Calon Presiden RI Tidak Boleh Non Jawa

Bagikan artikel ini

Pernyataan Luhut beberapa hari yang lalu menyatakan bahwa non Jawa tidak perlu mencalonkan diri menjadi presiden RI sungguh suatu hal yang menyesatkan dan tidak ada di konstitusi. Semua warga negara Indonesia berkedudukan sama di hadapan hukum dan memilki hak yang sama untuk dipilih dan memilih.

Dari beberapa presiden yang dimiliki Indonesia, memang baru Habibie yang bukan Jawa, dan bukan dipilih melalui pemilu. Soekarno dan Soeharto bukan presiden yang dipilih langsung, tetapi oleh MPR dan mereka dari suku Jawa. Mulai tahun 2004 pemilu presiden langsung, presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi juga dari suku Jawa. Sebelumnya ada Gus Dur dan Megawati yang juga Jawa.

(Calon) presiden harus Jawa sebenarnya karena penduduk bersuku Jawa adalah mayoritas di Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia 50% lebih orang Jawa. 60% penduduk Indonesia tinggal di pulau Jawa. 80% peredaran uang di Indonesia ada di pulau Jawa. 60% DPT ada di pulau Jawa. Dapil terbanyak pun di pulau Jawa. Jadi capres Jawa vs non Jawa bukan masalah konstitusi.

Pemilu adalah urusan angka. Siapa yang dipilih paling banyak itulah yang menang. Kalau calonnya orang Jawa, maka kemungkinan besar akan menang, karena orang jawa akan memilih orang Jawa. Jika demikian, maka politik identitas masih kuat di Indonesia dan tidak bisa diabaikan. Maka merit atau prestasi hanyalah omong kosong. Termasuk juga ‘menaruh orang yang tepat di tempat yang tepat’ hanyalah basa basi belaka.

Rizal Ramli di bawah pemerintahan Gus Dur mampu memimpin salah satunya dengan membalikkan keadaan PLN yang bangkrut dari minus Rp 9 trilyun menjadi Rp 104 trilyun. Asset dari 50 trilyun menjadi Rp 209 trilyun. Hutang PLN dari USD 85 miliar menjadi USD 35 miliar dan semuanya tanpa suntikan APBN.

Ada 26 pemasok listrik ke PLN yang menjual listrik ke PLN 7 sen per KwH. Sedangkan harga jual listrik internasional 3,5 sen saja. Dengan negosiasi dan ditekan, maka akhirnya para pemasok menjual dengan harga 4 sen. Hutang PLN turun, demikian juga harga jual listrik PLN ke rakyat.

Hari ini kejadiannya kurang lebih sama. PLN mengalami hutang dan menuju kebangkrutan karena pemasok menetapkan harga jual yang tinggi dan PLN mau tidak mau menjual listrik ke rakyat dengan harga yang lebih tinggi lagi. Tidak ada lagi petinggi PLN dan menteri terkait yang mau potong kompas dan berpikir out of the box seperti Rizal Ramli untuk mengatasi masalah PLN dan juga masalah-masalah negara lainnya. Sayangnya RR adalah non Jawa dan bukan kader partai politik manapun. Jadi jalan untuk pencapresan seolah tertutup untuk orang yang punya merit, karena alasan etnisitas yang merupakan sunatullah, hukum alam.

Lihatlah silaturahmi para tokoh dan elit partai yang terjadi belakangan ini menjelang Oktober 2023. Mereka asyik sendiri menentukan pasangan dan koalisi mereka untuk memenuhi presidential threshold 20%, sebuah aturan curang yang disahkan dalam undang-undang yang membatasi hak warga negara untuk dipilih dan partai politik untuk mencalonkan kadernya. Konsultan politik dan survey asyik bongkar pasang pasangan menurut selera mereka, meskipun mereka berkilah berdasarkan riset.

Tetapi apakah rakyat minimal kader partai dilibatkan? Bukan dalam bentuk survey, karena survey adalah sampel. Tetapi dalam bentuk primary election dimulai dari level yang paling rendah hingga nasional. Yang terjadi saat ini, partai politik menawarkan calonnya kepada pemilih untuk dipilih menduduki jabatan publik (elected officials), tetapi calon yang ditawarkan menurut selera mereka, yang bukan rahasia umum lagi, salah satunya adalah mereka yang mampu membiayai mesin partai dan operasional kampanye hingga penghitungan suara.

Dulu ada jargon bahwa presiden harus Jawa dan dari tentara. Sekarang ini ‘dari tentara’ sudah dihapuskan. Tentara tidak boleh mencalonkan diri sebagai capres, kecuali kalau sudah pensiun. Seperti SBY. Jadi, jargon presiden harus dari suku Jawa juga harusnya bisa hilang. Pencalonan presiden harusnya berdasarkan merit atau prestasi, bukan lagi etnisitas. Masihkah kita akan terus menerus berkutat pada politik identitas atau kita mau menghormati merit, untuk kebaikan dan kejayaan negeri ini?

Pipit Apriani, Ketua ForDE (Forum on Democracy and Election)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com