Menurut sebuah laporan tahunan yang dirilis Pentagon, tercatat 1,3 kasus pelanggaran disiplin di kalangan militer pada bertugas di Afghanistan dan Irak sejak 2001 di bawah tema “War on Terror.” Namun senyatanya, penyesatan informasi para petinggi militer terhadap kongres maupun publik Amerika terkait sepak-terjang tentara AS di Afghanistan dan Irak selama 20 tahun terakhir ini, bukan saja berhasil menghindari sanksi dan tanggungjawab terhadap para petinggi militer tersebut, bahkan para jendral tersebut berhasil mendapat hadiah jabatan tinggi di birokrasi pemerintahan maupun dewan direksi di beberapa korporasi.
Lebih parahnya lagi, para jenderal angkatan bersenjata AS tersebut tidak menaruh perhatian dan kepedulian terhadap tindak kejahatan perang yang dilakukan tentara NATO baik di Afghanistan dan Iraq. Bahkan wartawan Craig Whitlock, dalam bukunya bertajuk “The Afghanistan Papers” menyingkap sejumlah bukti bahwa para pimpinan militer sebenarnya sudah mengetahui bahwa operasi militer AS di Afghanistan gagal total. Namun para petinggi militer AS tersebut berbohong tidak saja kepada kongres melainkan juga kepada masyarakat Amerika. Kolonel Bob Crowley mengklaim dalam buku karya Craigh Whitlock itu, bahwa setiap data dan fakta penting yang menyingkap kegagalan operasi militer AS di Afghanistan, telah dirubah sedemikian rupa sehingga menampilkan sebuah laporan yang menggambarkan sebuah penilaian positif dan keberhasilan operasi militer AS di negara para Mullah tersebut. Padahal sama sekali tanpa dasar.
Baca: Top US Generals Blatantly Lied About Afghanistan and Iraq Wars to Advance Their Careers
Pertanyaan pentingnya mengapa para perwira tinggi yang bertugas di Afghanistan dan Irak itu berulangkali membuat laporan dan informasi yang menyesatkan bahwa invasi militer AS terhadap kedua negara tersebut berjalan sukses dan menghasilkan kemajuan? Selain dimotivasi oleh kepentingan pribadi untuk mengamankan karir dan prospek masa depannya setelah pension, mereka berusaha mencegah jangan sampai 1,3 kasus pelanggaran disiplin yang dilakukan para personil tentara bawahannya seperti pembunuhan, pemerkosaan dan penyiksaan terhadap warga masyarakat sipil, akan menghancurkan karir kemiliterannya maupun reputasinya setelah pensiun.
Ambillah misal, Jenderal Lloyd Austin, menteri pertahanan AS pada pemerintahan Joe Biden saat ini. Ketika nvasi militer AS ke Irak pada 2003, Austin merupakan wakil komandan divisi infantri ketiga. Sejak awal pendudukan Irak, Austin selalu membuat laporan2 yang menggambarkan bahwa situasi di Irak baik-baik saja. Padahal menurut Dathar Khashab, direktur perusahaan penyulingan minyak the Daura oil refinery, setelah tentara AS merebut Baghdad, jumlah tindak kejahatan di Irak jauh lebih meningkat pada masa pendudukan pasukan AS.
Sebagai hadiah dari Austin yang bersikukuh bahwa situasi dan kondisi di Irak aman-aman saja, akhirnya Austin diberi promosi jabatan sebagai Komandan Pasukan AS di Irak. Bahkan sekaligus menjadi memegang kendali pusat komando yang mengendalikan seluruh operasi militer di Timur-Tengah. Saat Austin pension, mendapat gaji pension 15 ribu dolar AS per bulan.
Bukan itu saja. Austin juga dapat kedudukan sebagai dewan direksi pada beberapa korporasi seperti United Technologies Corporation, sebuah perusahaan kontraktor militer yang merger dengan Raytheon pada 2020 lalu. Alhasil, Austin sontak jadi jutawan, memiliki rumah mewah seharga 2,6 juta dolar AS di area Washington DC.
Austin baru sebagian dari cerita. Jenderal David Petraeus yang pada saat invasi AS ke Irak berpangkat Mayor Jenderal, seperti para jenderal lainnya di Afghanistan dan Irak, kerap menyembunyikan data dan informasi yang dapat merusak reputasi tentara sewaktu bertugas di Irak dan Afghanistan. Sebaliknya merekayasa data dan informasi sedemikian rupa sehingga terkesan operasi militer di Irak sukses besar. Alhasil, pada 2007 David Petraeus diberi promosi jabatan sebagai Komandan pasukan AS di Irak. Setelah itu karir militer Petraeus semakin meroket dengan diangkat sebagai komandan pasukan AS dan NATO di Afghanistan antara 2010-2011. Sekaligus Panglima Komando Pusat untuk Timur-Tengah dan Asia Tengah.
Dalam laporannya kepada kongres, Petraeus menjamin bahwa situasi di Afghanistna terkendali dan membawa kemenangan militer yang cukup berarti. Padahal menurut Craig Whitlock dalam bukunya, berdasarkan temuan lapangan dan keterangan beberapa sumber dari kalangan perwira militer di lapangan, laporan Petraeus omong kosong belaka.
Temuan Whitlock semakin diperkuat dengan keterangan Sarah Chayes, penasehat Petraeus di Afghanistan, ketika dirinya menyarankan Petraeus agar memberantas praktek korupsi yang merajela di dalam tubuh pemerintahan Kabul yang didukung AS. Namun taka da satupun rencana tersebut yang dilaksanakan. “Saya berulangkali mendesak Petraeus sampai akhirnya saya sadar bahwa dia memang tak ada niat untuk melaksanakan apa yang saya rekomendasikan,” begitu tutur Sarah Chayes.
Pada 2011 Petraeus sempat memimpin CIA, namun dia kedapatan membagikan informasi rahasia terhadap teman wanita selingkuhannya, nyonya Broadwell, sehingga mengundurkan diri, daripada harus diseret ke pengadilan dan terkena sanksi hukum.
Begitupun Petraeus tetap dapat menikmati masa pensiunnya sebagai orang yang kaya raya dan berlimpah harta. Dengan demikian, praktis selama dua dekade, perang di Afghanistan dan Irak hanya jadi sarana para petinggi militer untuk menapak jenjang karir pada puncak jabatan, dan membikin mereka kaya raya. Sementara melalui War on Terror, warga sipil Afghanistan dan Irak telah menjadi korban kejahatan perang para personil tentara AS dan NATO.
Diolah kembali oleh Hendrajit, pengkaji geopolitik Global Future Institute.