Setelah mencanangkan konfrontasi terbuka terhadap Rusia, Jerman sekarang mengalihkan serangan terbukanya terhadap Cina, dengan melakukan sabotase terhadap hubungan dagangnya dengan Beijing. Tentu saja ini bukan masalah sepele mengingat yang melancarkan serangan terbuka kepada Cina tersebut adalah menteri perdagangan Jerman Robert Habeck.
Robert Habeck secara eksplisit menyatakan niat Jerman untuk melakukan pengawasan ketat terhadap investasi luar negeri Cina seraya menghentikan ketergantungan Jerman kepada Cina khususnya di sector semi-konduktor, listrik dan batu-batere.
Menariknya pernyataan konfrontatatif menteri perdagangan Jerman tersebut diutarakan di depan negara-negara mitranya yang tergabung dengan G-7. Bahkan secara provokatif Habeck mengatakan bahwa sekarang saatnya untuk tidak lagi bersikap naif terhadap Cina. Dalam arti bahwa mustahil untuk memisahkan urusan dagang dengan isu hak-hak asasi manusia dan isu-isu global yang menjadi pusat perhatian dunia internasional. Jerman nampaknya secara eksplisit bermaksud menyerang sikap permusuhan Beijing terhadap Taiwan.
Tentu saja Beijing tidak senang dengan pernyataan Robert Habeck, sehingga dengan tak ayal menyerang balik pernyataan Habeck bahwa dirinya yang justru naif, lantaran telah merusak kerjasama perdagangan yang saling menguntungkan antara Cina dan Jerman.
Perdanan Menteri Jerman Olaf Scholz nampaknya senada dengan pernyataan menteri perdagangan Robert Habeck. Dengan menuding Beijing bermaksud menggunakan tindak kekerasan dalam konflik perbatasan dengan Taiwan. Nampaknya Kanselir Scholz maupun Habeck tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, bahwa di mata Beijing, Taiwan adalah bagian dari wilayah kedaulatan nasional Cina.
Bahwa sesua dengan ketentuan hukum internasional yang sudah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bahwa dunia internasional mengakui one china policy, yang berarti hanya Republik Rakyat Cina yang diakui sebagai negara-bangsa yang duduk di PBB.
Justru AS, Inggris, Australia, Prancis dan Jerman yang mengerahkan pasukan militernya di wilayah perairan Cina sehingga memantik ketegangan yang berbahaya di Laut Cina di kawasan Asia Timur, termasuk di Selat Taiwan. Sehingga Cina terpaksa melakukan aksi militer yang lebih offensif untuk mempertahankan kedaulatan nasional wilayahnya.
Baca: From Suicide to Dead and Buried… Germany Now Provokes China
Benarkah manuver menteri perdagangan Jerman tersebut demi kepentingan rakyat Jerman? Sepertinya tidak. Lantas, kepentingan siapa yang diusung Kanselir Scholz maupun Habeck? Bukankah merusak kerjasama ekonomi Cina-Jerman sama saja dengan bunuh diri ekonomi?
Padahal dengan memburuknya kembali hubungan Jerman dengan Rusia, otomatis akan mengurangi atau bahkan menghentikan pasokan gas dan minyak bumi Rusia ke Jerman. Tambahan lagi, sekarang Jerman pun memburuk kembali hubungannya dengan Cina, sekutu strategis Rusia dalam mengawal menciptakan sphere of influence di Asia Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara.
Sepertinya memburuknya kembali Jerman-Cina bisa ditelisik dengan terbentuknya pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Kanselir Scholz yang mana kebijakan luar negerinya berseberangan dengan mantan Kanselir Angela Merkel.
Arah kebijakan kanselir Scholz nampaknya lebih mendukung kebijakan luar negeri AS di bawah Presiden Joe Biden. Sehingga begitu mengambil-alih pemerintahan Merkel, dengan tak ayal Scholz memutus hubungan kerjasama yang lumayan baik dengan Moskow. Sehingga Jerman mendukung kebijakan Washington mengisolasi Rusia seturut dengan aksi militer terbatas Rusia terhadap Ukraina. Dengan kata lain, Jerman bersama AS mendukung pemerintahan Kiev, dan memasok senjata kepada Ukraina dalam menghadapi Rusia.
Dengan begitu, Jerman bersama-sama dengan AS dan NATO bersepakat untuk mencegah penyelesaian secara damai konflik Ukraina-Rusia lewat meja perundingan diplomatik. Lebih memilih opsi militer. Maka manuver diplomatik Robert Habeck yang frontal terhadap Beijing, menggambarkan bahwa pemerintahan Kanselit Scholz pun akan mengambil sikap yang sama kerasnya kepada Cina. Padahal, saat ini Cina merupakan mitra dagang Jerman terbesar dalam enam tahun terakhir ini.
Menurut catatan tahun ini, neraca perdagagan Cina-Jerman pada 2021 mencapai record di atas 240 miliar dollar AS. Dengan total jumlah penduduk sekitar 1,4 miliar jiwa, Cina merupakan pasar yang sangat vital bagi para eksportir Jerman, khususnya di sektor industry automotive yang sejauh ini berhasil menggerakkan perekonomian Jerman.
Sekadar informasi, 40 persen penjualan global untuk mobil Volkswagen, Audi, BMW and Mercedes, beredar di Cina. Bagaimana mungkin pemerintah Jerman membuat keputusan yang sangat tidak strategis tersebut? Nampaknya haluan politik pemerintahan Scholz yang berkiblat pada kebijakan Partai Sosialis Demokrat Jerman, nampaknya adalah jawaban yang paling masuk akal.
Selain menteri perdagangan Robert Habeck, menteri luar negeri Annalena Baerbock, juga berpandangan sama dengan Robert Habeck. Keduanya bersama-sama mendorong arah kebijakan yang tidak rasional dari segi posisi ideologis, untuk merusak hubungan baik Jerman dengan Cina dan Rusia.
Melalui sikap Annalena Baerbock maupun Robert Habeck, pada perkembangannya akan memicu Russia dan China Phobia. Kecenderungannya untuk tunduk pada skema Washington, keduanya mengabaikan betapa penting dan strategisnya kelanjutan kerjasama Jerman dengan Rusia dan Cina.
Yang mana hal itu berarti, Jerman yang semula mulai realistis untuk memandang pergeseran konstalasi global dari Unipolar ke Multi-polar, saat ini Jerman kembali mendukung upaya AS mempertahankan hegemoni Unipolar dan imperialisme AS. Jika memang itu skema dasar kebijakan luar negeri pemerintahan Kanselir Scholz saat ini, memantik antagonisme AS-Eropa vs Cina, memang jadi berkepentingan untuk memantik antagonisme terhadap Cina.
Pertanyaan pentingnya di sini, efektifkah arah kebijakan Scholz, Habeck dan Annalena Baerbock? Rasa-rasanya, kebijakan pemerintahan Jerman pasca Merkel tersebut bertentangan dengan kondisi obyektif internasional yang justru semakin mengarah menuju terciptanya kerjasama-kerjasama internasional berbasis Multipolar daripada Unipolar ala AS dan Inggris.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute