Apresiasi dan penghargaaan yang setinggi-tingginya kepada Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) dan Kementerian Luar Negeri RI atas prakarsa terselenggaranya sebuah acara penting pada hari ini, The Bandung Spirit for Palestine. Karena itu, di gedung bersejarah ini, marilah kita menyerap osmosis sejarah yang terjadi pada April 1955 kala Indonesia memprakarsai terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika. Yang pada pada perkembangannya kemudian, menjadi sebuah gelombang besar kebangkitan negara-negara Asia dan Afrika sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Praktis melalui Konferensi AA tersebut, semua negara akhirnya mampu melepaskan diri dari belenggu kolonialisme dan imperialisme. Kecuali dua negara, Sahara Barat dan Palestina.
Namun terkait dengan semangat dan jiwa forum kita hari ini, Palestina kita sepakati jadi isu sentral yang akan kita bedah secara bersama-sama. Apa yang bisa kita jadikan inspirasi dari the Bandung Spirit? Mari kita simak pandangan Bung Karno jauh-jauh hari sebelum beliau memprakarsai gagasan monumental menggelar sebuah konferensi bangsa-bangsa Asia –Afrika. Berkata Bung Karno:
“Pergerakan-Pergerekan di seluruh benua Asia ada bergandengan Roh satu sama lain dan bahwa mereka semua pada dasarnya didorong oleh instinct of self preservation. Oleh daya naluri untuk mempertahankan diri.” (Dr H Roeslan Abdulgani, The Bandung Connection, Bandung: Museum KAA, 1980).
Sepertinya bapak bangsa Indonesia ini meyakini satu pandangan bahwa naluri untuk mempertahankan diri pada gilirannya akan melahirkan persatuan nasib. Dan persatuan nasib pastilah akan melahirkan persatuan perangai dan persatuan rasa. Luar biasa. Jelas ini adalah sebuah gagasan orisinil yang mana saya tidak terkejut ketika Bung Karno mampu menginspirasi sekutu-sekutu strategisnya seperti dari Asia dan Afrika untuk menggelar sebuah konferensi akbar di kota Bandung.
Persatuan nasib yang melahirkan persatuan perangai dan persatuan rasa inilah, yang pada perkembangannya telah menciptakan solidaritas bangsa-bangsa Asia dan Afrika sebagai sebuah “kekuatan ketiga” menghadapi skema korporasi-korporasi global baik dari Eropa Barat maupun Amerika Serikat yang dipersatukan oleh gagasan Imperialisme dan Kolonialisme.
Inilah roh dan jiwa the Bandung Spirit yang kiranya perlu kita hidupkan kembali dalam menelisik dan membedah akar konflik Palestina dan Israel. Sehingga kita punya sebuah pandangan baru dalam mengupayakan solusi damai secara menyeluruh dan mendasar menuju Palestina sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat.
Jika kita konsisten untuk mengupayakan lahirnya sebuah solusi yang adil bagi rakyat Palestina, maka melalui the Bandung Spirit harus jadi landasan dan panduan melahirkan KONTRA SKEMA terhadap road map damai yang diajukan Amerika Serikat yang tentunya tetap mengacu pada persetujuan Oslo yang diprakarsai oleh Amerika Serikat antara Israel dan Palestina.
Kepentingan Nasional Inggris berbasis Geopolitik, Akar Soal Konflik Palestina-Israel
Kalau kita telisik ke akar soal atau masalah hulu dari konflik Palestina-Israel, adalah kesepakatan San Remo antara Inggris dan Perancis terkait bagi-bagi wilayah jajahan di kawasan Timur Tengah pada 1920. Dalam konferensi San Remo menyusul kemenangan Inggris, Amerika dan sekutu-sekutunya pada Perang Dunia I 1914-1918 terhadap Dinasti Ottoman Turki, maka Palestina yang waktu itu menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Dinasti Ottoman Turki, kemudian menjadi wilayah mandat kerajaan Inggris di bawah kendali otoritas sipil.
Di sinilah bara konflik Arab-Israel di wilayah Trans-Jordan yang terdiri dari Jordania dan Israel mulai berkobar, dan celakanya Inggris justru menjadi faktor pemicu meluasnya eskalasi konflik penduduk Arab dan pemukim Yahudi di kawasan ini. Sekadar informasi, Transjordan yang di dalamnya terdiri dari Jordania dan Israel, merupakan negara boneka bentukan Inggris pasca Perang Dunia I disamping Irak. Namun sebagai buntut dari meluasnya eskalasi konflik Arab-Israel di wilayah ini, kemudian mencapai puncaknya dengan munculnya The Balfour Declaration, ketika Menlu Inggris James Balfour menjanjikan “Tanah Air” bagi Yahudi di Palestina kepada Chaim Weizmenn, tokoh Zionis Internasional karena jasa Zionis membuat bahan peluru (cordite) sehingga ia menang perang pada Perang Dunia I. Memang ini baru sekadar janji, namun mengingat James Balfour merupakan pemegang otoritas kebijakan luar negeri Inggris pada waktu itu, implikasi dari janji tersebut adalah bahwa Inggris telah mengobarkan bara api di kawasan Timur Tengah, dan Dunia Arab pada khususnya.
Secara skematik, ini memang sudah design Inggris jauh-jauh hari sebelum meletusnya Perang Dunia I. Dengan kata lain, terbentuknya Israel sebagai negara bangsa tidak muncul dari ruang hampa atau secara spontan begitu saja. Ada sebuah skema besar yang terencana dan ini didasari kepentingan nasional Inggris berbasis geopolitik.
Mari kita simak pernyataan dari mantan Perdana Menteri Inggris pada 1906, Henri Bannerman yang kalau kit baca konteks pandangannya ketika itu, bisa kita simpulkan merupakan benih-benih yang mengilhami terbentuknya tanah air bagi bangsa Yahudi yang kebetulan menemukan momentumnya yang pas pada 1917 melalui The Balfour Declaration. Berkata Bannerman:
“Ada sebuah bangsa (Bangsa Arab/Umat Islam) yang mengendalikan kawasan kaya akan sumber daya alam. Mereka mendominasi pada persilangan jalur perdagangan dunia. Tanah mereka adalah tempat lahirnya peradaban dan agama-agama. Bangsa ini memiliki keyakinan, suatu bahasa, sejarah dan aspirasi sama. Tidak ada batas alam yang memisahkan mereka satu sama lainnya. Jika suatu saat bangsa ini menyatukan diri dalam suatu negara; maka nasib dunia akan di tangan mereka dan mereka bisa memisahkan Eropa dari bagian dunia lainnya (Asia dan Afrika). Dengan mempertimbangkan hal ini secara seksama, sebuah “organ asing” harus ditanamkan ke jantung bangsa tersebut, guna mencegah terkembangnya sayap mereka. Sehingga dapat menjerumuskan mereka dalam pertikaian tak kunjung henti. “Organ” itu juga dapat difungsikan oleh Barat untuk mendapatkan objek-objek yang diinginkan.”(Pernyataan ini merujuk pada sebuah buku lawas dari JW Lotz terbitan 2010).
Balfour Declaration pada intinya merupakan janji Inggris untuk memberikan tanah air kepada bagi Yahudi di jantung dunia Arab di Timur Tengah. Bagi Inggris, menguasai dunia Arab dan Timur Tengah pada khususnya, sejalan dengan McKinder punya tesis bahwa barangsiapa menguasai daerah jantung atau Hearland, maka dia akan menguasai dunia. Dan dalam pandangan para perancang kebijakan strategis politik luar negeri Inggris, kawasan ini merupakan Jalur Sutra yang membentang antara Xinjiang, Cina – via Suriah hingga ke Maroko. Jika meminjam istilah PM Henry Bannerman (1906) : “.. mereka mendominasi pada persilangan jalur perdagangan dunia ..”. Itulah jalur ekonomi sekaligus rute militer yang secara geopolitik punya nilai strategis. Dan jadi sasaran strategis Inggris, Perancis, Jerman dan Amerika Serikat. Dan dalam kasus Palestina yang termasuk wilayah Transjordan, Inggris lah yang pegang kendali kekuasaan.
Inilah skema korporasi-korporasi global yang melatarbelakangi berdirinya negara Israel pada 15 Mei 1948. Dari rangkaian kejadian tersebut di atas, jelas lah sudah bahwa dibentuknya Negara Israel semata-mata berdasar kepentingan strategis korporasi-korporasi global yang mata-rantainya dirajut melalui The Royal Institute of International Affairs di London (berdiri pada 1920) dan Council of Foreign Relations(CFR) yang berdiri di Washington sejak 1921.
Kedua think thank inilah yang mengolah kepentingan nasional Inggris dan Amerika Serikat berbasis geopolitik, yang mengolah lebih lanjut pidato Henri Bannerman menjadi sebuah kebijakan strategis seperti tercermin melalui terbentuknya negara Israel di jantung Dunia Arab. Dengan begitu, keberadaan Israel di jantung Dunia Arab seperti di Palestina, harus dibaca sebagai realisasi dari yang diistilahkan Bannerman sebagai “Menanam Organ Asing” sehingga tercipta “instabilitas” permanen di kawasan Timur Tengah. Semacan Devide at Impera atau politik pecah belah di kawasan Timur Tengah. Atau dalam istilah Inggrisnya, Divide and Rule.
Meski Inggris sekarang tidak lagi pegang inisiatif politik di kawasan Timur Tengah, menyusul berakhirnya Perang Dunia II, Amerika Serikat pada perkembangannya mengambil-alih peran strategis yang se belumnya dimainkan oleh Inggris. Namun politik luar negeri AS tetap dalam panduan skema yang sama.
Sementara itu pada sisi lain, setelah AS ambil alih peran sebagai aktor utama skema korporasi global tersebut, negara-negara Arab yang dibina Inggris pada Perang Dunia I dan yang kemudian sukses membantu Inggris menaklukkan Dinasti Ottoman Turki pada 1918, para perkembanganya menjelma menjadi negara-negara Dewan Kerjasama Teluk yang terdiri dari Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Oman, Uni Emirat Arab, dan Bahrain. Meski negara-negara Arab yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk tersebut berada di posisi yang berseberangan dengan Israel, namun dalam menyikapi berbagai isu strategis di Timur Tengah, ternyata tetap sejalan dengan kepentingan strategis AS dan Israel. Bahkan di mata Palestina, Arab Saudi dianggap setaraf dengan Israel dalam klasifikasi sebagai musuh.
Inilah bukti nyata betapa kepentingan nasional berbasis geopolitik Inggris dan Amerika Serikat, telah menjadi landasan dan legitimasi kekuatan-kekuatan korporasi global barat untuk mewujudkan kepentingan strategisnya atas nama KEPENTINGAN NASIONAL.
Pada tataran ini, konsepsi non-state actor yang diajukan oleh JN Rosenau, sayangnya tidak dikembangkan secara lebih mendalam sehingga gagal membaca aspek yang lebih krusial daripada sekadar peran aktor-aktor non negara dalam konteks di luar hubungan government to government. Lebih dari itu, Rosenau menurut saya gagal untuk membaca fakta bahwa korporasi-korporasi global seperti Texaco, British Petroleum, ExxonMobil, Shell, dan Conoco Phillip, pada perkembangannya telah menjadi aktor-aktor non negara yang semakin MENEGARA. Sehingga yang dalam perspektif Hans Morgenthau disebut sebagai Kepentingan Nasional, sejatinya bukan kepentingan nasional rakyat negara yang bersangkutan. Tapi kepentingan strategis korporasi-korporasi global yang dengan sasaran strategisnya untuk menguasai geopolitik satu kawasan tertentu, kemudian mengatasnamakan Kepentingan Nasional.
The Bandung Spirit Sebagai Kontra Skema Hadapi Gerakan Barat Menata Ulang Kembali Kawasan Timur Tengah
Mengingat kenyataan bahwa korporasi-korporasi global yang berada di balik penyusunan kebijakan luar negeri AS maupun Inggris, sejatinya bertujuan membentuk pemerintahan dunia maupun penguasaan pemerintahan negara, maka blueprint dan roadmap Obama dalam menata ulang konstalasi di kawasan Timur Tengah menjadi isu strategis yang harus dimonitor secara terus-menerus. Termasuk terkait tawaran-tawaran roadmap perdamaian Palestina-Israel.
Maka bukan tidak mungkin pintu masuk Obama untuk menata ulang Timur Tengah secara geopolitik dan geostrategis adalah dengan memainkan peran aktif sebagai mediator antara Palestina dan Israel
Dalam skema besar Zionisme Yahudi yang mana pembentukan negara bangsa Israel bukanlah tujuan utama melainkan penguasaan pemerintahan dunia melalui Amerika, maka tidak masalah bagi kelompok ini untuk mengorbankan Israel dalam mewujudkan agenda tersembunyi mereka di Timur Tengah. Dengan memberi kesan bahwa Obama lebih condong mendukung aspirasi Palestina dibanding Israel, namun Obama justru menggunakan kesempatan ini untuk mewujudkan agenda strategis Zionisme Internasional di Timur Tengah, yaitu penguasaan sumber-sumber minyak yang berlokasi di negara-negara Arab yang beragama Islam.
Dan ini logis, karena beberapa waktu yang lalu dalam suatu pertemuan di Yogyakarta Maret 2008, penyumbang dana kampanye Obama terbesar berasal dari perusahaan korporasi yang bergerak dalam Industri perminyakan. Salah satunya adalah ExxonMobile.
Suatu fakta penting yang memperkuat anggapan umum bahwa Amerika akan semakin memperkuat kepentingannya untuk menguasai Timur Tengah.
Lantas, apa yang bisa kita serap sebagai inspirasi dari the Bandung Spirit for Palestine yang jelas jelas merupakan korban dari politik adu domba di jantung Dunia Arab melalui kehadiran Israel sebagai “Organ Asing” yang ditanam di kawasan Timur Tengah?
Dasa Sila Bandung sebagai hasil Konferensi Asia Afrika 1955 kiranya harus kembali kita hidupkan rohnya untuk mengilhami sebuah lahirnya arus baru di tengah-tengah pergolakan dunia saat ini, dan khususnya konflik laten yang tetap tertanam di Palestina. Dasa Sila Bandung menegaskan:
“Menghormati hak tiap-tiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara sendirian maupun secara kolektif, yang sesuai dengan Piagam PBB. Tidak menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara besar.”
Inilah poin penting dan strategis dari Dasa Sila Bandung, yang memicu kecemasan negara-negara kolonial dan imperialis seperti Amerika, Inggris, Perancis, Jerman dan bahkan Spanyol dan Belanda. Karena poin dari rumusan ini bisa dibaca sebagai bibit-bibit atau cikal bakal dari kemunculan “Kekuatan Ketiga” di luar polarisasi dalam Perang Dingin antara Amerika versus Uni Soviet dan Cina ketika itu. Karena itu masuk akal ketika Bung Karno, yang merupakan penggagas Konferensi Akbar Asia Afrika tersebut, bahwa bangsa-bangsa Asia Afrika punya kekuatan besar. Berkata Bung Karno dalam Keynote Speech Konferensi:
“Bangsa-bangsa Asia Afrika tidak memiliki kekuatan fisik yang besar. Juga kekuatan ekonominya masih kecil dan terpecah-pecah. Kita tidak dapat menjalankan power politics. Sekalipun demikian, kita bangsa-bangsa Asia Afrika dapat berbuat banyak. Kita dapat memobilisasi kekuatan spiritual, kekuatan moral serta seluruh kekuatan perdamaian. Kita rakyat dari benua-benua lain, dapat menggerakkan moral violence of nations, dari perdamaian dan kemerdekaan.”
Inilah hakekat sekaligus hikmah dari kisah sukses Konferensi Asia Afrika yang telah melahirkan Dasa Sila Bandunf, the Bandung Spirit. Bersatunya Keinginan dan Cita-Cita.
Bagaimana mewujudkan persatuan cita-cita dan keinginan yang diinspirasi oleh Dasa Sila Bandung dalam mencari solusi menyeluruh dan mendasar dalam kasus Palestina dan intabilitas politik di kawasan Timur Tengah?
Setidaknya ada dua agenda besar yang bisa saya ajukan melalui forum yang terhomat ini. Menggelar dua konferensi Asia Afrika dengan didasari gagasan untuk Mengaktualiasasikan kembali The Bandung Spirit dan Dasa Sila Bandung:
1 Konferensi Internasional Asia-Afrika tentang Palestina
2. Konferensi Internasional Asia Afrika tentang Suriah
Melalui hajatan besar ini, politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif akan kembali direvitalisasi dalam kerangka mendorong kembali Indonesia tampil sebagai salah satu kekuatan baru di luar persaingan global antar negara adidaya yang berkembang saat ini. Karena itu, politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif harus menjadi landasan dan legalitas kepeloporan kembali Indonesia seperti yang sudah dipertunjukkan oleh para bapak bangsa sewaktu memotori terselengaranya Konferensi Asia Afrika pada 1955 dan Konferensi Gerakan Non Blok pada 1961.