Hakikat gerakan reformasi silam, sejatinya merupakan koreksi anak bangsa atas manipulasi konstitusi yang dilakukan Orde Baru sehingga ia mampu berkuasa hingga 32 tahun. Dan respon MPR atas gerakan kaum reformis dinilai cukup tanggap, cepat dan tepat. Sebab, usai Pak Harto mundur 21 Mei 1998, MPR pimpinan Harmoko (1997-1999) —masih Lembaga Tertinggi Negara— segera merumus dan menerbitkan 12 (dua belas) Ketetapan/TAP MPR dimana substansi TAP sudah mengakomodir enam tuntutan reformasi soal pembatasan jabatan Presiden dan Wakil Presiden; kebebasan pers; menghapus Dwifungsi ABRl, anti-KKN dan lain-lain. Dengan terbitnya 12 TAP di atas, sebenarnya tuntutan reformasi sudah selesai pada 1998. Tinggal mem- breakdown produk-produk aturan/UU turunannya. Kecuali, perubahan UUD yang belum dilaksanakan di 1998.
Memasuki Oktober 1999, sesi perubahan UUD 1945 dimulai baik perubahan ke-1, 2, 3 maupun ke-4 (1999 – 2002). Akan tetapi, entah disengaja atau ‘kecelakaan’ dalam metode perubahan. Anggota DPR/MPR pada masanya dan Panitia Ad Hock tidak menggunakan teknik adendum dalam mengubah konstitusi, tetapi memakai tata cara amandemen. Padahal, sesuai kesepakatan sebelumnya — perubahan akan dilakukan dengan teknik adendum.
Agaknya, euforia reformasi bertajuk ‘Asal Bukan Orde Baru’ dibablaskan oleh segelintir elit neoliberal (neolib). Apa pasal? Para neolib, selain mengotak-atik isi dalam Batang Tubuh; menghapus Bab Penjelasan, juga menurunkan status MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi. Sehingga, selain rakyat sudah tidak lagi berdaulat, juga MPR sekarang tidak bisa lagi menerbitkan TAP yang bersifat regeling atau mengatur. Penelitian Prof Kaelan dari UGM menyatakan, bahwa 97% isi UUD telah diganti.
Gilirannya, wajah UUD 1945 kini berubah individualis, liberal dan kapitalistik. Inilah UUD 2002 produk amandemen yang oleh pegiat konstitusi kerap disebut ‘UUD 1945 Palsu’. Alasan teknis kenapa disebut UUD Palsu, bahwa dunia periklanan memberi clue, kalau ditemukan dua produk hampir sama, maka produk terakhir disebut tiruan alias palsu.
Hingga detik ini, tidak ada satu pun produk hukum/TAP MPR yang mencabut UUD 1945 Naskah Asli di satu sisi, sedangkan pada sisi lain, tidak ada TAP MPR yang mengesahkan UUD NRI 1945 produk amandemen alias UUD 2002. Memang ada TAP terkait hal dimaksud, tetapi tidak bernomor alias kosong. Bayangkan saja. Pengangkatan Ketua RT atau Kades saja pasti ada Nomor Skep demi keabsahan. Nah, ini konstitusi negara kok tidak bernomor?
Dalam adagium dunia kriminal dikatakan, bahwa tidak ada kejahatan yang sempurna, melainkan selalu meninggalkan jejak di TKP. Ya. Mereka mengubah UUD 1945 berbasis Pasal 37, misalnya, ini sah secara konstitusi. Ada landasannya. Tetapi, kelompok neolib lupa bahwa ada Pasal 3 ayat (1) UUD NRI 1945 berbunyi:
MPR berwenang mengubah dan MENETAPKAN Undang-Undang Dasar
Nah, bukankah MPR kini sudah tidak bisa mengeluarkan TAP yang bersifat regeling alias mengatur? Tidak ada kejahatan yang sempurna. Maka jadilah, TAP MPR tidak bernomor sebagaimana uraian di atas.
Ini pula fenomena unik yang mungkin tidak pernah terjadi di negeri manapun. “Dua konstitusi beroperasional bersamaan”. Secara de jure, UUD 1945 Naskah Asli masih berlaku sebab belum dicabut oleh TAP MPR manapun. Namun, secara de facto yang berlaku ialah UUD 2002 atau UUD NRI 1945 produk amandemen (1999 – 2002).
Mengapa itu bisa terjadi?
Sesuai judul catatan ini, saya mengistilahkan fenomena di atas dengan anekdot ‘bunuh diri massal ala UUD 2002’. Anekdot itu cerita lucu soal kekuasaan. Penjelasannya begini. Sejak status MPR diturunkan menjadi Lembaga Tinggi selevel BPK, MK, DPR dan lain-lain, maka semenjak itulah ia (MPR) tidak dapat menerbitkan TAP yang bersifat regeling atau mengatur. Usai di- downgrade, MPR memang masih bisa menerbitkan TAP, tetapi cuma seremonial administratif. Produk joint session belaka.
Narasi anekdotnya begini. Bila perubahan ke-1 (1999), ke-2 (2000) dan ke-3 (2001) diibaratkan ‘bapak membunuh anak-anaknya’, sementara perubahan ke-4 (2002) justru ‘si bapak membunuh dirinya sendiri’. Itulah bunuh diri massal ala UUD 2002.
Kembali ke laptop. Dulu. Seharusnya, kaum reformis tidak mengganti sistem bernegara, karena hakiki amandemen ialah perubahan melalui teknik adendum (lampiran). Naskah Asli tetap utuh. Jika mutlak harus diperbaiki karena faktor lingkungan strategis yang berubah, itu keniscayaan (geo) politik. Perubahan tidak bisa dibendung. Namun, semua adaptasi terhadap perubahan, entah bentuknya perbaikan, penguatan, ataupun penyempurnaan terhadap konstitusi kudu diletak pada adendum. Bukan dengan cara mengganti (mengurangi atau menambah) isi Batang Tubuh di UUD.
Silakan bandingkan dengan Amerika Serikat (AS). Ia sudah 27 kali mengubah konstitusi, namun naskah asli AS tetap utuh. Perubahan diletak pada adendum/lampiran. Demikian pula India. Sudah 104 kali mengubah konstitusi, tapi naskah asli tetap orisinal. Seluruh perubahan melalui teknik adendum.
Flashback sejenak. Pada sidang BUPKI tempo doeloe, para Pendiri Bangsa (the Founding Fathers) telah melakukan kajian terhadap semua sistem bernegara pada pelbagai negara. Entah Sistem Barat ataupun Sistem ala Timur. Dan kajian tersebut mengerucut pada simpulan: “Semua sistem bernegara baik Barat maupun Sistem Timur tidak cocok dijalankan di negeri kepulauan yang sangat majemuk ini”. Itu poin utamanya.
Kemudian oleh the Founding Fathers dirumuskanlah Sistem Sendiri yang khas bagi negara kepulauan lagi super majemuk ini, yaitu Sistem MPR. Bahkan konon, sistem (MPR) ini dianggap sebagai sistem terbaik di dunia. Namun, sungguh sayang — hingga saat ini, tidak ada satu pun orde melaksanakan secara murni dan konsekuen. Zaman Orde Lama misalnya, konstitusinya coba-coba terus. Trial and error. Atau, di era Orde Baru, konstitusi dimanipulasi. Nah, di era Reformasi lebih ngeri lagi, UUD diliberalisasi!
Entah sampai kapan kondisi ini berlangsung. Rakyat berkehendak, bahkan para leluhur ingin UUD 1945 Naskah Asli diterapkan secara murni dan konsekuen oleh anak cucunya.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)