Bila Tidak Ada Visi, G-20 Merupakan Penjara Bagi Indonesia

Bagikan artikel ini

Agus Setiawan, Pegiat Sosial Politik dan Research Associate GFI

Pendahuluan

Globalisasi adalah sebuah versi mutakhir sistem dominasi ekonomi dunia yang mengintegrasikan sistem kapitalisme dan liberalisme yang tidak ingin terikat oleh peraturan negara manapun. Yakni mewujudkan sebuah sistem pasar bebas yang menembus batas-batas negara, yang bertujuan mengakhiri kedaulatan negara-bangsa. Gejala tersebut bisa dilihat secara kasat mata dengan meningkatnya dominasi kelompok lintas negara seperti G-7, EU, NATO, OPEC, ASEAN, APEC, NAFTA, WTO, IMF, World Bank, dan lain sebagainya.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 yang akan digelar pada September 2013 di St. Petersburg, Russia, sebenarnya adalah spillover blue print dari dominasi rejim perdagangan bebas yang hampir mencapai puncaknya di era global ini. Seperti diutarakan oleh David M. Kaplan bahwa, sistem kapitalisme dan liberalisme menyebar ke seluruh dunia dan mengkonsolidasikan tatanan ekonomi, budaya, dan politik bangsa menjadi suatu masyarakat dunia. Liberalisasi perdagangan dan mata uang, dominasi kehidupan budaya Barat, dan profiliferasi teknologi informasi yang mengarah kepada saling ketergantungan dari negara, pada gilirannya akan menciptakan komunitas global yang tunggal.

Dengan kata lain, globalisasi merupakan proses kapitalisasi yang didukung perangkat internet dan teknologi telekomunikasi sebagai penunjang perdagangan bebas tanpa batas, yang membawa dunia ke dalam sistem ekonomi yang sama; ekonomi kapitalisme. Melemahnya negara bangsa, dan menguatnya organisasi-organisasi internasional dan korporasi-korporasi transnasional menunjukkan bahwa sebuah sistem perekonomian kapitalisme yang terintegrasi telah menguasai dunia dengan aktor penentu hanya segelintir orang saja.

Dan masuknya Indonesia sebagai anggota G-20, sebenarnya adalah kata halus dari menjebloskan Indonesia ke dalam “penjara” dengan Keamanan Tingkat Tinggi (Maximum Security). Sistem keamanan utama global tersebut adalah WTO (World Trade Organization) yang sebelumnya bernama GATT (General Agreement on Trade and Tariff), yang ditopang oleh sistem keamanan kawasan atau regional yang disebut FTA (Free Trade Agreement) dengan berbagai variannya. Melalui FTA, setiap negara yang terikat dengannya dipaksa meliberalisasi pasarnya agar terbuka lebar untuk dimasuki barang dan jasa, terutama sektor keuangan. Indonesia sendiri sudah terikat dengan AFTA tahun 2002, China-ASEAN-AFTA tahun 2004, dan Indonesia-Jepang EPA tahun 2007.

WTO Sebagai Sistem Kontrol Negara Dominan

Setelah Perang Dunia II berakhir, IMF dan Bank Dunia melahirkan sebuah organisasi perdagangan dunia yang bernama GATT, di Jenewa, Swiss tahun 1948, sebagai implementasi hasil konferensi Bretton Woods, di New Hampshire, tahun 1944, yang disponsori oleh Amerika Serikat. Pada awal berdirinya, GATT beranggotakan 23 negara, dan terus berkembang menjadi 115 negara pada sidang di Marakesh, Maroko, 5 April 1994. Ada tiga prinsip utama GATT yang mengikat negara-negara anggotanya antara lain:

  1. Prinsip resiprositas, yaitu perlakuan yang diberikan suatu negara kepada negara lain sebagai mitra dagangnya harus juga diberikan juga oleh mitra dagang negara tersebut.
  2. Prinsip most favored nation, yaitu negara anggota GATT tidak boleh memberikan keistimewaan yang menguntungkan hanya pada satu atau sekelompok negara tertentu.

Prinsip transparansi, yaitu perlakuan dan kebijakan yang dilakukan suatu negara harus transparan agar diketahui oleh negara lain.
Menjelang bubarnya Uni Soviet tahun 1998, GATT bermetamorfosis menjadi WTO pada 1 Januari 1995, dan mulai memberlakukan berbagai “jurus baru” dalam kesepakatan sistem perdagangan multilateral antar 120 negara anggotanya. Hasil Putaran Uruguay yang berakhir di Marakesh, Maroko, April 1994, menghasilkan 60 perjanjian yang dikenal dengan Marakesh Agreement, yang terbagi atas enam pilar yang merupakan pengembangan tiga  jurus GATT dalam menaklukkan dunia, yakni:

  1. Perjanjian mengenai kesepakatan pendirian WTO.
  2. Penjanjian perdagangan barang (goods) yang meliputi pembukaan akses pasar, pengurangan dukungan domestik, dan pengurangan subsidi.
  3. Perjanjian jasa (General Agreement on Trade in Services/GATS).
  4. Perjanjian hak atas kekayaan intelektual (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPS).
  5. Perjanjian penyelesaian sengketa dan aturan investasi (TRIMs).
  6. Perjanjian kajian ulang atas kebijakan dagang negara-negara anggota (Trade Policy Reviews).

Instalasi keenam pilar tersebut diatas ke dalam sistem WTO ternyata tidaklah berjalan mulus, bahkan mendapat tentangan keras dari gerakan anti perdagangan bebas. Sebelum Sidang Umum WTO tahun 2004 yang menghasilkan Doha Development Agenda yang berisi isu-isu pembangunan untuk negara-negara tertinggal (Least developed countries/LDCs), Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO sudah dua kali gagal: di Seattle, AS (1990) dan Cancun, Mexico (2003). Bahkan KTM Keenam di Hongkong (2005) mengalami stagnan. Detail angka dan teknis liberalisasi perdagangan dengan masa tenggat waktu sampai 30 April 2006 tidak tercapai. Hal tersebut sangat mengecewakan banyak korporasi-korporasi transnasional yang sudah bersiap-siap memperluas pasarnya. Kebuntuan tersebut penyebabnya utamanya adalah masalah pertanian. Demikian pula pada pertemuan G-4 di Postdam, Jerman (Juni 2007) lagi-lagi tersandung masalah pertanian.

AoA (Agreement on Agriculture) adalah masalah utama WTO, karena negara maju memang tidak memberikan tawaran baru kepada kelompok negara lain yang lebih kecil seperti G-33 dan G-90, disini Indonesia dan Filipina menjadi motor yang menolak proposal negara-negara maju, sehingga terjadi perlawanan terhadap upaya negara maju yang ingin mendomininasi akses pasar, dengan tetap melakukan subsidi domestik dan subsidi ekspor. Demikian pula kegagalan KTM WTO Kelima di Cancun, Mexico (2003), adalah munculnya kekuatan baru negara berkembang yang dimotori oleh Brazil dan India yang menolak usulan pertanian aliansi AS-Uni Eropa yang tidak berubah, yakni tetap mempertahankan subsidi pertaniannya, sementara negara berkembang ingin subsidi tersebut dipotong karena jumlahnya terlalu besar.

Bayangkan bila negara maju terus mensubsidi dan memproteksi produk dalam negerinya, lalu melempar produk mereka sebanyak-banyaknya ke negara lain anggota WTO, hal ini jelas hanya menguntungkan korporasi-korporasi transnasional yang berasal dari negara maju saja.

Jadi memang negara maju ingin mengukuhkan dominasi mereka di dunia secara elegan. Sikap aliansi AS-Uni Eropa di WTO semakin mempertegas keserakahan mereka. Isu kesamaan dan keadilan yang dilontarkan selama ini, ternyata hanya pepesan kosong belaka. WTO memang sebuah sistem integral yang sengaja dibuat untuk melemahkan negara-negara berkembang agar tidak bisa bangkit dan mandiri. Bagaimana tidak, bila sipir penjaranya bernama Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Uni Eropa. Sehingga Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam menjadi tidak berdaya, bahkan terpedaya dan terikat dengan berbagai perjanjian internasional yang merugikan.

G-20 Adalah Penjara Buat Indonesia

Dalam KTT G-20 yang akan berlangsung bulan September 2013 di St. Petersburg, Rusia nanti, terdapat beberapa isu menarik, salah satunya yakni perlunya keterbukaan perbankan bagi setiap negara anggota demi kemudahan kerjasama multilateralisme keuangan global – kalau menggunakan bahasa indonesia artinya meminta kepada para kepala pemerintahan dunia untuk memberikan kekuasaan kepada WTO, IMF dan World Bank untuk mengatur kebijakan-kebijakan nasional setiap negara anggotanya. Betapa tidak, karena sesungguhnya 80% perputaran uang di dunia ini telah dikuasai oleh IMF dan World Bank. Bayangkan, saat ini saja, bila ada seorang petani kita di pelosok negeri mengajukan proposal pinjaman dana kepada sebuah bank di tingkat kecamatan, maka informasinya akan langsung sampai ke World Bank dan IMF.

Kecanggihan sistem monitoring dan kontrol inilah yang menjadi dasar kebijakan World Bank atau IMF dalam memberikan bantuan ekonominya kepada negara miskin maupun negara berkembang. Jadi pelemahan ekonomi negara-negara berkembang bukan dengan embargo, tetapi dilakukan dalam bentuk pinjaman yang menjadi hutang, bahkan dengan sengaja diberikan pinjaman dana sebesar-besarnya. Kalau perlu dalam bentuk hibah sebagai sarana masuknya produk, teknologi dan budaya mereka ke negara miskin dan negara berkembang.

Demikian pula pelemahan terhadap koperasi-koperasi di Indonesia, mulai dari Inmas, Binmas, KUD, KUT, dan sebagainya pada masa orde baru. Rusaknya sebagian besar koperasi di Indonesia bukan karena kekurangan dana, tetapi justru karena kelebihan dana yang tidak mampu dikelola secara optimal oleh pengurusnya. Sehingga koperasi yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi negara dan ketahanan pangan bangsa malah kehilangan visi dan misinya. Malah terbawa arus sistem liberalisme dan kapitalisme yang sangat bertentangan dengan semangat koperasi itu sendiri.

Ketika Presiden Soeharto mengemis kepada IMF, Indonesia langsung menjadi negara miskin. Liberalisasi perdagangan menghancur luluh lantakkan Industri kecil dan koperasi kita. Tidak ada lagi proteksi bagi pengusaha kecil. Sistem kapitalisme merajalela merubah mindset dan sistem perekonomian kita yang pada waktu itu sudah mulai menggeliat. Bahkan Indonesia sudah sempat mengalami surplus beras pada waktu itu.

Lalu apa manfaat Indonesia mengikuti G-20 bila hanya sekedar turut berpartisipasi menandatangani perjanjian yang akan mengikat Indonesia lebih erat lagi ke dalam genggaman rejim kapitalisme global yang dikendalikan oleh WTO. Bukan masuk penjara namanya…!

Indonesia & BRICS

Pemimpin kelompok negara-negara yang tergabung dalam BRICS, Brazil, Russia, India, Cina dan Afrika Selatan, mencoba untuk mengimbangi dominasi negara-negara dominan dengan mencoba membuat bank tandingan IMF & World Bank yang bernama Bank Pembangunan Bersama (Joint Development Bank) guna mengatasi keterbelakangan dan volatilitas mata uang dunia. BRICS mencoba membuat sistem perbankan sendiri, namun upaya tersebut mengalami kebuntuan.

Kegagalan BRICS bisa dimaklumi, karena memang masih belum intensnya dialog diantara anggota BRICS dalam membangun sistem perbankan yang mereka kehendaki, terutama menyangkut masalah institusinya. Selain itu, juga mengenai besaran setoran dana awal antar negara yang belum disepakati, karena kekuatan devisa diantara anggota BRICS sendiri tidak sama. Belum lagi menyangkut kredit dan sistem perbankan lainnya. Jadi memang perlu dialog yang lebih intens agar tercapai kesepakatan bersama yang saling menguntungkan.

Namun, bisa saja Indonesia membuka peluang dalam KTT G-20 di Rusia nanti, menjadi kreator embrio Joint Development Bank (JDB) BRICS. Misalnya Indonesia menawarkan proyek percontohan selama lima tahun yang dibiayai oleh JDB dalam hal peningkatan produksi pangan. Dan hasil proyek pangan tersebut tentu untuk ketahanan pangan anggota BRICS. Proyek pangan ini, menjadi tawaran karena memang cocok dilaksanakan di Indonesia, karena bisa mengalami tiga kali panen untuk beras. Belum produk pangan lain, seperti kedelai, gandum, jagung, dan sebagainya. Sehingga dalam waktu singkat bukan saja meningkatkan ketahanan pangan, tetapi juga membuka lapangan kerja yang luas di segala bidang terkait.

Sebagai jaminan, Indonesia bisa menawarkan barter berbagai proyek yang diminati anggota BRICS, bisa di bidang mineral, minyak, gas, dan pertambangan lain. Bisa juga dibidang pengolahan produk mentah perkebunan dan pertanian, seperti karet, kopi, teh, coklat, dan sebagainya. Atau dibidang teknologi lainnya. Artinya Indonesia bisa menawarkan kerjasama yang visoner dalam rangka win-win solutions bagi anggota BRICS. Kalau anggota BRICS berani membuat bank tandingan World Bank atau IMF, mengapa tidak berani menerobos sistem WTO.

Momentum Kebangkitan

Sebetulnya G-20 bisa dijadikan sebagai momentum kebangkitan kedaulatan energi dan pangan bagi Indonesia kalau berani bersikap tegas, dan berani dalam mengambil sikap demi kepentingan nasional yang lebih luas.

Indonesia memang harus bekerja sama dengan Rusia dan anggota BRICS dalam berbagai bidang teknologi, baik teknologi pertanian, perkebunan maupun pengolahan, seperti teknologi refinery, baik refinery BBM maupun refinery CPO. Ini tidak main-main, karena produksi kita selama ini selalu “ditakar” oleh kartel-kartel internasional. Sebagai contoh misalnya, harga CPO kita, ketika loading ke tanker dihargai sekitar US$ 400/Ton, akan tetapi setelah beberapa jam tanker berlayar meninggalkan pelabuhan, harga dunia bisa mencapai US$ 1.200/Ton. Ada margin sebesar US$ 800/Ton yang didapat oleh kartel, tanpa bekerja keras dan tanpa pertumpahan darah seperti di mesuji I dan Mesuji II. Kalau produksi CPO kita mencapai 20 juta ton pertahun, maka kartel mendapatkan US$ 16 Milyar per tahun, atau setara dengan Rp 144 Trilyun yang seharusnya menjadi devisa rakyat Indonesia. Dan masih banyak kartel-kartel lain yang menyedot sumber devisa Indonesia, seperti kartel beras, kartel gula, kartel gandum, kartel kedelai, kartel sapi, dan sebagainya.

Oleh karena itu, memang sudah saatnya kita wajib memiliki teknologi refinery CPO sendiri sebagai implementasi pasal 33 UUD ’45. Dengan demikian, bukan saja kita bisa eksport CPO, bahkan kita bisa membuat produk jadi seperti kosmetika, keju, mentega, dan lain sebagainya. Tentu saja nilai jualnya juga akan berbeda. Dahulu Indonesia pernah merintis kerjasama teknologi refinery untuk CPO dengan Rusia, sayang dilarang pemerintah karena terkait peraturan WTO. Bahkan menjadi “negatif list” dalam industri dan penanaman modal Indonesia.

Sama halnya dengan nasib teknologi refinery BBM. Indonesia sebagai negara produsen minyak mentah tetapi melakukan impor BBM juga, ini sungguh ajaib! Selidik punya selidik, ternyata teknologi refinery BBM yang ada di Indonesia, ternyata memang di desain bukan untuk minyak mentah Indonesia, tetapi untuk minyak mentah negara lain. Sedangkan minyak mentah Indonesia dikelola oleh negara lain. Inilah satu modus kerja akal-akalan negara maju dalam melemahkan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Berbeda halnya dengan Venezuela, teknologi refinery BBM yang dibuat memang untuk minyak mereka sendiri. Sehingga Chavez lebih mudah mampu melakukan negosiasi ulang penguasaan minyak demi kesejahteraan rakyatnya.

Menyadari kondisi ini, seharusnya menyadarkan generasi muda Indonesia untuk tidak lagi disibukkan dengan masalah-masalah yang tidak substantif, seperti masalah SARA, demokrasi, ham, dan lain sebagainya – yang menjadi lingkaran setan – yang menghabiskan energi dan pikiran kita. Sudah saatnya kita merubah mindset, memiliki visi baru, membuat blue print Indonesia 2020.

Memang perlu sebuah inovasi baru yang berani dan radikal sebagai langkah terobosan mendobrak sistem yang membelenggu kita selama ini. Seperti gagasan membangun kluster pangan, kluster papan, teknologi tepat guna, dan sebagainya. Memang mudah diucapkan, tetapi apakah pemerintah kita berani mengambil pilihan tersebut, sebagai solusi menciptakan lapangan kerja besar-besaran. Tujuannya jelas, bagaimana mensejahterakan rakyat Indonesia dalam waktu lima enam tahun ke depan.

Jadi memang diperlukan pemimpin yang berani dan tegas dalam mengambil kebijakan untuk kesejahteraan rakyat. Demikian pula DPR, harus berani membuat undang-undang yang adil dan pro rakyat. Seperti UUD Migas, sebagai negara produsen minyak, sudah saatnya Indonesia memiliki teknologi refinery BBM yang dikhususkan untuk minyak Indonesia sehingga Indonesia tidak lagi menjadi pengimpor minyak mentah. Demikian pula dengan teknologi refinery CPO, agar kita mampu membuat produk jadi yang lebih tinggi nilai devisanya.

Luas lahan perkebunan dan pertanian yang ada di Indonesia bila dioptimalkan dengan sungguh-sungguh, maka Indonesia tidak akan menjadi pengimpor beras dan kedelai. Indonesia masih memiliki lahan 60 juta hektar lahan yang belum termanfaatkan. Apabila lahan itu dikelola dengan baik untuk membangun perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, tentu mampu menarik sekitar 50 juta lebih tenaga kerja, kalau sudah seperti itu, tidak ada lagi orang-orang Indonesia yang menjadi TKI di negeri orang. Dan bahkan tidak ada lagi orang Indonesia yang menganggur.

Apabila kita melihat anggaran dalam APBN yang digunakan untuk pembelian senjata sampai tahun 2014 sebesar Rp 90 Trilyun, maka sampai tahun 2020 diperkirakan bisa mencapai angka Rp 250 triliun. Masih lebih kecil dari angka korupsi APBN kita setiap tahunnya yang mencapai Rp 800 Trilyun. Bayangkan kalau saja 10 persennya digunakan untuk membuat kluster pangan, kluster papan, membangun sawah, memproduksi kedelai, membangun pelabuhan, membuat kapal nelayan, apakah itu tidak membuat gelisah negara-negara tetangga yang selama ini memandang rendah Indonesia. Sebenarnya tidak perlu peluru dan senjata untuk membungkam Malaysia dan Singapura, cukup dengan membangun kota-kota dan pelabuhan-pelabuhan baru di kalimantan, kalau perlu membangun kota di Trans Kalimantan, maka otomatis perekonomian negara tetangga akan berkiblat ke Indonesia.

Apabila Indonesia sudah suplus pangan, menguasai teknologi refinery, membangun sistem keuangan sendiri maka kita akan mandiri. Dan disitulah kemungkinan Indonesia siap untuk menjadi Macan Asia, bahkan negara Super Power baru.

Saya ingin memberikan gambaran. Dahulu, ketika Hitler berkuasa, dalam waktu lima tahun Jeman langsung menjadi the power of economy dunia. Jerman sangat berkuasa, rakyatnya makmur, dan Jerman memasuki masa keemasannya. Ketika Jerman sudah kuat, sudah mencapai puncak kejayaannya, baik ekonomi, teknologi dan militer, Jerman kembali digiring memasuki Perang Dunia Kedua. Dan akhirnya Jerman kembali hancur ekonominya, hancur karena industri senjata dan perang. Jerman tidak memiliki resource seperti Indonesia, tetapi dengan kemauan dan kegigihan mampu menjadi super power di zamannya.

Dalam kondisi kehancuran ekonomi Jerman, AS dengan Marshall Plannya, menyodorkan bantuan ekonomi dan tentunya tidak secara cuma-cuma. Disini kedaulatan negara Jerman menjadi jaminannya. Demikian pula negara-negara Eropa yang hancur akibat Perang Dunia Kedua, mereka terikat dengan IMF dan World Bank. Kondisi ini sebenarnya sama dengan pada saat Amerika Serikat masuk ke Irak, Afghanistan, Libya dan lain-lainnya. Di saat itulah masuk IMF dan World Bank sebagai penyandang dana sekaligus rentenir.

Kalau kita mengamati krisis Nuklir Iran, Nuklir Korea Utara, Laut Cina Selatan, Suriah, maka kita perlu sebuah paradigma baru dalam melihat hubungan internasional saat ini. Berlarut-larutnya krisis tersebut berbanding lurus dengan tingginya transaksi penjualan senjata di kawasan Asia. Bisa saja transfer teknologi nuklir terbatas kepada Korea Utara adalah faktor kesengajaan. Karena secara matematis, ekonomi Korea Utara tidak akan mampu untuk berperang. Ibarat anjing, hanya suara gong gongannya saja yang keras, tapi tidak menggigit. Jadi tidak ada risiko.

Memang terjadi peningkatan penjualan senjata yang sangat signifikan dan menguntungkan bagi para produsen senjata. Lantas siapa yang diuntungkan dengan meningkatnya produksi senjata tersebut, tentu saja pemilik modal yang memberikan pinjaman. Pertama mereka sudah untung dari modal produksi, kedua ditambah lagi bonus dari kredit negara-negara yang membeli senjata. Luar biasa.

Disinilah intinya, ketika negara-negara berkembang mulai menggeliat mandiri, akan mencapai kemajuan, maka negara-negara barat berusaha untuk melemahkan. Salah satunya adalah dengan menawarkan kredit senjata yang tentu akan menguras devisa negara yang bersangkutan.

PENUTUP

Persoalannya sekarang bagaimana kita mampu mengarahkan pemerintah membangun komitmen dalam menjalankan visi baru Indonesia 2020. Atau melanggar peraturan yang sudah ada, kemudian ambil sikap. Baik mengenai teknologi dan kerjasama strategis lainnya. Beranikah pemerintah melakukannya? Kalau pemerintahnya tidak berani, maka apakah rakyatnya berani untuk mendorong pemerintah supaya menjalankan komitmen tersebut?

Jadi kalau Indonesia tidak memiliki visi yang jelas, maka G-20 ini hanyalah sebagai penjara dan tidak ada sama sekali manfaatnya. Dan justeru sangat merugikan. Karena disini kita dipaksa untuk lebih terbuka lagi mengenai masalah perbankan. Dan kita lebih dipaksa lagi oleh  IMF dan World Bank agar mereka bisa masuk lebih jauh lagi ke isi perut Indonesia. Inikan namanya bunuh diri, dapur Indonesia diacak-acak. Karena memang Bank Indonesia adalah jantungnya Indonesia. Kalau IMF dan World Bank bisa masuk dengan leluasa dan lebih jauh maka seluruh kegiatan ekonomi dan perusahaan-perusahaan di Indonesia bisa dilemahkan.

Kiranya sudah sangatlah pas apa yang dikatakan oleh Bung Karno untuk melakukan kerjasama strategis dengan Rusia dan Cina. Kalau perlu keluar dari PBB, IMF & World Bank. Sudah saatnya Indonesia membangun kerjasama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Karena memang di dunia ini hanya ada dua ideologi, yaitu ideologi yang mensejahterakan manusia dan ideologi yang menyengsarakan manusia. Jadi tinggal dipilih, Indonesia masuk G-20 ini ikut ideologi yang mana?

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com