Catatan tak ilmiah ini, masih melanjutkan celotehan terdahulu tentang Pokok-Pokok Kegelisahan SBY (1), serta Checks and Balances dan Cermin Diri (2). Judul sengaja dibuat berbeda, selain agar terlihat sexy juga lebih fokus dalam membaca. Selamat membaca.
Pada beberapa dokumen dan pointers diskusi di Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit, berkali-kali dikatakan, “Bahwa persoalan bangsa ini ada di hulu, tetapi perjuangan segenap anak bangsa selama ini justru lebih banyak gaduh pada tataran hilir semata.” Mana nyambung, bagaimana akan efektif? Korupsi dan serba-serbi di sekitarnya, meskipun menyedot perhatian publik, sesungguhnya hanya permasalahan hilir karena ia diciptakan melalui sistem tata negara dan politik. Ini salah satu contoh. Lalu, sistem model mana yang menyebabkan korupsi?
Penerapan multi partai dan one man one vote (pilihan langsung) dalam sistem pemilu, disinyalir merupakan ‘pintu pertama’ untuk kasus-kasus korupsi akibat high cost budget (biaya tinggi) di setiap penyelenggaraan pesta demokrasi, baik beban yang ditanggung oleh keuangan negara maupun besarnya dana yang ditanggung si kandidat dalam rangka ‘membeli perahu’ misalnya, kampanye dan pencitraan, atau money politic, dan lain-lain.
Gilirannya, penjahat pun bila dihias melalui strategi pencitraan (sihir) yang handal akan “jadi”, lalu ia pun duduk sebagai pejabat (publik) negara. Inilah fenomena Petruk dadi Ratu yang kini marak. Ada sanepo dan sasmita tentang Petruk dadi Ratu yang berkembang di masyarakat Jawa, “Enaknya cuma semalam (di panggung ludruk), besok pagi harus turun panggung (digelandang Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK)” Inikah yang tengah terjadi dan berlangsung secara masif di republik tercinta?
Yang harus dicermati bersama adalah, bahwa pilihan atas pola memilih langsung (hak suara) justru sudah meninggalkan kearifan ‘musyawarah untuk mufakat’ (hak bicara), bukankah nilai-nilai leluhur tersebut telah terbukti keampuhannya membawa bangsa ini kepada Kejayaan Nusantara I di era Sriwijaya, dan Keemasan Nusantara II pada zaman Majapahit tempo doeloe?
Agaknya kita harus akui, bahwa bangsa ini sudah terseret oleh arus nilai global (one man one vote) yang belum teruji keampuhannya di Bumi Pertiwi, bahkan cenderung memecah belah bangsa melalui konflik-konflik komunal sebagai dampak negatif di setiap pesta demokrasi. Ada kalah, ada yang menang, ada minoritas, mayoritas, dan lain-lain. Berbeda dengan praktek musyawarah untuk mufakat. Tidak ada hak suara, tetapi hak bicara. Sudah tentu hak bicara sangat berbeda daripada hak suara. Betapa hendak bicara pun akan terseleksi secara alamih dan sosial. Siapa yang bicara? Si Semprul. Jangan! Dia itu preman, kerangka pikirnya tidak jauh dari “itu-itu” saja! Biar Pak Suyit bicara, atau Pak Datuk, mereka jelas latar belakangnya, dipercaya rujukannya, dan memahami kemana negeri ini akan dibawa.
Dan dalam hak suara pun, aspek keadilan tampak terabaikan, karena suara seorang tukang becak (maaf), nilainya sama dengan suara profesor, tokoh masyarakat dan agama, dan lain-lain. Tak boleh dielak, pada hak bicara (musyawarah untuk mufakat) hampir tidak ada tirani minoritas, apalagi mayoritas. Semua aspirasi mungkin terakomodir sesuai intensitas. Mengutamakan kebersamaan daripada sekedar asas kepentingan (manfaat). Dan hak ini tentunya akan sulit “dibeli”, apalagi cuma ditukar sembako.
Model Otonomi Daerah (Otoda) pun demikian, selain ia ditengarai sebagai sistem banci —karena Indonesia ialah negara kesatuan— juga melebarkan konflik-konflik komunal akibat dampak dinamika politik multi partai, pemilihan kepala daerah (Pilkada), dan lain-lain. Artinya, konflik politik di pusat dapat meluas hingga ke daerah-daerah, ataupun sebaliknya. Apakah perlu dikembalikan fusi menjadi tiga partai, atau dua partai sebagaimana model di negara-negara adidaya?
Distribusi kekuasaan dan kewenangan oleh pusat ke daerah dalam kerangka Otoda guna mendekatkan pelayanan kepada rakyat ternyata tidak dapat terlaksana dengan baik, yang muncul malah ‘raja-raja kecil’ di daerah, arogansi sektoral merebak, dan lain-lain. Gilirannya, tak sedikit Bupati mbalelo kepada Gubernur, atau Gubernur menantang Menteri, atau kalau perlu melawan Presiden sekalian karena rumongsodipilih langsung oleh rakyat melalui one man one vote, apalagi bila si atasan tidak berasal dari partai yang sama.
GFI menarik kesimpulan, bahwa sistem politik semacam ini yang berkuasa justru pemilik modal. Artinya, manakala kandidat yang didukung (dana)-nya konglomerat sudah “jadi”, maka no free lunch, si pemilik modal kemungkinan besar meremot berbagai kebijakan publik (proyek) agar senantiasa berpihak pada bisnisnya.
Terkait bengkaknya kasus korupsi di era reformasi, bukan hanya persoalan gaji eksekutif dan aparat negara yang relatif kecil dibanding kewenangan besar yang dimiliki. Pertanyaannya adalah, “Kenapa fee sekian percent yang lazim di dunia bisnis sekarang masuk kategori tindak pidana korupsi (tipikor)?” Termasuk kejahatan suap (pidana umum), mengapa kini juga masuk ranah tipikor? Bagaimana angka korupsi tidak membengkak? Siapa yang paling diuntungkan jika negeri ini dicap sebagai sarang koruptor?
Maka seribu KPK dibentuk, niscaya tidak akan mampu menekan korupsi di Indonesia, karena selain ruh korupsi ialah budaya (menjamu tamu, komisi/fee, hadiah/terimakasih, dan lain-lain) yang hidup berkembang dalam masyarakat kita, ia juga diciptakan secara struktural oleh sistem di hulu. Pertanyaan nakalnya, kenapa (fee) tidak sekalian dilegalkan dalam Undang-Undang (UU)? Misalnya Bupati memperoleh sekian percent dari nilai proyek, Gubernur sekian percent, dan lain-lain karena praktek yang berlangsung selama ini memang demikian. Atau, kembalikan saja kejahatan suap ke ranah pidana umum!
Uraian di atas, hanya sekedar contoh kecil di dunia politik tanah air —banyak permisalan lain di berbagai sektor— bahwa sejatinya persoalan bangsa ini bersemayam di hulu, tetapi segenap anak bangsa justru gaduh dan larut di tataran hilir. Retorika pun muncul, “Apakah kondisi ini merupakan seting kaum kolonial agar bangsa ini hanya gemuruh pada hal-hal yang tak signifikan (hilir), sementara skema kolonialisme di hulu semakin kuat tertancap?”
(Bersambung ke 4)
Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)