Paulus Londo, Pengurus Alumni GMNI
Pembekuan Pengurus Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) oleh Menteri Pemuda dan Olah Raga (Menpora) Imam Nachrowi menimbulkan pro-kontra di kalangan pecinta sepak bola Indonesia. Bagi pihak yang mendukung kebijakan pembekuan ini, langkah pemerintah dinilai sudah tepat untuk mengatasi keterpurukan persepakbolaan nasional.
Adanya jejaring mafia sepak bola dan salah urus menyebabkan prestasi sepak bola Indonesia merosot ke titik nadir. PSSI adalah asset bangsa dan negara harus diselamatkan, dan karenanya pembekuan kepengurusan serta penghentian sementara kegiatan sudah tepat.
Sedangkan pihak yang menolak kebijakan Menpora berpendapat bahwa campur tangan pemerintah dalam persepak bolaan melanggar independensi PSSI yang sepenuhnya berada dalam naungan organisasi sepak bola internasional, FIFA.
Disadari atau tidak pendapat ini mencerminkan pola pikir yang berakar pada paradigma globalisme yang berwatak kapitalis. Pemikiran dan sikap seperti ini jelas bertentangan dengan semangat para pendiri Republik Indonesia yang sejak awal telah memandang sepak bola dan olahraga keseluruhan sebagai sarana pembinaan watak kebangsaan yang merdeka, dan olahraga sebagai jalan menuju tegaknya harkat dan martabat bangsa. Sejumlah pakar membenarkan pendapat ini, antara lain Alain Bairner (1996:19-20) yang mengatakan bahwa :
”Olahraga berkontribusi pada integrasi nasional sebab memberikan kesempatan kepada mereka-mereka yang berbeda kelas sosial, etnis, ras, dan agama untuk mengharumkan bangsa lewat prestasi olahraga. Namun, perbedaan yang terjadi menjadi problem tersendiri bagi negara untuk menyatukan menjadi sebuah kekuatan solid.” (Alain Bairner, “Sportive Nationalism and Nationalist Politics: A Comparative Analysis of Scotland, the Republic of Ireland, and Sweden,” Journal of Sport and Social Issues; Volume 20, 1996, hh. 19-20.]
Sebab itu pula, maka setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, para pejuang olahraga serta merta melakukan konsolidasi meski saat itu situasi negara belum sepenuhnya stabil. Pada tahun 1946 muncul keinginan untuk mengorganisir kembali olahraga di Indonesia.
Pada awal 1946 dilakukan pertemuan di Solo oleh semua pemimpin olahraga dari seluruh daerah Republik Indonesia. Juga bergabung di sana GELORA (Gerakan Olahraga di zaman Jepang) dengan tujuan menggerakkan olahraga secara teratur. Pertemuan ini dikenal sebagai Kongres Olahraga I yang dipimpin Dr. Abdul Rachman Saleh. Bung Karno sejak awal telah menjadikan olahraga sebagai sarana pembangunan karakter bangsa (nation building).
Karena itu ia mendukung upaya konsolidasi tersebut. Bahkan Bung Karno yang menjadi peletak dasar olahraga sebagai sarana pemersatu bangsa Indonesia. Presiden Soekarno melihat dengan jeli bagaimana nasionalisme bangsa yang baru saja merdeka digelorakan lewat olahraga.
Sebagai pencetus Pancasila dalam pidatonya Juni 1945, Soekarno melihat urgensi menggunakan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Tidak hanya, ia melihat harus ada pengikat lain yang secara nyata bisa dilihat hasilnya yakni lewat prestasi olahraga” [Sumber: Iain Adams, “Pancasila: Sport and the Building of Indonesia – Ambitions and Obstacles”, International Journal of the History of Sport, Volume 19:2, 2002, hh.295-307.]
Bung Karno dalam pidato kenegaraaan 17 Agustus 1957 dengan tegas menyatakan pentingnya pendidikan jasmani dan olahraga bagi nation building. Sebab itu Pemerintah tidak hanya memperhatikan pelaksanaan pendidikan jasmani – di sekolah-sekolah dan masyarakat– tapi mesti mesti menempatkan pendidikan jasmani sebagai staatszorg (urusan negara) dan menetapkannya sebagai staatsplicht (keharusan negara). Instruksi Presiden Soekarno ini dituangkan dalam rencana pembinaan keolahragaan dinamai Rencana 10 Tahun Olahraga.
Bagi Bung Karno, pembangunan olahraga menjadi bagian dari revolusi kebangsaan. Tahun 1961 di Bandung, ia mengingatkan para atlit yang dipersiapkan mengikuti Asian Games IV dan Thomas Cup, landasan baru olah raga Indonesia, antara lain:
1. Olahraga mempunyai fungsi amat penting dalam muka kelima Revolusi Pancamuka, yaitu membangun Manusia Indonesia Baru.
2. Setiap olahragawan dan olahragawati mesti berdedikasi dan mempersembahkan hidup untuk Indonesia, nama Indonesia, masyarakat Indonesia, untuk penyelenggaraan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera)
3. Segala persiapan sehebat-hebatnya untuk Thomas Cup dan Asian Games untuk seterusnya membangun satu Nation Indonesia, untuk Nation Building Indonesia.
Amanat tersebut dijadikan pedoman baru bagi semua olahragawan, pimpinan olahraga, dan semua orang yang melakukan kegiatan di bidang keolahragaan di era pemerintahan presiden Soekarno. Politik pemerintah yang memperhatikan keolahragaan dan menetapkannya menjadi urusan pemerintah membuat pembinaan olahraga akan menjadi lebih mantap.
Kemauan politik di zaman Bung Karno untuk membangun olahraga diimplementasikan oleh menteri-menteri dan masyarakat.
Kendati Indonesia baru merdeka, namun Indonesia teloah mengikut sertakan atlit-atlitnya pada Olimpiade tahun 1952 di Helsinki, Olimpiade 1956 di Australia, di Italia 1960 dan Mesiko 1968. Beberapa atlit itu antara lain:
1. Sudarmodjo (atletik, lompat tinggi);
2. Thio Ging Hwie (angkat besi kelas ringan);
3. Soeharko (renang 200 m gaya dada).
Pada nomor lompat tinggi, Sudarmodjo ia bisa ke final dengan lompatan 1,87 m. Di final ia menempati peringkat 20 dari 28 peserta, juara nomor ini adalah W. Davis (AS) dengan lompatan 2,04 m.
Lifter Thio Ging Hwie menempati urutan 8 dari 24 peserta. Juara nomor ini T. Kono (AS) mengangkat total 262,5 kg.
Soeharko tak mencapai semifinal tapi memperbaiki rekor atas namanya dari 2 menit 51,3 detik menjadi 2 menit 50,6 detik
Sebagai salah satu negara poros Asia-Afrika, Indonesia berpartisipasi dalam pesta olahraga bangsa Asia (Asian Games). Di era presiden Soekarno, Indonesia mengikuti lima Asian Games sejak 1951 di India sampai Thailand 1966. Prestasi tertinggi Indonesia diperoleh pada Asian Games 1962 di Jakarta dengan perolehan 9 emas 12 perak 48 perunggu. Indonesia menempati peringkat ketiga, yang merupakan peringkat tertinggi sepanjang sejarah partisipasi Indonesia di Asian Games.
Bung Karno meyakini olahraga dapat membentuk manusia baru yang sehat mental dan fisik. Pada masa Presiden Soekarno olahraga banyak mendapat perhatian pemerintah. Pemerintah berharap olahraga dapat menjunjung prestise negara dalam menyelenggarakan pekan olahraga internasional. Penyelenggaraan Asian Games di Jakarta adalah pangkal tolak kegiatan olahraga ‘terpimpin’ di Indonesia. Bahkan bagi Bung Karno, olahraga juga menjadi sarana melawan kolonialisme-imperialisme, dan dengan itu ia menggagas penyelenggaraan GANEFO (Games of the New Emerging Forces).
Tanggal 18 Desember 1963 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 263/1963 yang mengharuskan adanya upaya peningkatan prestasi olahraga Indonesia, agar waktu sesingkat-singkatnya mencapai taraf internasional setinggi-tingginya. Dengan keputusan ini, Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi memberikan komando kepada seluruh rakyat Indonesia supaya menjadi sportminded dan ikut serta aktif dalam kegiatan olahraga yang merupakan bagian penting dari revolusi Indonesia.
Perintah Presiden ini kemudian dijabarkan dalam Rencana 10 Tahun Olahraga, dan rencana ini di tahun 1964 ditetapkan oleh BAPPENAS sebagai Proyek Mandataris. Kemudian tahun 1965 rencana tersebut ditetapkan oleh MPRS sebagai Program Nasional sebagai bagian dari Ketetapan MPRS No. VI/MPRS/1965 mengenai Pola Ekonomi Perjuangan (Banting Stir di Atas Kaki Sendiri di Bidang Ekonomi Pembangunan).
Substansi Rencana 10 Tahun Olahraga itu sejatinya adalah Revolusi Olahraga Indonesia. Didalamnya tercakup 5 Program Dasar, yakni:
1. mempertinggi potensi fisik nasional (Gerakan Massal Olahraga),
2. memperluas dan mengintensifkan gerakan olahraga di lingkungan pemuda/pelajar,
3. membina Olahragawan-olahragawan yang potensial dan berbakat untuk mencapai prestasi tinggi,
4. menyediakan kelengkapan-kelengkapan materiil dan spirituil untuk penyelenggaraan olahraga,
5. konsolidasi Ganefo I dan Penggeloraan Gerakan Ganefo.
Dengan gerakan olahraga yang revolusioner ala Bung Karno, dalam waktu relati8f singkat Indonesia masuk dalam 10 Besar Dunia di bidang olah raga. Bung Karno memperhatikan pembinaan olahraga sejak usia dini melalui tindakan nyata yang hebat. Itu budaya olahraga. Bangsa lain tidak punya. Ironisnya prestasi besar itu surut setelah Bung Karno lengser. Bersamaan dengan itu, olahraga bergeser menjadi berwatak kapitalis.
Untuk mengelolaan pembangunan olahraga, Presiden Soekarno membentuk Departemen Olahraga (Depora) yakni dengan Kepres No.131/1962 terus disempurnakan sampai Kabinet Dwikora yang Disempurnakan lagi (14 Maret 1966). Saat itu Program 10 Tahun Olahraga dilaksanakan secara konsisten di sekolah. Pelajar mengikuti 3 jam seminggu untuk olahraga wajib, dan 3 jam untuk olahraga karya.
Pada olahraga karya, dua jam digunakan untuk berlatih dan satu jam dipakai bertanding antar siswa dalam satu sekolah. Pada penyempurnaan Kabinet Dwikora, Departemen Olahraga ada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan menteri koordinator Prof. Dr. Prijono.
Dalam struktur Kabinet Dwikora yang disempurnakan tahun 1966, Departemen Olahraga dipimpin oleh Deputi Menteri, Maladi dan tetap di bawah lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dipimpin oleh Menteri Sarino Mangunpranoto. Tapi departemen olah raga kemudian dihapus dalam formasi Kabinet Ampera.