Unjuk rasa menentang revisi konstitusi Jepang 1947 yang dilakukan berbagai kalangan aktivis perdamaian di Yokohoma pada Mei 2015 lalu, bukan sekadar isu lokal, melainkan telah mengingatkan kembali negara-negara eks koloni Jepang atas kejahatan militerisme Jepang pada Perang Dunia II.
Tren untuk membangkitkan kembali militerisme Jepang justru dimotori oleh Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, yang menetapkan target revisi konstitusi Jepang selesai pada 2017 mendatang. Bahkan menurut rencana akan didahului dengan mengesahkan Undang-Undang Keamanan pada musim panas ini, yang kemudian secara bertahap akan diarahkan untuk melakukan revisi konstitusi 1947 bila menang pemilihan umum tahun depan.
Isu sentral unjuk rasa yang antara lain dimotori oleh Penulis Jepang peraih Hadiah Nobel, Kenzaburo Oe setidaknya bertumpu pada dua hal. Pertama, menentang gagasan mengubah konsep bela diri kolektif Jepang menjadi sebuah kekuatan militer seperti sebelum diberlakukannya konstitusi Jepang 1947. Kedua, menentang revisi konstitusi yang membuka kembali keterlibatan Jepang untuk ikut berperang di pelbagai belahan dunia. Kedua isu sentral dari unjuk rasa yang melibatkan sekitar 30 ribu warga masyarakat Jepang itu, hakekatnya menolak revisi konstitusi maupun UU Keamanan yang bisa menjadi pintu masuk bangkitnya kembali militerisme dan Angkatan Bersenjata Jepang.
Berarti, Pasal 9 konstitusi Jepang lah, yang menjadi sasaran utama protes berbagai kalangan pegiat perdamaian maupun para pasifis Jepang. Pasal 9 konstitusi Jepang yang mulai berlaku sejak 3 Mei 1947 menysul menyerahnya Jepang kepada sekutu dalam Perang Dunia II, merupakan suatu klausul yang melarang dilakukannya perang oleh negara. Selain itu, pasal 9 juga secara tegas menolak perang baik sebagai hak kedaulatan seraya menegaskan penyelesaian sengketa internasional melalui penggunaan kekuatan.
Selain itu, aspek terpenting dari klausul ini, menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan-tujuan ini, Angkatan Bersenjata Jepang sebagai kekuatan untuk melancarkan perang, tidak dipertahankan lagi. Sebagai gantinya, konstitusi hanya mengizinkan dibentuknya Pasukan Bela Diri Jepang (Collective Self Defense), meski pasal ini tidak membolehkan pasukan bela diri digunakan untuk tujuan agresi militer. Hanya sebatas untuk tujuan mempertahankan kedaulatan dan integritas territorial Jepang.
Nampaknya, interpretasi terhadap makna bela diri dan pertahanan inilah yang coba diberi makna baru oleh kalangan pendukung kebangkitan kembali kekuatan militer Jepang, atau bahkan militerisme Jepang.
Indikasi Bangkitnya Kembali Aspirasi Militerisme di Jepang
Indikasi adanya gerakan terencana dan sistemastis membangkitkan kembali militerisme Jepang dan menguatnya aspirasi kalangan garis keras di Jepang untuk menghidupkan kembali militerisme Jepang, bisa ditelisik sejak 2010. Menjelang peringatan kapitulasi Jepang pada Perang Dunia Kedua di Asia Pasifik pada 2 September 1945, kalangan pemerintahan dan berbagai elemen strategis di Jepang nampaknya mulai melakukan berbagai manuver yang bertujuan merehabiitasi kembali reputasi buruknya sebagai pemerintahan fasis pada era Perang Dunia Kedua. Khususnya terhadap bangsa-bangsa di kawasan Asia Pasifik yang mengalami secara langsung kekejaman pemerintahan Kolonial Jepang seperti di Indonesia, Malaysia, Singapura, Birma, Korea Selatan dan Cina.
Menurut penelusuran tim riset GFI, pada 15 Agustus 2010 lalu, Perdana Menteri Jepang secara eksplisit menyatakan penyesalannya terhadap “orang-orang” yang menderita akibat sepak-terjang pemerintahan fasis militerisme Jepang pada Perang Dunia Kedua.
Frase “orang-orang” yang digunakan Perdana Menteri Jepang secara jelas mengindikasikan keenggananan Jepang untuk mengakui dan meminta maaf secara terang-terangan terhadap berbagai negara di Asia Pasifik yang secara langsung mengalami penderitaan sepak terjang fasisme pemerintahan Kolonial Jepang. Seperti penerapan sistem kerja paksa (Romusha), dan kebijakan memaksa para wanita di negara-negara jajahan Jepang untuk menjadi Pekerja Seks atau yang kelak populer dengan sebutan Comfort Women (Jugun Ianfu).
Juga pada 2010 lalu, dalam pertemuan para tokoh sayap kanan Eropa yang difasilitasi oleh Issui-kai alias “Masyarakat Rabu” yang juga berhauan fasisme ultra kanan tersebut, pemimpin gerakan Mitsuhiro Kimura, terang-terangan meragukan pembunuhan oleh militer Jepang terhadap warga sipil China maupun dalam pemerkosaan Nanking 1937 (yang dikenal dengan peristiwa The Rape of Nanking) yang diperkirakan mencapai ratusan ribu korban jiwa, dan juga menyangkal diterapkannya kebijakan perbudakan seksual atas “wanita sebagai budak nafsu” bagi tentara Jepang.
Indikasi lain yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah penyelenggaraan kontes penulisan esay tentang PD II dengan tema ‘True Modern Historical Perspective’ pada 2008 lalu, yang disponsori oleh seorang pebisnis sayap kanan Jepang, Toshio Montoya.
Motivasi Jepang untuk menghapus dosa-dosa sejarah dan kejahatan perang pada PD II terlihat jelas melalui penyelenggaraan kontes penulisan sejarah ini, karena dari 235 peserta kontes, 94 diantaranya merupakan personil Angkatan Udara Bela Diri Jepang (ASDF).
Wajar saja jika hal ini memicu kecurigaan bahwa para personil ASDF tersebut mendapat perintah dan arahan dari para komandannya untuk mengirimkan naskah tulisan yang temanya segaris dengan misi kontes untuk membersihkan dosa-dosa sejarah Jepang pada PD II.
Kontes penulisan yang kemudian dimenangi oleh Kepala Staf Angkatan Udara Bela Diri Jepang, Toshio Tamogami ini memperkuat kecurigaan tersebut. Judul esay yang ditulis oleh Toshio Tamogami; ‘Benarkah Jepang Merupakan Bangsa Agresor?’, sudah jelas menggugat dan membantah peran Jepang sebagai aggressor di Asia Pasifik.
Benarkah Jepang sedang berupaya membangkitkan kembali militerismenya seperti di era Perang Dunia Kedua? Nampaknya ada upaya pemerintah dan beberapa elemen sayap kanan Jepang untuk kembali berjaya secara militer seperti di masa Perang Dunia Kedua.
Beberapa media massa terbitan 28 Juli 2010 lalu, mewartakan bahwa panel para ahli telah merekomendasikan kepada Perdana Menteri Jepang Naoto Kan agar Jepang mengkaji ulang kebijakan pasifisnya. Dan mendesak agar Jepang mengerahkan lebih banyak pasukannya ke wilayah pesisir yang kini sering dilalui angkatan laut Cina. Selain itu. Panel para ahli Pertahanan Jepang itu juga mendesak pemerintah Jepang agar melonggarkan kebijakan tentang transfer senjata nuklir di wilayah negaranya.
Ini tentu saja rekomendasi yang cukup serius karena dengan jelas mengindikasikan bahwa upaya membangkitkan kembali militerisme Jepang sudah pada taraf proses pembuatan dan perumusan kebijakan pertahanan Jepang secara menyeluruh dan mendasar. Jadi bukan sekadar wacana atau keinginan segelintir politisi atau mantan perwira militer berhaluan ultra kanan Jepang. Namun indikasi kebangkitan kembali militer Jepang sudah harus dilihat dalam kerangka kebijakan revisi kebijakan pertahanan Jepang secara menyeluruh.
Apakah rencana perubahan interpretasi pasal 9 UUD Jepang bidang pertahanan ini merupakan tindak lanjut dari rekomendasi panel para ahli? Nampaknya memang seperti itu. Sebab panel para ahli ersebut bahkan sudah sampai pada kata sepakat bahwa panduan pertahanan Jepang di era Perang Dingin sudah kadaluwarsa alias ketinggalan zaman.
Menurut pandangan panel para ahli, untuk menghadapi semakin meningkatnya ancaman dari Semenanjung Korea dan Selat Taiwan, Jepang sudah saatnya besiap dan bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Rekomendasi ini bisa diartikan sebagai desakan untuk merubah postur pertahanan Jepang yang tadinya defensif dan cenderung pasifis, menjadi postur pertahanan yang agresif dan bila perlu, kembali ekspansif seperti pada masa Perang Dunia Kedua.
Nampaknya, apa yang digagas dan dimatangkan pada 2010 lalu, merupakan benih-benih yang ditanam oleh kalangan garis keras pro bangkitnya kembali militerisme Jepang, dan perwujudannya terbukti 5 tahun kemudian. Dan yang terpenting, untuk kali ini Amerika Serikat justru memberi dukungan sepenuhnya.
Pada 27 April 2015, Jepang dan AS menandatangani kerjasama keamanan baru yang menempatkan Jepang pada posisi yang legih agresif dalam pergolakan keamanan global sebagai pendukung AS. Sebagai imbalannya AS memberikan dukungan politik dan keamanan yang lebih kuat kepada Jepang.
Perjanjian bilateral AS-Jepang ini jelas hal yang cukup serius mengingat penandatanganan dilakukan antara Menteri luar Negeri John Kerry dan Menteri Luar Negeri Jepang Fumio Kishida, dengan menggunakan momentum lawatan Perdana Menteri Abe ke Washington. Apalagi dalam pernyataannya, Menlu Kerry menegaskan bahwa ukungan AS kepada keamanan Jepang adalah sebagai “sangat kuat”, termasuk dalam hal pertikaian wilayah dengan negara tetangga (Cina).
Apakah ini penandatanganan kerjasama keamanan baru AS-Jepang merupakan isyarat bahwa pemerintahan Shinzo Abe memang sungguh-sungguh bermaksud memberi tafsir baru terhadap konstitusi Jepang khususnya pasal 9? Nampaknya memang demikianlah adanya.
Sementara konstitusi pasal 9 secara tegas membatasi peran dan kekuatan militer Jepang semata sebagai alat pertahanan bela diri semata, arah dari kerjasama keamanan baru AS-Jepang tersebut justru secara de fakto akan mengubah orientasi militer Jepang untuk lebih aktif (baca: Agresif) terlibat dalam konflik-konflik bersenjata di luar negeri. Sehingga akan menciptakan prakondisi ke arah revisi pasal 9 konstitusi Jepang.
Sejak Perang Dunia Kedua berakhir, Jepang memang praktis telah menjadi sekutu Amerika dan negara pasifis. Karena konstitusi Jepang melarang adanya angkatan bersenjata di negaranya, maka Jepang praktis mengandalkan Amerika Serikat untuk pertahanan dan penangkalan nuklirnya. Tak heran jika hingga kini tercatat ada sekitar 47 ribu tentara Amerika Serikat ditempatkan di Jepang.
Dari sini saja, wajar jika kita bercuriga bahwa adanya tren ke arah penguatan kembali angkatan bersenjata Jepang juga atas dukungan diam diam dari Amerika. Dengan kata lain, adanya pola ancaman baru di kawasan Asia Pasifik, khususnya dengan menguatnya kekuatan angkatan bersenjata Cina di kawasan Asia Pasifik akhir-akhir ini, maka Amerika saat ini justru menjadi pihak pendorong utama untuk mengaktifkan kembali kekuatan angkatan bersenjata Jepang secara maksimal, termasuk izin kepemilikan persenjataan nukir yang sepenuhnya berada dalam kendali angkatan bersenjata Jepang.
Adanya ancaman militer yang semakin nyata dari Korea Utara dan khususnya bangkitnya kekuatan angkatan laut Cina, nampaknya mendorong Amerika untuk memotori adanya revisi kebijakan pertahanan Jepang yang semakin agresif dan ekspansif di masa depan.
Bahkan sebuah dokumen yang berhasil diakses oleh harian terkemuka Jepang Yomiuri Shimbun, berdasarkan kesepakatan strategis Washington-Tokyo, disepakati bahwa kapal-kapal Amerika yang membawa senjata nuklir, dibolehkan masuk ke pelabuhan Jepang. Lagi-lagi ini mengindikasikan bahwa jauh-jauh hari sudah ada suatu rekomendasi panel para ahli untuk merevisi kebijakan pertahanan Jepang, yang sejatinya hanya untuk melegalisasikan persekutuan Amerika-Jepang yang sudah berlangsung selama ini. Beberapa indikasi yang mengisyaratkan adanya dukungan Amerika terhadap gagasan revisi kebijakan pertahanan Jepang, secara jelas sudah terlihat melalui kiprah panel para ahli sejak 2010.
Hal ini secara kuat membuktikan bahwa adanya gerakan merevisi kebijakan pertahanan Jepang yang sudah berlangsung sejak 2010 hingga sekarang ini, nampaknya sejalan dengan agenda strategis Amerika Serikat untuk membendung pengaruh yang semakin kuat dari Cina dan Korea Utara di kawasan Asia Pasifik.
Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)