Saya tertarik mengulas buku ini, karena membahas mengenai bagaimana peran dan kedudukan Indonesia dalam sistem politik internasional, dan posisinya ditengah-tengah pertarungan perebutan hegemoni global dari negara-negara adikuasa.
Misalnya saja, pada buku ini digambarkan tentang semakin menajamnya konflik global antara dua negara adikuasa, Amerika Serikat dan Tiongkok. Jadi baik isi buku, makna yang terkandung dalam buku, maupun cover buku juga sama-sama menariknya.
Selain itu yang mengundang ketertarikan saya untuk membaca buku ini adalah apa sih itu perang asimetris? Hingga Mengapa begitu banyak timbul konflik beraroma SARA(Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan)? Begitu pula isu-isu lainnya yang terjadi pada pelbagai belahan dunia sehingga menyebabkan timbulnya perpecahan dalam suatu negara?
Pesan tersirat pada buku ini coba disampaikan oleh para penulis didasari semangat yang besar dalam penyampaiannya betapa besar pengaruh para aktor elit global dalam menentukan dan membentuk sistem internasional in yang berbasis kapitalisme global. Bagaimana melalui negara-negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan Tiongkok, menggunakan hegemoninya sebagai negara adidaya untuk memaksa negara-negara lain menerapkan sistem perekonomiannya dengan menggunakan model kapitalisme. Sehingga menciptakan efek yang meluas dan menjamur terhadap negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Inilah intisari pesan utama buku berjudul Perang Asimetris dan Skema Penjajahan Gaya Baru yang ditulis oleh M Arief Pranoto dan Hendrajit.
Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, negara-negara imperealis masih menerapkan model penjajahan gaya klasik atau direct colonialism, nampaknya mulai memyadari bahwa masa kejayaannya mulai berakhir seiring dengan munculnya negara-negara merdeka di Asia, Afrika dan Timur Tengah. Sehingga negara-negara imperialis dan kapitalis itu, merasa perlu mencari bentuk dan model penjajahan gaya model baru, agar bisa terus menjajah negara-negara merdeka meskipun tidak lagi bercokol secara fisik di negara jajahannya. Maka kemudian muncul istilah neo-kolonialisme.
Neokolonialisme, yaitu bagaimana bisa tetap menjajah negara-negara yang baru saja merdeka secara tidak langsung. Neokolonialisme atau penjajahan gaya baru itu, berbeda halnya dengan model penjajahan klasik yang masih menggunakan metode military war. Model penjajahan gaya baru ini merupakan penjajahan yang tidak menggunakan tentara, tapi tujuannya sama, yaitu menguasa sumber-sumber ekonomi negara-negara jajahannya. Melalui model penjajahangaya baru tersebut, negara-negara besar seperti Amerika atau kekuatan kapitalisme global melalui Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF), mendorong negara-negara yang terpuruk akibat Perang Dunia II, untuk membangun dan memulihkan kembali negaranya dengan menawarkan hutang dan investasi asing. Dengan syarat bahwa negara-negara peminjam harus mengganti model dan bentuk ekonominya menjadi sistem ekonomi neoliberalisme.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sendiri telah merdeka menyusul pernyataan proklamasi yang dikumandangan oleh Sukarno dan Mohammad Hatta pada 17 Agustus 1945. Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang membentang dari Sabang hingga Merauke, yang melimpah sumber daya alam (SDA). Sehingga tidak heran jika ditinjau kembali dari sejarahnya, Indonesia telah menjadi perebutan pengaruh yang dilakukan oleh negara-negara adikuasa Eropa seperti Portugis, Inggris, Belanda, dan Spanyol yang berlangsung pada abad ke-14 hingga abad ke-akhir abad 19. Hingga pada akhirnya masa kolonialisme Belanda di Indonesia berakhir pada tahun 1942 saat Jepang berhasil merebut dari Belanda. Namun penjajahan Jepang di Indonesia berlangsung singkat hanya 3,5 tahun, sehingga pada Agustus 1945 Jepang menyerah terhadap sekutu hingga kekosongan penjajahan berubah jadi momentum bagi Indonesia untuk dapat merebut kemerdekaannya.
Tapi Indonesia merdeka, kemudian menghadapi masalah baru, yaitu penjajahan gaya baru yang bersifat tidak langsung, dan tanpa menggunakan tentara seperti penjajahan klasik zaman Belanda dan Jepang dahulu kala.
Di sinilah buku ini jadi menarik. Karena rupanya penjajahan gaya baru memerlukan perang dengan gaya baru pula. Buku M Arief Pranoto dan Hendrajit, menyebut perang gaya baru ini adalah perang asimetris. Perang Asimetris menurut buku ini artinya perang yang tidak memunculkan adanya pertumpahan darah, tanpa satupun peluru meletus, namun efeknya sangat dahsyat dan tidak kalah mengerikan dibandingkan sebuah ledakan bom atom.
Selain itu perang asimetris ini kelebihannya tidak memerlukan dana yang banyak tetapi tepat membidik target/sasaran hingga terkadang menimbulkan kerusakan yang tak kalah hebat dibandingkan perang militer atau serangan bersenjata. Medan tempur pada perang asimetris lebih luas linkupnya yaitu trigatra (geografi, demografi, dan SDA) dan pancagatra (ideologi, ekonomi politik, sosial budaya dan hankam).
Perang asimetris juga dinilai sebagai perang dengan cara berpikir yang dianggap tidak lazim hingga pada praktik operasionalnya tidak menimbulkan suatu kekerasan hingga menjadi sasaran perang favorit bagi negara adidaya karena dapat melumpuhkan secara menyeluruh, sehingga membutuhkan pemulihan cukup lama jika negara tersebut bermaksud memulihkan kerusakan akibat perang asimetris yang dilancarkan negara-negara imperialis dan kapitalis yang bertujuan untuk menguasai suatu negara atau wilayah yang dinilai cukup menguntungkan secara geopolitik.
Segi menarik dari Perang Asimetris yang mau saya sorot adalah pola perang asimetris yang menggunakan istilah ITS(Isu, Tema dan Skema). Tebar Isu, Tebar Tema, sehingga skema sebagai tujuan utama negara asing bisa diwujudkan. Selain itu Perang Asimetris menggunakan modus lainnya pada tahapan perang asimetris yaitu, modus proxy (perang perwalian), yaitu menggunakan agen-agen perwaalian (Proxy Agents) baik yang berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perorangan, atau bahkan media massa. Sebab pada praktiknya pemanfaatan media massa pun kerap dilibatkan dalam permainan perang asimetris ini.
Lantas dalam buku ini, juga menyorot letak geografis Indonesia yang dinilai cukup strategis bagi perekonomian dunia, selain itu Indonesia juga dikenal sebagai faktor pemersatu di kawasan Asia Tenggara. Mengingat letak geogratis Indonesia yang strategis di antara dua benua Asia dan Australia dan antara dua samudera besar, Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Hal tersebut menjadikan Indonesia berada pada posisi silang dua benua dan dua samudra. Namun penulis menyayangkan bahwa kesadaran terhadap nilai strategis geopolitik Indonesia masih belum banyak dipahami dan dihayati oleh berbagai elemen bangsa sendiri atau pemangku kepentingan. Ironisnya, bangsa-bangsa asing malah lebih mengenal kekuatan dan kelemahan bangsa Indonesia daripada bangsa kita sendiri.
Akibatnya bangsa kita sendiri tidak sadar jika dalam perang asimetris, negara-negara asing menyerang negara-negara yang dianggap memiliki kekayaan SDA yang melimpah untuk kemudian melakukan kontrol terhadap sumber ekonominya. Hal tersebut juga tentu saja termasuk Indonesia yang dinilai memiliki kekayaan alam maupun jalur pelayaran yang dinilai strategis.
Salah satu contoh perang asimetris ala barat yang dilakukan terdapat pada sektor sosial budaya yang berlangsung di Indonesia hingga menghasilkan suatu pergolakan antara Sunni dan Syiah yang berlangsung di Sampang Madura dengan tidak lain terdapat skenario beberapa korporasi asing yang bermain dalam sektor minyak, dalam memuluskan jalannya demi menguasai kekayaan minyak dari tanah Madura tersebut. Pertanyaan menarik dan cukup mengelitik sempat dilontarkan oleh penulis buku: “jika di Madura hanya sekadar penghasil umbi-umbian, apakah mungkin pergolakan antara Sunni dan Syiah akan terjadi?
Bahkan apa yang terjadi pada saat Arab Spring pada 2011 lalu yang berlangsung di daerah Heartland dan Afrika Utara merupakan contoh lain dari dilancarkannya perang asimetris. Ketika Presiden Ben Ali di Tunisia dan Presiden Hosni Mubarak dilenngserkan dengan menggunakan sarana media sosial atau cyber untuk membangun gerakan massa yang yang cukup besar. Isu yang diolah untuk menjatuhkan pemerintahan Ben Ali dan Hosni Barak adalah kepemimpinan yang otoriter, korupsi dan kemiskinan rakyat yang semakin meningkat.
Kedua penulis buku ini berpandangan bahwa Arab Spring muncul Tunisia dan Mesir termasuk lintasan jalur sutra (Silk Road) dengan kekayaan SDA yang melimpah maupun lokasi geografisnya yang strategis.
Bagaimana kalau perang asimetris ala Tunisia dan Mesir gagal diwujudkan? Maka kasus Libya bisa jadi kasus dan pelajaran amat berharga. Ketika Arab Spring di Libya gagal dimainkan seperti di Tunisia dan Mesir, perang asimetris dinaikkan derajatnya menjadi perang hibrida. Yaitu kombinasi antara perang nonmiliter dan perang saudara dengan menggunakan senjata. Seperti kita ketahui bersama, pemimpin Libya Moammar Khadafi yang gagal dijatuhkan melalui cara Arab Spring ala Mesir dan Tunisia, akhirnya berhasil dijatuhkan melalui perang hibrida.
Namun dalam kasus Suriah menarik. Hingga kini Presiden Bashar al Assad belum berhasil digulingkan. Selain karena masih didukung rakyat Suriah, Rusia dan Cina juga ikut membantu sebagai kekuatan penyeimbang di antara hegemoni tiga negara adikuasa pada sistem internasional ini yaitu AS, Rusia dan Cina.
Nah bicara soal model perang asimetris ala Cina, buku ini menyorot tentang pembangunan Kanal Isthmus di Thailand. Kebangkitan Cina tidak kalah canggih dengan gaya perang asimetris ala barat. Misalnya seperti memberi bantuan pada proyek pembangunan infrastruktur maritim dengan melibatkan tenaga kerja kasar asal Cina melalui modus bernama Turnkey Project atau modus asimetris ala Cina dengan maksud terselubung dalam memuluskan maksud dan tujuan kepentingan nasional Cina. Memberi bantuan keuangan namun dengan imbalan boleh membangun pabrik dan mengirim tenaga kerja Cina ke Indonesia.
Kesadaran bagi Indonesia akan pentingnya geopolitik perlu disebarluaskan, agar dapat terhindar dari permainan dan tipur daya negara-negara asing melalui perang gaya baru. Sehingga bangsa kita tidak mudah tersulut amarah dan emosinya sehingga dapat menyikapi konflik dengan lebih dewasa dan cerdas. Sajian maupun penggunaan bahasa yang digunakan dalam buku ini tidak rumit untuk dimengerti. Buku ini direkomendasi untuk siapapun maupun berbagai disiplin ilmu, agar peduli pada masa depan Indonesia yang kaya akan SDA agar tidak terperangkap dalam jebakan permainan global negara-negara besar.
Nesya Aulia, Mahasiswi FISIP Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Binus.