa kita ciptakan. Berapa banyak cluster smelter pengolahan mineral mentah bisa kita bangun. Untuk teknologi kita bisa kerjasama dengan Rusia dan China, tidak melulu harus dengan AS dan Eropa Barat. Bahkan kita bisa buat banyak pelabuhan moderen pendukung ekspor di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Bila program ini berjalan dengan baik, maka pada tahun 2020, lebih kurang 150 juta rakyat miskin yang menjadi anggota koperasi aktif, bisa menabung rata-rata Rp 1.000.000,- per bulan sebagai hasil dari kerja keras dan peningkatan GDP per Capita US$ 10.000,-
Keempat, meninjau kembali seluruh perjanjian-perjanjian internasional yang merugikan kepentingan bangsa dan negara agar lebih adil dan bermartabat yang menyangkut bidang perdagangan, pertanian dan penguasaan teknologi. Misalkan menyangkut teknologi refinery minyak bumi dan minyak sawit. Masa kita tidak bisa mengolah hasil minyak mentah sendiri, malah impor minyak mentah dan BBM dari Malaysia dan Singapura sampai 900 ribu barel perhari dengan harga US$ 120 per barel. Kan ga lucu, negara produsen minyak tapi impor minyak mentah. Bayangkan kalau kita diembargo oleh kedua negara tetangga itu satu minggu saja, apa ga kolaps Indonesia! Trus kalo kita punya refinery minyak sawit, disamping kita bisa produksi makanan sampai kosmetik, kita juga bisa negosiasi harga CPO dengan Malaysia, misalkan dari US$ 500,- per ton menjadi US$ 1.000,- per ton. Kan lumayan buat nambah devisa negara kalo volumenya 20 juta ton pertahun.
Membangun Visi Global
Indonesia kini telah menjadi salah satu negara G20 yang memiliki potensi ekonomi yang luar biasa. Belakangan Indonesia dikelompokkan ke dalam MINT (Meksiko, Indonesia, Nigeria dan Turki) yang bakal menggeser posisi BRICS. Padahal secara PDB, maupun GDP per Capita, MINT masih sangat jauh dari BRICS. Lalu apa relevansinya buat Indonesia kalau sekedar dijadikan bahan hitung-hitungan statistik para ahli ekonomi yang kenyataannya mungkin 50 tahun lagi.
Kebutuhan Indonesia sekarang ini adalah seorang Presiden yang tegas dan berani mensejahterakan rakyatnya dalam waktu 5 tahun. Sekaligus mewujudkan Indonesia sebagai “Macan Asia”. Berdasarkan PDB Indonesia yang sudah mencapai Rp 10.000 trilyun, sebetulnya Presiden terpilih bersama DPR tinggal bagaimana membuat kebijakan agar arah pembangunan di segala sektor benar-benar dapat dinikmati dan dirasakan oleh rakyat Indonesia secara merata. Kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi dalam negeri ini, lalu dirumuskan menjadi kepentingan nasional Indonesia yang merupakan dasar kebijakan luar negeri Indonesia. Rumusan kepentingan nasional inilah yang kemudian menjadi visi global Indonesia dalam rangka menjalin kerjasama antar bangsa.
Salah satu strategi pembangunan yang harus dikembangkan oleh Indonesia agar tidak terjebak oleh permainan IMF dan World Bank adalah dengan mengembangkan sistem ekonomi alternatif yang tidak melulu tergantung kepada uang dan utang. Salah satu wujud visi global itu misalkan mewujudkan Joint Development Bank, bank alternatif yang digagas oleh BRIC, dimana transaksinya dikombinasikan dengan sistem barter. Bisa dengan barang atau dengan proyek. Mengapa? Karena uang dan utang merupakan urat nadi sistem kapitalime liberalisme, menurunnya transaksi uang dan utang IMF dan World Bank akan kehabisan darah, dan pelan-pelan mati.
Oleh karena itu, Indonesia harus memiliki visi yang kuat dalam menggalang kekuatan ekonomi alternatif dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat dunia. Memperjuangkan hak yang sama kepada setiap negara untuk menikmati hasil perdagangan dunia yang lebih adil. Disinilah Indonesia harus berani membuat langkah terobosan ditengah krisis ekonomi global sambil menjaga ketertiban dan keamanan dunia.
Tentu saja AS dan sekutunya tidak akan tinggal diam melihat mesin kapital rentenir mereka digembosi. Cara paling mudah mempertahankan keberadaan IMF dan World Bank adalah dengan menciptakan krisis, mulai dari embargo ekonomi, konflik politik dan perbatasan, perang skala terbatas, bahkan kalau perlu sulut Perang Dunia III. Dengan harapan akan menguras devisa seluruh negara yang terlibat. Kalau ini terjadi, ujung-ujungnya IMF dan World Bank lagi yang menjadi pahlawan. Lagi-lagi kata Iblis, “manusia itu memang suka berperang!”
Untuk itu, sebagai langkah awal yang perlu dilakukan adalah mendekati Rusia dan China guna membangun Poros RICH (Rusia, Indonesia, China). Dengan kedua negara tersebut, Indonesia sudah memiliki hubungan historis yang cukup kuat. Bahkan nilai transaksi perdagangan dan investasi dengan kedua negara itu terus meningkat di Indonesia, bahkan bisa menembus US$ 100 milyar usai pemilihan Presiden nanti. Tinggal bagaimana meningkatkan hubungan itu menjadi lebih intens, dengan membangun kemitraan yang lebih kokoh dalam berbagai bidang, mulai dari sektor pertanian, infrastruktur sampai industri strategis yang saling menguntungkan.
Kalau Indonesia mampu membangun Poros RICH dalam jangka pendek, maka akan lebih mudah membangun komunikasi dengan BRICS. Disinilah kekuatan diplomasi diperlukan untuk meyakinkan BRICS yang bila bergabung memiliki total PDB mencapai Rp 150.000,- trilyun atau 20% PDB dunia.
Bila Indonesia berhasil meyakinkan model kerjasama ekonomi alternatif yang lebih adil kepada BRICS, pasti akan dikuti oleh negara-negara selatan yang lain. Pada gilirannya, dalam jangka panjang pasti akan mengimbangi kekuatan ekonomi negara-negara utara yang memang sudah lebih dahulu maju. ****