Penulis: Rijal Mumazziq Z, Direktur Penerbit Imtiyaz Surabaya
Strategi Iran berbeda dengan Korea Utara dan Kuba– sebagai salah satu matarantai “Axis of Evil” dalam sebutan Paman Sam.
Korea Utama mengisolasi rakyatnya sambil memperkuat basis militer, khususnya teknologi nuklir dan rudal antar benua. Inipun dipakai ‘bargaining’ tarik ulur mendapatkan bantuan logistik dari luar negeri, sekaligus alat gertak negara tetangga. Ilmuwannya bermadzhab Russia atau Tiongkok.
Kuba dibawah Fidel Castro memilih meningkatkan sumberdaya manusia, khususnya dalam melahirkan “dokter rakyat”, yang bisa diperbantukan di negara tetangga. Program model puskesmas di pelosok juga digalakkan. Ilmuwan dan dokternya lulusan Eropa. Teknisi militernya belajar ke Russia. Meski jaraknya ‘selemparan batu’ dari AS, Kuba relatif stabil dan mandiri. Jaringan sesama negara “Kiri” bersama Venezuela, Argentina, Brasil, Uruguay, Cile, Nikaragua, Bolivia, dan Ekuador, di Amerika Selatan juga terjaga.
Bagaimana dengan Iran? Berhenti saja ngomongin Syiah! Sekarang kita ngaji geopolitik sejenak!
Iran ini persis Jerman yang dikerdilkan Sekutu melalui Traktat Versailles pasca Perang Dunia II. Traktat yang membonsai angkatan perang Jerman di laut, udara, dan darat. Toh, pemimpin Jerman, khususnya sejak dipegang Hitler, diam-diam membangun kekuatan militer. Perwira yang disekolahkan di luar negeri diminta pulang, begitu pula para ilmuwan, teknisi dan teknolog. Hasilnya: dengan cepat Jerman bangkit melahirkan alutsista paling yahud di zamannya: Pesawat pemburu Messerschmit Me-109 di udara, tank PanzerKampfwagen (PzKpfw) V Tiger di darat, dan yang paling legendaris armada kapal selam U-Boat yang sempat bikin Winston Churchill frustrasi! Hasilnya bisa dilihat dalam PD II, baik di front Eropa maupun koloni Afrika, dimana Jerman sempat menjadi jagoan tunggal sebelum dikeroyok Sukutu ramai-ramai.
Nah, Iran juga nggak jauh beda. Pasca revolusi dan perang Iran-Irak kemudian dijepit embargo, di era Rafsanjani, Khatami, dan Ahmadinejad, upgrade alutsista dan alih teknologi militer berjalan stabil dan terus meningkat. Khususnya pada pengembangan rudal jelajah, kapal selam, kapal rudal cepat, pesawat nirawak hingga drone! Di antara kuncinya: mau memanfaatkan talenta dan sumberdaya manusianya sekaligus pasokan teknologi dari Pakistan, Russia dan Korea Utara.
Ini negara tertutup tapi terbuka. Dikatakan tertutup karena AS dan sekutunya tetap mengembargo Iran, dibilang terbuka karena memberi ruang kerjasama dengan negara non-Sekutu AS. Lebih terbuka lagi manakala melihat bahwa Presiden Iran yang baru, Hassan Rohani, dan wakilnya yang anggun dan cerdas, Elham Aminzadeh, sama-sama alumni Universitas Glasgow, Skotlandia. Rohani, yang menyertai Khomaini di pengasingan di Perancis itu, bahkan seorang poliglot yang pernah menjadi juru runding nuklir.
Mekanisme memanfaatkan alumni Barat untuk melawan Barat juga dipakai Jepang beberapa saat setelah era Restorasi Meiji. Faktanya, Jepang menghancurkan armada laut Rusia pada 1905. Beberapa tahun berikutnya, anak-anak cerdas dari Jepang dikirim “kulakan ilmu” di Barat. Proses Amati, Tiru, Modifikasi (ATM) ini yang dipakai Jepang membangun teknologi dan armada militernya. Faktanya, beberapa perwira militer Jepang yang terlibat dalam penyerbuan di Pearl Harbor adalah alumni Barat. Bahkan, Laksamana Isoroku Yamamoto, panglima tertinggi militer Jepang, adalah lulusan Amerika!
Di Indonesia, Bung Karno sebenarnya melakukan langkah serupa. Era 1960-an Indonesia merupakan salah satu kekuatan militer yang disegani di Asia Pasifik. Beberapa perwira disekolahkan ke AS, Australia dan Uni Sovyet. Pulang diminta mengabdi.
Bung Karno orang sipil, tapi paham bagaimana visi besar dijalankan. Bung Karno orang teknik, insinyur, tapi paham jika bangsa Indonesia anakcucu pelaut jempolan. Untuk itu, Bung Karno bangga menyebut Indonesia sebagai bangsa maritim, sebagai pelanjut kebesaran armada laut Sriwijaya, Singhasari, Majapahit, dan Demak! Makanya, Bung Karno memanjakan angkatan laut dengan kapal selam tercanggih di eranya, dengan beberapa skuadron pesawat Hercules, Antonov, MiG, dan tank yang juga upgrade di era itu.
Kekuatan militer Indonesia justru amburadul saat dipimpin militer, Jenderal Soeharto. Di buku sekolah, ditanamkan jika bangsa kita adalah bangsa agraris, bukan maritim. Hilanglah kecintaan kita terhadap samudera yang kekayaannya justru dikeruk bangsa asing.
Sebagai bangsa agraris, pertanian Indonesia justru porakporanda akibat revolusi hijau yang dicangkokkan Barat. Benih padi unggulan yang diwariskan turun temurun mulai punah, sistem tanam padi melalui local wisdom tak lagi diingat, pupuk organik yang aman malah diganti pupuk kimia (yang diwajibkan oleh pemerintah melalui KUD). Efeknya, meskipun mencapai swasembada pangan tahun 1985 dan Pak Harto mendapatkan penghargaan dari FAO, tapi kondisi tanah teracuni dan mengakibatkan serbuan hama tiada henti. Belum lagi adanya kartel gabah dan mafia impor beras yang membuat banyak petani meraung sedih.
Kekuatan militer semakin lemah karena sejak awal Orde Baru ada Dwifungsi ABRI (hal ini yang sejatinya ditentang Jenderal Soedirman akhir 1940-an saat melihat campur tangan sipil di militer, begitu pula sebaliknya, sungguhpun saat itu belum ada istilah Dwifungsi yang dicetuskan Jenderal AH Nasution pasca G-30s/PKI).
Di era Pak Harto pula terjadi intrik di tubuh militer antara jenderal tempur dan jenderal salon (hanya duduk manis di balik meja), antara kubu jenderal merah putih dengan jenderal hijau di era 1990-an, dan kecemburuan AL dan AU terhadap AD. Maklum, Pak Harto orang AD. Di internal AD juga ada kecemburuan terhadap Kodam Brawijaya dan Kodam Diponegoro. Kodam Brawijaya dianakemaskan karena membantu Pak Harto menyingkirkan PKI, Kodam Diponegoro istimewa karena Pak Harto lama berkarier di sini. Lazimnya, Pangab/Panglima ABRI di zaman itu diambil dari kodam ini, jarang yang dari Siliwangi, Cenderawasih, atau Bukit Barisan. Lagipula, Kostrad lebih dielus-elus karena Pak Harto juga mantan Pangkostrad!
Di era Gus Dur, dimulailah pemisahan TNI/Polri. TNI bagian pertahanan, Polri di bagian keamaanan. Gus Dur orang sipil yang ingin mengembalikan TNI ke barak. Selain itu di zaman GD mulai ada rotasi Panglima TNI secara bergilir dari tiga angkatan. GD juga membentuk kementerian kelautan setelah membubarkan Kementerian Penerangan. Menteri kelautan ini menjadi salah satu aspek perhatian GD agar kita, bangsa Indonesia mencintai samudera, sebagaimana Nuswantara zaman lampau.
Aaaah, kejayaan bangsa ini di era lampau dan ketidakberdayaan kita di dalam berbagai bidang, saat ini, sedikit mengingatkan kita pada tangis pilu Pramoedya Ananta Toer dalam novel karyanya: “Arus Balik!”
—
Digahayu Indonesia Kita!