Bom Boston dan Aksi Destabilisasi AS di kawasan Heartland dan Caucasus

Bagikan artikel ini

Hendrajit dan M Arief Pranoto, Peneliti Global Future Institute (GFI)

Setelah tebar bom Boston yang mungkin akan disusul dengan angkat tema adanya Radikalisme Islam Jihad di kawasan Hearland dan Caucaus, sepertinya skema yang hendak dimainkan Amerika Serikat adalah penguasaan pipanisasi BTC di Kawasan Heartland, terutama wilayah Baku – Tblisi – Ceyhan (BTC), dimana geopolitic of pipelineitu melingkar lintas negara dari mulai Azerbaijan – Georgia dan Turkey.

Mencuatnya dua pemuda asal Chechnya Tamerlan Tsarnaev dan Adiknya Dzhokhar Tsarnaev (19), mau tidak mau mengingatkan kita pada sebuah kelompok gerakan separatis Chechnya yang bermaksud memisahkan diri dari negara induknya, Russia, dengan dalih karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Fakta ini tentu saja sama sebangun dengan Osama bin Laden dan Al Qaeda. Seorang sosok sekaligus kelompok Islam radikal “jadi-jadian” yang sejatinya berada dalam pembinaan badan intelijen Amerika Serikat Central Intelligence Agency (CIA) dan badan intelijen Pakistan Inter Service Intelligence (ISI), ketika milisi-milisi berbendera Islam radikal ini dipersenjatai dan mendapat bantuan dana dari CIA dan ISI untuk melawan pasukan pendudukan Uni Soviet di Afghanistan pada 1979.

Sebagaimana halnya dukungan Amerika dan Pakistan dalam mendukung milisi-milisi Islam radikal Al Qaeda yang kemudian menjelma menjadi Taliban, kelompok separatis bersenjata Chechnya dalam upayanya memisahkan diri dari Rusia, beberapa sumber mengindikasikan adanya dukungan dari Amerika dan sekutu-sekutu baratnya.

Coleen Rowley, dalam artikelnya bertajuk Chechen Terrorists and the Neocons, kelompok separatis bersenjata Chechnya terbukti sangat berguna bagi Amerika untuk menekan Rusia seperti halnya kelompok Mujahedeen Afghanistan yang dibantu Amerika baik dalam persenjataan maupun dana untuk melawan pasukan Uni Soviet antara 1980 sampai 1989. Sehingga tak heran jika para pelaku utama kelompok Neo Konservatif Amerika, termasuk James Woolsey, Direktur CIA pada waktu itu, menganggap kelompok Chechen ini sebagai “Chechen Friends.”

Bukan itu saja. Dukungan dari beberapa kelompok strategis Amerika terhadap kelompok separatis Chechen ini terlihat jelas melalui dukungan terang-terangan dari apa yang menamakan diri mereka the American Committee for Peace in Chechnya (ACPC). Sebuah kelompok yang para anggotanya terdiri dari para tekoh terkemuka dari kelompok Neo Konservatif Partai Republik, yang kala Presiden W Bush berkuasa, member dukungan penuh terhadap program War on Terror yang dikumandangkan oleh Bush dan para kroni politiknya di Gedung Putih.

Beberapa nama sohor yang berada di belakang ACPC antara lain Richard Perle (Penasehat Strategis dari Pentagon), Elliot Abrams (yang pernah terlibat dalam kasus Iran Kontra-penjualan senjata illegal kepada Iran sebagai barter terhadap pembebasan sandera warga AS di Kedutaan Besar AS di Teheran),  Kenneth Adelman (mantan Duta Besar AS di PBB) yang tercatat sebagai pendukung fanatik invasi AS ke Irak, Midge Decter (Penulis Biografi Donald Rumsdeld, mantan Menteri Pertahanan AS) dan Direktur Heritage Foundation, sebuah think-thank sayap kanan AS, Frank Gaffney (Direktur Militarist Center for Security Policy), Bruce Jackson (mantan Direktur Intelligence Militar), Michael Ledeen (American Enterprise Institute, dan seorang pendukung fasisme Itali dan sekarang pendukung gerakan perobahan sistem politik di Iran), dan James Woolsey (mantan Direktur CIA dan pendukung gagasan utama Presiden Bush dalam menata ulang dunia Islam menurut skema AS).

Pada perkembangannya, ACPC dimodifikasi fokusnya dari Chechnya menjadi Caucasus. Sehingga ACPC hakekatnya menjadi American Committee for Peace in Caucasus. Karena itu tak heran jika Phil Shenon, yang kala itu masih wartawan terkemuka The New York Times, menulis adanya kaitan antara pemimpin Chechen Ibn al Khattab dengan Osama bin Laden.

Selain Phil Shenon, Professor  Michel Chossudovsky dalam artikelnya bertajuk Boston Truth: “The Chechen Connection”, Al Qaeda and the Boston Marathon Bombingshttp://www.globalresearch.ca/boston-truth-the-chechen-connection-al-qaeda-and-the-boston-marathon-bombings/5332337 , juga mengungkap jaringan Chechen ini sampai ke akar-akarnya.

Shamil Basayev, pemimpin gerakan pemberontakan separatis Chechen untuk memisahkan diri dari Rusia, mulai menjalin kedekatan dengan Ibn al Khattab, komandan perlawanan Mujahidin Afghanistan pada saat dia mengikuti latihan kemiliteran di Afghanistan. Begitu kembali ke Grozny, Khattab diundang ke pada awal 1995 untuk membentuk pangkalan militer di Chechnya sekaligus melatih para kelompok perlawanan bersenjata di Chechnya dengan meniru model Mujahidin Afghanistan. Dari berbagai sumber yang dihimpun Chossudovsky, penempatan Khattab di Chechnya, diatur oleh sebuah organisasi nir-laba yang yang bergerak atas sponsor dari orang-orang kaya Arab Saudi. Jaringan inilah yang kemudian mengalirkan dana bantuan ke kalangan kelompok separatis Chechnya.

Adapun Shamil Basayev sendiri punya kaitan dengan komunitas intelijen AS sejak 1980-an. Bahkan sempat berkembang informasi bahwa Basayev terlibat dalam rencana kudeta 1991 yang berujung pada bubarnya Uni Soviet. Dan Basayev juga yang kemudian ikut serta mengeluarkan deklarasi sepihak kemerdekaan Chechnya dari Republik Federal Russia.

Singkat cerita, jaringan kelompok bersenjata Mujahidin Afghanistan yang semula diproyeksikan untuk melawan pendudukan Uni Soviet di Afghanistan, pada perkembangannya juga dibangun di Chechnya. Dan pembentukan kelompok bersenjata Chechnya sejatinya digunakan oleh Amerika untuk melancarkan aksi destabilisasi terhadap Republik Federasi Russia. Inilah yang dilakukan Chechnya melalui perang Chechnya 1994-1996 dan perang Chechnya 1999-2000.

Tidak aneh jika Yossef Bodansky, Direktur Satuan Tugas anti Terror dan Perang Inkonvensional Kongres AS, mengatakan bahwa rencana gerakan separatis Chechnya sudah dirancang sejak 1996 di Mogadishu, Somalia. Dalam pertemuan para petinggi Hizbollah Internasional. Dari fakta inilah kemudian diketahui bahwa Badan Intelijen Pakistan (ISI) tidak sekadar memberi bantuan senjata dan tenaga ahli, melainkan juga ikut serta dalam kontak senjata di pihak kelompok Chechen.

Dan ISI, tak terbantahkan lagi, punya jalinan kerjasama yang sudah berlangsung lama dengan CIA.

Melemahkan Russia di Caucasus

Pertanyaan menarik terkait dengan mencuatnya dua pemuda asli Chechnya sebagai pelaku bom Boston adalah, apa sasaran sesungguhnya Amerika dengan memanfaatkan peristiwa pasca pemboman Boston? Tersirat dari pertanyaan saya ini, bahwa baik Kelompok Separatis Chechen maupun Al Qaeda seajtinya bukan merupakan kelompok bersenjata yang secara ideologis independen dari campur tangan Amerika. Sehingga bisa kita asumsikan bahwa dukungan terhadap gerakan separatisme Chechen dalam perspektif kepentingan AS, sebenarnya bukan secara sungguh-sungguh  bermaksud mendukung kemerdekaan Chechnya.

Sasaran sesungguhnya dari Washington adalah, melemahkan Rusia di wilayah Caucasus. Dari kajian penelti Global Future Institute dalam diskusi terbatas pada Senin 22 April, berhasil menarik kesimpulan sementara: Setelah isu bom Boston ditebar, maka tema yang akan diangkat adalah radikalisme (Jihad) Islam di kawasan Heartland. Dalam rangka melayani skema mereka: Penguasaan Minyak di kawasan Heartland.

Jelasnya,  skema yang hendak dimainkan adalah penguasaan pipanisasi BTC di Kawasan Heartland, terutama wilayah Baku – Tblisi – Ceyhan (BTC), dimana geopolitic of pipeline itu melingkar lintas negara dari mulai Azerbaijan – Georgia dan Turkey.

Tak pelak lagi, jika benar nantinya tema yang diangkat adalah memerangi radikalisme Jihad Islam radikal di kawasan Heartland, maka sasaran strategis AS sesungguhnya adalah melemahkan posisi Rusia di kawasan ini. Dan ini, sejalan dengan skema Brzezinski yang sejak era kepresidenan Jimmy Carter merumuskan sasaran strategisnya adalah untuk melumpuhkan Rusia dan Cina di berbagai kawasan yang punya nilai strategis dari sisi geopolitik.

Rusia, Chechnya dan Islam

Sementara itu, terlepas adanya gerakan separatis Chechnya untuk memisahkan diri dari Rusia, yang didukung oleh Kelompok Islam Wahabi dari Pakistan dan Taliban yang berbasis di Afghanistan, namun Rusia di bawah kepemimpinan Vladimir Putin, ternyata telah membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang merangkul Islam sebagai kekuatan strategis yang menjadi faktor penting tetap bersatunya Rusia sebagai negara berdaulat (Baca: Kebijakan Pro Islam Vladimir Putin dan Aliansi Strategis Rusia-Dunia Islam.

Terlepas fakta bahwa kelompok gerakan separatisme Islam Chechnya yang bermaksud memisahkan diri dari Republik Federasi Rusia ternyata didukung secara diam-diam oleh Inter Service Intelligence (ISI), badan Intelijen Pakistan yang sudah bersekutu cukup lama dengan badan intelijen Amerika CIA sejak perang dingin hingga kini, Putin nampaknya tidak kehilangan akal sehatnya untuk menyadari bahwa warga muslim Rusia saat ini berjumlah 20 juta orang atau 15% dari sekitar 142 juta orang Rusia. Suatu jumlah yang cukup besar, bahkan untuk keberadaan sebuah negara bangsa sekalipun.

Maklum, sejak bubarnya Uni Soviet, Islam menjadi agama kedua terbesar di Rusia, dan menjadi agama yang terpesat pertumbuhannya di Rusia, bahkan lebih pesat dibandingkan di Eropa. Sekadar informasi, Islam di Rusia telah ada sejak kurun waktu yang cukup lama. Pengaruhnya tidak saja terlihat dalam perkembangan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial budaya dan perpolitikan.

Islam di Rusia sejak abad ke 7 menyebar di jazirah Rusia. Komunitas Muslim terkonsentrasi di daerah antara Laut Hitam dan Laut Kaspia dan di beberapa negara federasi, serta sejumlah kota seperti Samara, Nyzny Novgorod, Tyumen, dan St Petersburg. Sedangkan sebagian besar penduduk tersebar di daerah sekitar Sungai Volga (Tartastan), pegunungan Ural, beberapa wilayah Siberia dan Kaukasus Utara. Dan satu lagi catatan penting, di Rusia hingga kini  ada lebih dari 4000 masjid.

Bisa dimengerti jika Putin dan para penentu kebijakan Rusia, kemudian menempuh sebuah langkah yang cukup strategis, yaitu melakukan kebijakan pro-Islam seperti mendukung pengembangan tempat ibadah dan pendidikan Islam di Rusia.

Bukan itu saja. Di tingkat dunia internasional, Putin mencetuskan gagasan bahwa Rusia harus ikut serta dalam kegiatan Organisasi Konferensi Negara-negara Islam (OKI), sekalipun hanya sebagai peninjau. Dan perjuangan tersebut akhirnya berhasil terwujud dengan diterimanya Rusia sebagai peninjau tetap pada pertemuan Organisasi Konferensi Islam di Kuala Lumpur Malaysia pada 2003 lalu. Dan yang cukup membanggakan, Putin sendiri hadir pada momen bersejarah tersebut.

Melihat kenyataan tersebut, bisa dimengerti jika ada beberapa kalangan di dalam negeri Rusia dan bahkan di Chechnya itu sendiri, yang justru memandang positif keberhasilan Putin menumpas gerakan separatis Islam ala Al-Qaeda dan Taliban. Karena itu berarti momentum bagi warga muslim Rusia untuk diperhitungkan Putin sebagai salah satu kekuatan pemersatu  yang cukup penting bagi Republik  Rusia Bersatu. Bahkan di Chechnya, Putin telah mengondisikan agar warga muslim menjadi kekuatan utama yang menyatukan masyarakat Chechnya.

Kenyataan ini nampaknya bukan sekadar angan-angan. Karena disamping Chechnya, Putin sebagai pemimpin tertinggi Republi Federasi Rusia agaknya sadar betul bahwa Hingga kini terdapat sembilan republik Islam dalam naungan negara Federasi Rusia, yaitu Adegia, Bashkortastan, Dagestan, Ingushetia, Kabardino-Balkariya, Karachaevo-Cherkhesia, Osetia Utara (sekalipun di daerah ini juga bermukim umat Kristiani), Tatarstan, dan Chechnya. Baik di Rusia maupun di negara-negara yang mengitarinya (eks Uni Soviet) kini tercatat lebih dari 6.000 perkumpulan Islam yang aktif.

Belajar dari pengalaman pahit Rusia menghadapi gerakan separatisme Chechnya, Rusia nampaknya bisa berempati dan bahkan bersimpati terhadap negara-negara berpenduduk mayoritas Islam seperti Indonesia dalam menghadapi kelompok terorisme yang mengklaim sebagai kelompok atau pejuang Islam.
Rusia belajar dari kasus Chechnya, nampaknya menyadari bahwa kelompok Islam yang memotori gerakan separatisme ternyata membawa paham ke-Islaman yang merupakan impor dari Timur Tengah, Pakistan, maupun Afganistan yang tidak punya akar yang cukup kuat dan dukungan yang cukup luas di Chechnya maupun di provinsi-provinsi lain di bawah naungan Republik Federasi Rusia.

Benarkah Amerika akan Lancarkan Aksi Destabilisasi terhadap Russia di Caucasus?

Melihat tren yang berkembang menyusul terungkapnya dua pemuda asli Chechnya dalam bom Boston, nampaknya skema Washington untuk penguasaan sumber minyak dan pilar-pilar ekonomi di kawasan Heartland terutama wilayah Baku – Tblisi – Ceyhan (BTC), sepertinya tidak mengada-ada. Sehingga masuk akal jika melalui tebar isu bom Boston dan angkat tema Radikalisme Islam (Jihad) di kawasan Caucasus dan Heartland, Washington pada perkembangannya kemudian mencoba melakukan aksi destabilisasi terhadap kekuatan-kekuatan Islam yang mengakar di Rusia dan sekitarnya.

Sekadar informasi. Jika dilihat anatomi warga muslim Rusia, Mayoritas muslim di Rusia adalah kelompok Suni dan terdiri dari dua mazhab, yakni mazhab Syafii di Caucasus Utara dan mazhab Hanafi di berbagai wilayah negeri ini. Fakta ini dengan jelas mengindikasikan bahwa tradisi Islam di Rusia sangat tidak cocok dengan praktek-praktek yang membenarkan dan menghalalkan cara-cara kekerasan, apalagi tindak terorisme dengan dalih perang suci atau Jihad.

Sejarah awal kedatangan Islam di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Rusia bertepatan dengan mulai dianutnya agama Kristen di Rusia. Islam pertama kali disebarkan di Caucasus Utara pada paruh kedua abad ke-7. Di wilayah Volga, suku bangsa Tatar memeluk agama Islam pada abad ke-10, sedangkan suku bangsa Rus memeluk Kristen pada tahun 988.

Pada perkembangannya kemudian, ketika prajurit-prajurit Rusia bermunculan di Siberia pada abad ke-16, agama Islam telah berkembang dan dianut penduduk asli Tatar Siberia selama 300 tahun. Hebatnya lagi, Islam di Rusia kemudian berhasil menjadi perekat antar berbagai suku. Misal, Islam berhasil mempererat persahabatan berbagai suku bangsa Rusia seperti Tatar, Chechnya, Inghus, Kabardin, dan Dagestan – serta membantu suku-suku itu untuk melestarikan identitas budaya dan peradaban mereka. Satu lagi fakta baru, bahwa Islam di Rusia telah berhasil memainkan peran dalam mendorong pelestarian budaya dan kearifan lokal dari peradaban Rusia.

Saat ini Rusia, telah membangun sebuah program Siberian Russian Far East, sebuah proyek pembangunan infrastruktur yang didasari pertimbangan geopolitik dari Siberia sebagai wilayah yang merupakan “pintu masuk” Rusia ke kawasan Asia Pasifik. Selain fakta bahwa kekayaan alam Siberia yang melimpah ruah dalam bidang minyak dan gas bumi.

Akankah tebar isu bom Boston dan tema radikalisasi Islam (Jihad) yang diangkat pemerintahan Obama di Washington, sejatinya dimaksudkan untuk menggoyang stabilitas Rusia dan kawasan sekitarnya dengan mencoba memecah-belah soliditas dan kekompakan antara Rusia dan Islam?

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com