Checks and Balances dan Cermin Diri (2)

Bagikan artikel ini

Selanjutnya bab dibawah ini, akan mengurai sekilas jawaban SBY atas pokok-pokok kegelisahannya kendati tak tuntas terbahas, artinya dalam kupasan masih menyisakan critical questions, yaitu pertanyaan kritik untuk direnungkan, dibahas, dan didiskusikan lebih dalam lagi. Inilah jawabannya.

Pertama, bahwa dalam distribusi kekuasaan dahulu, memang lebih kuat peran eksekutif daripada lembaga lainnya (eksekutif dan legeslatif). Parlemen tak sekuat eksekutif sehingga checks and balances tidak berlangsung dengan baik. Apakah sekarang ini sudah berimbang eksekutif, legislatif, yudikatif? Lalu, apakah bangsa ini ingin tetap menjalankan sistem presidensial atau sistem semi-parlementer? Berbeda sekali. Mari lihat kembali apa yang ada dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Apa pikiran-pikiran dasar dari para founding fathers ketika mendirikan negara ini?

Indonesia ini negara kesatuan, tetapi juga menjalankan otonomi daerah. Tak banyak negara yang menganut sistem paduan seperti ini. Ada federal, ada konfederasi, ada negara kesatuan, tetapi menjalankan otonomi daerah. Apakah sudah tepat hubungan pusat dengan daerah: distribusi kewenangan, distribusi kekuasaan di tingkat pusat, tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten? Ini merupakan isu penting, atau isu pertama, bila ingin melakukan refleksi apa yang telah terjadi di negeri ini selama 15 tahun ini: sistem ketatanegaraan dan distribusi kekuasaan.

Kedua, bahwa demokrasi, stabilitas, dan pembangunan silahkan dirasakan sendiri, terutama tahun-tahun awal pasca krisis (1998 – 2002). Benarkah kalau ada orang yang mengatakan bahwa penggunaan kebebasan yang keliru dan kepatuhan pada hukum yang rendah akhirnya mengganggu stabilitas serta keamanan dan ketertiban publik, juga akan mengganggu perekonomian nasional?

Bila ada yang mengatakan, “Ah, stabilitas itu ‘kan ciri orde yang otoritarian.” Itu keliru. Negara yang menganut demokrasi liberal pun mengutamakan stabilitas negara agar kehidupannya tenteram, ekonominya bisa berjalan. Terdapat pandangan mulai muncul satu-dua tahun terakhir ini karena ternyata tidak suka kalau the exercise of freedom, hal ini dianggap berlebihan kemudian mereka rindu kepada sistem yang lebih teratur. Tetapi yang dimaksud teratur ini tiba-tiba mereka menyebut kembali, “Apakah tidak seharusnya kita kembali ke sistem yang otoritarian, bisa diatur, tidak kacau balau?” katanya. Ada juga yang mengatakan, “Kalau begitu, apakah tidak bagus kita menganut yang semi-otoritarian?” Apa batasannya antara otoritarian, semi-otoritarian, dan demokrasi?

SBY menegaskan, dulu yang diperlukan adalah tangan yang kuat, yaitu sistem otoritarian. Namun sekarang harus mengandalkan rule of law, penegakan hukum yang efektif, institusi penegak hukum yang kuat. Maknanya apa? Kalau ada pelanggaran hukum, ada kejahatan, kekerasan, kemudian penegak hukum menegakkan hukum dengan tegas, kepolisian menertibkan kekerasan yang ada di mana-mana, jangan buru-buru dianggap sebagai tindakan yang represif, apalagi dianggap melanggar hak-hak asasi manusia.

Kita harus memilih: kembali ke otoritarian, semuanya dikontrol, Indonesia pernah mengalami, dan berakhir dengan krisis. Tentu bukan pilihan kita. Era kebebasan, surplus dimana-mana, dan ketika ditertibkan justru ada halangan, seolah-olah represif, seolah-olah melanggar hak asasi manusia (HAM), seolah-olah kembali ke era masa lalu, dan lain-lain.

Demokrasi, stabilitas, dan pembangunan, ketiganya penting. Indonesia bisa sebenarnya. Ketika setelah krisis, bangsa ini menjalankan demokrasi sambil membangun, stabilitas relatif terjaga, dan kemudian ekonomi tumbuh dengan baik. Jadi sebenarnya bukan sesuatu yang ilusif. Kita bisa jalankan sambil melakukan perubahan disana-sini.

Ketiga, hubungan antara negara, pemerintah, dan masyarakat. Ini juga harus memilih. Artinya, rakyat ini, ingin negara dan pemerintahnya berperan seperti apa? Apa negara dan pemerintah berperan seperti polisi, seperti petugas trantib? Kalau ada apa-apa, tangani langsung, keluarkan aturan yang tegas, jangan ini-jangan itu supaya tertib semuanya? Dan barangkali itu model otoritarian, apakah itu? Termasuk ketika mengatasi konflik komunal dan kekerasan atas nama agama. Apakah akan kita anut begitu selamanya negeri ini? Atau, “Oh, tidak, tidak boleh negara dan pemerintah melakukan peran yang seperti itu. Tidakkah kehidupan masyarakat, kehidupan bangsa harus berjalan, sebagaimana yang diharapkan, natural, menjalankan nilai-nilai dan budaya yang baik hingga menjadi the good society.”

Kalau begitu jawabannya, bukan meminta negara selalu menangani, menyelesaikan apa pun dengan cara-cara (barangkali) yang memandulkan peran kesadaran dan tanggung jawab masyarakat. Tetapi justru ke depan ini, kita lebih perankan masyarakat melalui culture building misalnya, menuju good and responsible society.

Melalui jutaan SMS sejak tahun 2005, baik via Twitter, Facebook, dll usul dan saran publik kepada SBY ternyata masih ber-mindset-kan agar bertindak sebagaimana di era otoritarian, bukan pada era demokrasi. Masyarakat masih menggambarkan Presiden bisa berbuat apa saja, dianggap memiliki kekuasaan begitu besar, dan kemudian mengabaikan apa yang ada dalam kaidah-kaidah demokrasi, kaidah-kaidah rule of law dan tata pemerintahan yang dianut kini, yang semuanya merupakan proses dan hasil dari reformasi.

Oleh karena itu, 15 tahun ke depan mau seperti apa hubungan antara negara, pemerintah, dengan masyarakat, the statethe government and the society? Ini bangsa sendiri. Kita yang memilih. Biar belajar kemana pun, tapi toh akhirnya harus memilih seperti apa yang patut dan cocok dijalankan pada negeri ini. Intinya jika bangsa ini memiliki mimpi 100 tahun ke depan untuk Indonesia lebih maju daripada sekarang ini, maka kucinya adalah can do spirit (semangat harus bisa) dan percaya diri.

Kelima atau terakhir, responsibility sharing, bagaimana kita bisa berbagi peran, berbagi tanggung jawab. Jawabannya, selain Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan yang PALING bertanggung jawab, juga masyarakat semua harus bertanggung jawab.

Pers dan media juga memiliki peran dan tanggung jawab yang besar. Kalau pers melakukan refleksi selama 15 tahun, maka akan menemukan sendiri apa yang sudah baik dilaksanakan oleh pers dan apa yang belum baik, sebagaimana pula refleksi pemerintah, apa yang sudah baik, apa yang belum baik. Demikian juga TNI, Polri, penegak hukum, semua kalau jujur, juga melakukan refleksinya masing-masing.

Pada reformasi 1998 dulu, media massa ikut meluruskan mindset dan paradigma yang masih keliru, dari sistem otoritarian menuju demokrasi, dan banyak lagi varian tentang itu. Kenapa pers kini tidak bisa seperti dulu lagi?

Media menjadi agent untuk character building. Kalau di tengah daya kritis pers, di tengah kewajiban untuk memenuhi the right-to-know of the people, di tengah kepentingan pers untuk memotret apa yang terjadi di Indonesia dan di dunia, maka alangkah bagusnya kalau pers juga ikut membangun optimisme, pikiran yang positif, dan kepercayaan diri yang lebih tinggi dari bangsa ini, bukan angin surga, bukan meninabobokan, just telling the truth. Kalau pers dan media massa selama 15 tahun ke depan misalnya tidak ada liputan good news sama sekali, hanya bad news semata, maka bagaimana rakyat bisa percaya pada dirinya sendiri?

Indonesia ke depan seperti apa, the way forward? “Pak SBY, 2014 ke depan bagaimana?”. Kita percayakan kepada pemimpin baru, katanya. Kemudian yang penting, yang sudah dicapai, yang baik-baik, tolong dijaga dan ditingkatkan; yang belum baik, diperbaiki. Ingat transformasi itu bukan pekerjaan sekali jadi, tetapi proses.

(Bersambung ke 3)

Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com