M Arief Pranoto, Pemerhati Masalah Internasional
Ada asumsi bahwa tumbuh suburnya politik aliran (paham), justru membuat ideologi kapitalis semakin kokoh bercokol di suatu negara. Entah ya – entah tidak, atau benar – salahnya asumsi tersebut memang masih diperlukan diskusi dan kajian mendalam, tetapi untuk sementara bolehlah dijadikan premis awal celotehan ini.
Siapapun orang, ketika memahami watak kapitalisme niscaya menjauh, bahkan menolaknya kecuali ia bagian dari sistem dan golongannya. Apalagi bagi negara yang mempunyai latar dan akar nilai gotong royong kuat seperti Indonesia, maka layak lagi pantas menolak total sistem tersebut. Mengapa demikian, oleh karena kapitalisme adalah paham yang mendewakan penumpukan modal pada segelintir orang. Ya, konsep dasar methodenya tak jauh dari : (1) mencari bahan baku semurah-murahnya, dan (2) menciptakan pasar seluas-luasnya. Kedua methode tadi dikerjakan dengan segala cara, serta tak bakal berubah hingga akhir zaman. Seandainya berubah pun hanya cara dan sarananya. Mungkin dulu hard power, kini soft atau smart power. Entah esok apalagi. Dan via methode tadi, ia cenderung abai terhadap prinsip-prinsip kebersamaan, asas keseimbangan, bahkan kalau perlu menggilas kemanusiaan guna meraih tujuan. Retorikanya, siapa mau menerima watak ideologi semacam itu, kecuali golongannya?
Tatkala merebak banyak paham asing di masyarakat, harap maklum saja, barangkali merupakan bagian dari strateginya. Itulah penerapan pola “politik seolah-olah”, yaitu dengan membuat marak aliran di berbagai belahan dunia. Semuanya serba “seolah-olah”. Ya, beberapa paham/ideologi dan aliran sepertinya berhadapan, tetapi sejatinya berangkulan. Atau sebaliknya, seolah-olah berangkulan tetapi berseberangan. Misalnya kapitalis dihadapkan pada paham komunis, sosialis, anarkhis dan radikalisme. Demikian juga diciptakan isme yang seolah-olah pro kapitalis yakni konservatif, liberal, pragmatisme dan lain-lain. Pola-pola seperti itu, terlihat pula diterapkan di tingkat lokal memanfaatkan lestarinya kebhinekaan sosial dan budaya. Seperti mengadu intra – inter agama dan aliran kepercayaan, atau memecah belah antar suku bangsa, membentur-benturkan kelompok dan golongan dalam masyarakat, dan sebagainya.
Apa tujuan “politik seolah-olah”, adalah (mungkin) pendangkalan nilai-nilai leluhur (local wisdom) yang mengantar setiap bangsa pada kemapanan-kemapanan. Utamanya ialah mendangkalkan nilai persatuan dan kesatuan. Maka pengaburan sejarah dan pengabaian nilai lama merupakan paketnya. Tengoklah di republik ini, ketika Arysio Santos (Brazilia) dan Stepenh Oppenheimer (Inggris) menemukan titik Atlantis ada di Indonesia setelah melakukan penelitian puluhan tahun, para pakar dan pejabat negeri ini hampir tak beranjak sama sekali. Apalagi berharap bereaksi ke arah positif. Misalnya melakukan penelitian lanjutan, untuk kemudian dibuat kurikulum pendidikan agar generasi bangsa ini bermental champion bila berhadapan dengan bangsa lain, dan seterusnya. Tapi oleh pakar Indonesia sendiri justru dimentahkan, “Benua peradaban Atlantis yang hilang tidaklah dimana-mana itu hanya sebuah fiksi. Tapi itu bisa dijadikan motivasi untuk mencari peradaban-peradaban masa lalu,” ujar Ketua Ahli Ikatan Arkeologi Indonesia, Profesor Dr Harry Truman Simanjuntak, pada acara Seminar Nasional ‘Indonesia Atlantis yang Sesungguhnya’ di Museum Indonesia TMII, Jakarta, Sabtu (20/2/2010). Parah!
Inilah salah satu hasil dari trik politik seolah-olah. Selalu ada kontra, terdapat pengaburan, muncul pengalihan isue dan lain-lain, sehingga lupa hal hakiki yang tengah terjadi. Selanjutnya, jika politik seolah-olah sudah lebay dalam praktek, rakyat cuma berteriak : Standar ganda! Lalu sembunyi. Takut. Contoh standar ganda, seolah-olah menjadi jagoan demokrasi tapi sering melakukan invasi, sepertinya menjunjung tinggi HAM namun tukang melanggar hak dan kedaulatan, seakan-akan mengembangkan kebebasan dan demokrasi padahal justru menancapkan tirani, dan lainnya — itulah yang sering terjadi. Politik seolah-olah. Pihak yang berseberangan niscaya dijadikan kambing hitam, agar ia selalu punya alasan dan pembenaran tindakan.
Puncak kesuksesan politik seolah-olah di republik ini, ketika pemilihan (coblosan) secara langsung menjadi cara terbaik dan dianggap selaras dengan nilai global. Maka inilah “kiamat kecil” bagi Demokrasi Pancasila yang telah digali dari nilai-nilai leluhur. Inilah kekalahan nilai lama yang sudah dua kali membawa bangsa dan negara ini menjadi Mercusuar Dunia, diganti nilai baru yang belum terbukti, bahkan nilai pengganti cenderung membawa bangsa ke jurang kacau balau dan perpecahan. Sempurna sudah kapitalisme tegak di negeri ini yang orientasi kekuasaannya ialah penumpukan uang dan akumulasi modal pada segelintir orang.
Salah satu hakiki universal nilai kepemimpian adalah (1) di-TUA-kan. Yakni dianggap lebih (tua) pengalaman dan handal dalam ilmu serta wawasan, terutama dalam adab bermasyarakat, (2) menjadi PANUTAN karena dikenal bermoral dan beretika, dan (3) menjadi tempat per-LINDUNG-an dan pelopor PERUBAHAN yang diharapkan mampu membawa kehidupan jauh lebih baik. Bukan malah sebaliknya!
Ya, sistem (demokrasi langsung) menjaring para kandidat melalui jumlah hak suara, sehingga manipulasi dan jual beli suara cenderung terjadi. Adapun “ruang transaksi” disediakan via methode pencitraan yang menjebak rakyat pada pilihan semu, karena tergantung berapa mampu menebar baliho, uang dan sembako. Para pemilih cuma tahu kulitnya, tak paham isi dan ideologi calonnya. Fenomena yang timbul adalah seolah-olah proses tersebut dari bawah (bottom up process) tetapi nyatanya “dibeli” dari atas. Hak suara yang hakikinya ujud kedaulatan rakyat justru dikangkangi. Itulah demokrasi yang tergadai. Terbungkus realitas semu — lalu ditukar sembako dan citra palsu. Retorikanya : Bagaimana akan muncul pemimpin “tua”, melindungi, mampu menjadi panutan dan pelopor perubahan, jika caranya membeli kedaulatan?
Itulah yang kini terjadi. Nilai agung “musyawarah untuk mufakat” disingkirkan — diganti nilai baru yang katanya mengglobal. Praktek politik seolah-olah telah mengaburkan rasio rakyat, hingga bangsa ini terlena bahwa dalam praktek musyawarah tidak ada hak suara, tetapi hak bicara. Ya, hak bicara sangat berbeda dengan hak suara. Tidak ada tirani minoritas, apalagi mayoritas. Mengutamakan kebersamaan daripada asas kepentingan (manfaat). Ia sulit terbeli ketimbang hak suara. Oleh sebab yang mau “bersuara” pun terseleksi secara alamiah dan sosial. Siapa yang bicara? Si Semprul. Jangan! Dia itu preman, otaknya tak jauh dari itu-itu saja! Pak Yit saja yang bicara, sebab jelas rujukan, dan kemana langkah akan dibawa. Tidak mengada-ada. Demi kebenaran dan kejayaan bangsa!
Saat berbicara juga bakal terlihat pengalaman, etika dan moral, sikap, komitmen, wawasan dan lainnya. Ini berbeda dengan coblosan atas nama hak suara yang cenderung melahirkan sosok ujug-ujug karena kuatnya pengaruh uang dan popularitas. Akibatnya, “Petruk Dadi Ratu” ada dimana-mana. O, banyak raja ketoprak “manggung” di berbagai daerah. Ya, enaknya cuma semalam — karena bangun pagi besok masuk penjara dengan alasan tak paham aturan (atau pura-pura bego): ini duit negara, itu harus disalurkan, ini hak-nya dan seterusnya. Atau mungkin dikejar deadline mengembalikan bunga cicilan (biaya kampanye) — akhirnya semua yang tampak di depan dihantam, mumpung punya kewenangan. Edan!
Terhitung 2005-an, sejak demokrasi memilih langsung diberlakukan, ada sekitar 150 Bupati/Wali Kota dan 17 Gubernur dipenjara sebab korupsi. Sungguh data memprihatinkan. Lalu, masihkah ini bangsa mempertahankan demokrasi produk kapitalis yang cenderung membuat negeri ini rusuh dan kacau balau, kemudian dicap oleh dunia sebagai bangsa koruptor. Tidakkah kita sadari, bahwa semua itu berawal dari sistem yang sengaja dibuat banyak ruang untuk menyimpang?
Selayaknya dan sebaiknya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, republik ini kembali kepada Demokrasi Pancasila yang bernafaskan musyawarah untuk mufakat. Bahwa dalam rangka menemukan sosok pemimpin dan format pemerintahan yang mampu mengantarkan rakyat Indonesia meraih gemah ripah loh jinawi – tata tentram kerta raharja, kembali ke nilai dasar dan sumber utama berdirinya negeri ini bukanlah hal tabu bahkan suatu kemutlakan. Demikian adanya, demikian sebaiknya. Merdeka! Merdeka yang sebenarnya!