Saya ingat pada 2005, bertemu dan berdiskusi dengan almarhum Hasyim Wahid, yang popular dengan sapaan akrab Gus Im, memperlihatkan sebuah buku dengan judul yang cukup aneh buat saya, Private Army. Dalam benak saya, namanya tentara itu kan alat negara. Bagaimana mungkin tentara menjadi alat swasta? Namun seturut perkembangan dunia internasional yang semakin cepat menyusul invasi tentara Amerika Serikat ke Irak pada 2003, buku yang diperlihatkan Gus Im tersebut menyita perhatian saya meski hingga kini saya tidak tahu siapa penulisnya.
Namun seiring perkembangan waktu, Hasyim Wahid seakan sudah bisa memprediksi bahwa peran korporasi multinasional tidak hanya sebatas berkiprah dalam penguasaan sektor industri-industri strategis seperti minyak bumi, tambang-batubara dan industri militer, melainkan cepat atau lambat akan meluaskan lingkupnya dalam kegiatan perang dan pertempuran.
Bermula ketika tentara Amerika menduduki Irak pada 2003, mencuat sebuah perusahaan kontraktor pertahanan bernama Blackwater, yang didirikan oleh Erik Prince. Memang Blackwater hanyalah salah satu perusahaan kontrak pertahanan bisnis beresiko tinggi yang berada dalam pengawasan Kementerian Pertahanan Amerika (Pentagon). Seperti Halliburton, DynCorps, Bechtel, Northrop Grumman, General Dynamic, dan Aerospace Corporations.
Korporasi-korporasi industri strategis pertahanan yang berada di bawah supervisi Pentagon tersebut, memainkan peran strategis saat Presiden George W. Bush melancarkan Perang Global melawan terorisme menyusul pengeboman Gedung WTC dan Pentagon pada 11 September 2001. Seperti kita sudah ketahui bersama, dengan dalih untuk menumpas sarang-sarang persembunyian Al-Qaeda yang ditengarai sebagai pelaku utama aksi teror di WTC dan Pentagon pada 11 September 2001, George Bush melancarkan invasi militer ke Afghanistan pada 2001 dan Irak pada 2003.
Baca: Sejarah Pasukan BlackWater: Tentara Bayaran AS yang Penuh Kontroversi
Namun fokus tulisan saya kali ini terpusat pada apa yang dilakukan oleh Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, sehari sebelum terjadinya pengeboman WTC dan Pentagon. Pada 10 September 2001. Rumsfeld berpidato di depan para petinggi dan birokrat Pentagon untuk menyusun ulang strategi pertahanan AS dengan dalih untuk menghadapi aksi terorisme yang menurutnya berpotensi membahayakan pertahanan Amerika.
Namun anehnya, Rumsfeld yang notabene saat itu baru saja menjadi Menteri Pertahanan baru seturut telah dilantiknya Bush sebagai presiden baru menggantikan Bill Clinton, malah menyerang para petinggi dan birokrat Pentagon di depan umum.
“Musuh ini lebih dekat dengan rumah kita. Ia adalah birokrasi Pentagon.” Dalam bagian lain pidatonya yang seolah-olah sudah bisa menerawang apa yang bakal terjadi Rumsfeld mengingatkan: “Topik hari ini adalah musuh yang melancarkan ancaman serius bagi pertahanan Amerika. Ia diperintah oleh rencana-rencana lima-tahun yang mendikte. Dari sebuah sebuah ibu kota, ia berusaha memaksakan kehendanya ke seluruh zona waktu, benua, samudra, dan lainnya.”
Serangan tajam terhadap birokrasi kementerian pertahanan maupun gambaran adanya potensi ancaman baru yang membahayakan pertahanan Amerika sehingga menempatkan para personil militer Amerika dalam bahaya, sepertinya hanya sekadar tema sebagai alas untuk mengetengahkan skema baru menata ulang birokrasi pertahanan sesuai kepentingan kelompoknya sendiri, yaitu kelompok Neokonservatif yang merupakan tulang-punggung kekuatan Presiden Bush ketika memenangi pemilihan presiden AS pada tahun 2000.
Rumsfeld menyarankan adanya perubahan besar-besaran dalam tata kelola Pentagon. Apa persisnya itu? Yaitu model baru yang bertumpu pada sektor swasta. “Kita harus mencari insentif-insentif bagi birokrasi untuk beradaptasi dan berkembang,” begitu seruan dari Rumsfeld. Artinya, Rumsfeld yang pada masa pemerintahan Presiden Gerald Ford (1975-1977) pernah juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan, nampak jelas sedang menggulirkan sebuah inisiatif penting untuk memperlancar sektor swasta untuk melibatkan diri dalam peperangan yang dihadapi oleh Amerika Pasca-Aksi Teror di WTC dan Pentagon September 2001 lalu.
Entah suatu kebetulan atau memang sejak semula memang by design, pada 11 September 2001, artinya sehari setelah pidato Rumsfeld di Pentagon, Pentagon memang benar-benar diserang oleh Pesawat Airlines dengan nomor 77 dari jenis Boing 757.
Sehingga pidato Rumsfeld sehari sebelum serangan teror yang kelak dikenal dengan 9/11 itu, seakan ramalan jadi kenyataan. Lantas, apa yang spektakuler di balik gagasan baru Rumsfeld buat menata ulang Pentagon? Gagasan melibatkan sektor swasta dalam pertahanan militer AS seakan menemukan momentumnya. Dengan tema sentral yang mulai ia canangkan dalam artikel yang ditulisnya di Foreign Affairs bertajuk “Transforming the Military.”
Melalui tema tersebut, para kontraktor pertahanan-militer swasta sontak mendapat “pintu masuk” bukan saja dalam kerja sama sebagai pemasok peralatan militer kepada Pentagon seperti yang sudah-sudah. Sekarang lebih spektakuler lagi, sektor swasta yang lebih tepatnya adalah para kontraktor pertahanan-militer swasta, kali ini juga dilibatkan dalam penggunaan para kontraktor pertahanan tersebut secara luas dalam setiap aspek peperangan, termasuk pertempuran. Dalam pengertian lain, keberadaan tentara bayaran Amerika sejak saat itu bukan saja didukung Pentagon, bahkan dilembagakan sehingga terintegrasi ke dalam sistem pertahanan AS.
Nah, di sinilah Black Water USA, tampil sebagai pemain utamanya. Lagi-lagi anehnya, perusahaan kontraktor pertahanan swasta yang direkrut Pentagon untuk menjalankan Doktrin Pertahanan Donald Rumsfeld adalah perusahaan yang sama sekali tidak dikenal.
Namun Jeremy Schahill, dalam bukunya bertajuk Blackwater, Membongkar Keterlibatan Tentara Bayaran Dalam Invasi Militer Amerika Serikat, berhasil menelisik jejak-jejak keterlibatan kontraktor-kontraktor pertahanan ini sejak Perang Teluk pada 1991, ketika AS melancarkan serangan terhadap pasukan Irak yang menginvasi Kuwait. Kala itu, menurut catatan Jeremy Schahill, satu dari sepuluh orang yang dikirim ke zona perang pada masa itu adalah kontraktor swasta. Menariknya, saat berlangsung Perang Teluk Pertama pada 1991 itu, yang menjabat Menteri Pertahanan adalah Dick Cheney, yang dalam pemerintahan George W. Bush , menjabat sebagai Wakil Presiden.
Jadi rupanya berdasarkan investigasi Schahill, justru Dick Cheney lah yang menjadi penanam benih dan bibit menjamurnya perusahaan-perusahaan jasa penyewaan personil tentara untuk operasi-operasi militer AS di pelbagai belahan dunia. Sebelum meninggalkan posisinya sebagai Menteri Pertahanan pada 1993 seturut kekalahan George Herbert Walker Bush (ayahnya George W. Bush) dari Bill Clinton, Cheney sempat menugaskan sebuah kepada sebuah divisi perusahaan dari Hallyburton untuk membuat sebuah studi, yang mana kelak ia merupakan pemimpinnya, untuk mempelajari bagaimana memprivatisasikan birokrasi militer dengan cepat.
Di sinilah awal mula Black Water mulai berkiprah. Hasil studi yang disusun oleh Hallyburton, kemudian merekomendasikan pengadaan sebuah industri yang bakal menguntungkan dirinya sendiri. Yaitu industri untuk melayani operasi-operasi militer AS di luar negeri, dengan potensi keuntungan bisnis yang sepertinya tanpa batas.
Temuan penting lainnya yang berhasil ditelisik Schahill, saat Cheney sudah tidak menjabat Menteri Pertahanan lagi selama delapan tahun masa pemerintahan Bill Clinton, Cheney bekerja pada sebuah think-thank berhaluan neokonservatif, American Enterprise Institute. Memimpin penugasan percepatan proses privatisasi pemerintah dan militer.
Pada 1995, Cheney dalam kapasitasnya sebagai pemimpin Hallyburton, telah membangun sebuah perusahaan kontraktor pertahanan terbesar bagi pemerintah AS. Bahkan pada masa pemerintahan Bill Clinton, Cheney bersama para kontraktor pertahanan lainnya, mendapat kontrak-kontrak pertahanan yang menguntungkan selama konflik Balkan di era 1990an, untuk melatih militer Krosia dalam perang perang pemisahana diri dari dominasi Serbia di Yugoslavia. Sehingga menciptakan ketidakseimbangan konflik antar dua bangsa yang semula bersatu di bawah Yugoslavia.
Nampaknya, seperti juga terungkap dalam investigasi Schahill dalam bukunya, ada subplot yang nampaknya luput dari perhatian setelah peristiwa September 2001, yaitu outsourching dan usaha privatisasi untuk melayani perang dan pertempuran. Bahwa dengan adanya pergolakan, krisis, atau bahkan peperangan militer, pada perkembangannya akan menguntungkan para produsen persenjataan seperti Aerospace Corporation, General Dynamics dan Northrop Grumman. Namun seturut tampilnya pemerintahan baru Presiden George W. Bush, ada agenda tambahan yang disisipkan dalam grand design strategy Pentagon di bawah tema: Rebuilding America’s Defense Strategy, Forces, and Resources for a New Century.
Konstruksi cerita tersebut membawa kita pada sebuah dugaan terbaik: Bahwa kepentingan korporasi-korporasi industri pertahanan strategis pemasok peralatan militer maupun penyediaan tentara swasta untuk perang dan pertempuran di luar negeri, AS memang perlu menciptakan kondisi perang di pelbagai belahan dunia. Maka invasi tentara AS ke Afghanistan 2001 maupun Irak pada 2003, merupakan bisnis yang keuntungan nyaris tanpa batas. Tentu saja dengan tidak mengabaikan adanya ambisi-ambis geopolitik para elit politik di Gedung Putih yang bermaksud menguasai dunia. Atau setidaknya, menciptakan sphere of influence di pelbagai kawasan dunia.
Dengan mengusung tema Perang Melawan Teror, dengan menginvasi Afghanistan dan Irak, telah melahirkan perusahaan-perusahaan kontraktor militer alias tentara bayaran. Namun dari beberapa itu, yang paling spektakuler adalah Blackwater dengan memiliki 23.000 orang tentara swasta, yang tersebar di sembilan negara, termasuk AS.
Blackwater merupakan pasukan swasta, dan dikuasai oleh Erik Prince, pebisnis berhaluan sayap kanan Kristen radikal, yang ikut membantu dana kampanye presiden George W. Bush.
Seperti tertulis lewat Blackwater USA (Kemudian Xe Services LLC, Sekarang Academi LLC): Blackwater adalah perusahaan militer swasta yang berkantor pusat di Amerika Serikat. Perusahaan Blackwater didirikan pada tahun 1997 oleh Erik Prince, seorang mantan Marinir AS. Bidang kegiatan utama organisasi ini adalah keamanan dan layanan militer.
Selain di Irak, tentara bayaran ini telah bertugas di Liberia, Pakistan, Rwanda, dan Bosnia. Mereka telah menjaga Presiden Afghanistan, Hamid Karzai, dan membangun fasilitas penahanan militer yang menahan tersangka Al Qaeda di Teluk Guantanamo. Peter Singer dari Brookings Institution, yang menulis buku tentang industri militer swasta, mengatakan bahwa hal itu menghasilkan sekitar US$100 miliar setahun di seluruh dunia.
Pada tahun 2003 hingga 2006, organisasi militer ini mendapat banyak tugas dan kontrak dari pemerintah Amerika Serikat. Sebagian besar tugas yang diembannya adalah untuk menjaga keamanan para petinggi pendudukan AS di Irak.
Di Irak mereka tidak berada di bawah hukum Irak. Sementara di Amerika Serikat, mereka tidak berada dalam hirarki Departemen Dalam Negeri maupun Pentagon. Dilansir dari situs web Militarist Monitor, sebagian besar pendapatan dari Blackwater berasal dari kontrak keamanan untuk menjaga pejabat tinggi dan kedutaan besar Amerika Serikat. Dari tahun 2001 hingga 2006 pendapatannya mencapai US$832 juta.
Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute