Bertarunglah yang Santun

Bagikan artikel ini

Amril Jambak, Wartawan di Pekanbaru, Riau sekaligus Peneliti di Forum Dialog Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia

HELAT pemilihan presiden (Pilpres) tinggal 79 hari lagi. Berbagai trik dan intrik mulai dilakukan calon presiden (Capres) melalui partai politik (Parpol) yang mengusung sang calon. Tidak ada kata menyerah, berbagai hal dilakukan dalam merebut parpol untuk berkoalisi agar memenuhi standar pencapresan.

Setakad ini, sudah ada calon yang terang-terangan menyatakan maju dalam Pilpres tersebut. Sebut saja Joko Widodo (Jokowi) yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Aburizal Bakrie (ARB) dari Partai Golkar, Prabowo Subianto (Partai Gerindra), peserta konvensi Partai Demokrat dan peserta pemilihan raya (Pemira) Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Jika dilihat dari parpol yang mencalonkan, semuanya belum memenuhi syarat untuk bisa mengusung capres sendiri. Berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) berbagai lembaga independen, tidak ada satu pun partai politik peserta Pemilu Legislatif 9 April 2014 yang mencapai 25 persen suara nasional.

Artinya tidak ada satu partai yang bisa sendiri mencalonkan kader terbaiknya sebagai presiden karena tidak ada yang memenuhi ambang batas minimum (presidential threshold) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Artinya lagi, satu partai politik harus bergabung dengan partai politik lain untuk memenuhi ambang batas 25 persen suara nasional itu. UU itu memang menyebutkan partai politik atau gabungan partai politik yang meraih minimal 20 persen dari 560 kursi DPR RI atau partai politik yang meraih 25 persen suara sah secara nasional, yang berhak mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden.

Hasil hitung cepat yang disiarkan oleh Antaranews yang merupakan hasil dari kerja sama dengan Radio Republik Indonesia (RRI) hingga pukul 18.50 WIB menunjukkan hasil bahwa PDI Perjuangan meraih 18,56 persen, Partai Golkar 14,71 persen, Gerindra 11,58 persen, Partai Demokrat 10,03 persen, PKB 9,38 persen, PAN 7,52 persen, PKS 6,84 persen, NasDem 6,65 persen, PPP 6,63 persen, Hanura 5,55 persen, PBB 1,64 persen, dan PKPI 0,92 persen.

Sedangkan hasil hitung cepat dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang telah mencapai 88,25 persen, menunjukkan hasil bahwa Partai NasDem meraih 6,29 persen, PKB 9,12 persen, PKS 6,56 persen, PDIP 19,74 persen, Partai Golkar 14,59 persen, Gerindra 11,78 persen, Partai Demokrat 9,72 persen, PAN 7,52 persen, PPP 7,05 persen, Hanura 5,28 persen, PBB 1,38 persen, dan PKPI 0,98 persen.

Hasil yang tak jauh berbeda ditunjukkan dalam hitung cepat dari Cyrus-CSIS yang dalam persentase sampel telah mencapai 90,60 persen, menunjukkan hasil bahwa Partai NasDem meraih 6,80 persen, PKB 9,30 persen, PKS 6,90 persen, PDIP 19,00 persen, Golkar 14,40 persen, Gerindra 11,90 persen, Partai Demokrat 9,60 persen, PAN 7,40 persen, PPP 6,70 persen, Hanura 5,40 persen, PBB 1,60 persen, dan PKPI 1,00 persen.

Namun penulis tidak terfokus pada koalisi yang akan dibangun parpol peraih suara terbanyak. Harapan cuma satu agar para capres dan tim sukses agar bertarung dengan santun dengan menjaga martabat bangsa ini dan tidak ada namanya pengkotak-kotakan antara satu capres dengan capres lainnya.

Sejatinya, capres dan cawapres diyakini memiliki niat baik dan tulus untuk memajukan bangsa dalam kemajukan dan keragaman suku, agama dan ras. Setidaknya selama periode mereka menjabat Presiden dan Wakil Presiden RI.

Intrik politik menjelang pemilihan presiden pastilah ada. Sebagai negara demokrasi, beragam perbedaan, suka dan tidak suka, merupakan hal yang lumrah terjadi. Namun yang diharapkan kesantunan dalam berpolitik, tidak membabi buta dalam merebut kekuasaan.

Memang hal ini susah sekali berlaku. Paling tidak, dimulai dari sekarang harus digalakkan politik santun. Berbeda boleh saja, asalkan memiliki ideologi yang sama membangun kearah yang lebih baik. Ini dilakukan untuk memberikan contoh kepada generasi mendatang tentang kondisi yang ada.

Harapan penulis kepada penyelenggara pilpres, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), jangan sampai terjebak dengan kepentingan salah satu capres. Jika ini terjadi, alamat akan karam dan berujung pada munculnya masalah-masalah akan sangat memalukan.

Sedari sekarang, KPU harus membatasi diri dan harus mengerjakan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) sebagai penyelenggara Pemilu. Jika ada kekurangan selama pelaksanaan Pileg, dalam Pilpres tidak boleh lagi terjadi. Tidaklah mungkin pisang berbuah dua kali. Di sini sangat dibutuhkan kehati-hatian dan professional KPU dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Kepada masyarakat, jangan terpancing isu-isu yang tidak jelas. Teguhkan pendirian dan gunakan hati nurani agar bisa memilih calon benar-benar terbaik dari yang baik. Jangan pula gampang dibeli, sehingga hati nurani berseberangan dengan yang akan dipilih.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com