Membaca Hasil Pertemuan Tim Transisi dan Jusuf Kalla

Bagikan artikel ini

Prisana Herdianto dan Ananda Rasti, citizen journalist dan pemerhati masalah politik dalam negeri

Sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja dan efisiensi pemerintahan mendatang, Presiden dan Wapres terpilih, Jokowi-JK membentuk tim transisi yang terdiri dari Rini MS Suwandi (mantan Menperindag di era Presiden Megawati Soekarnoputri), Anies Baswedan (akademisi dan mantan  peserta konvensi capres Partai Demokrat), Andi Widjajanto (mantan dosen Universitas Indonesia) serta Hasto Kristiyanto (politisi PDI Perjuangan).

Salah satu tugas tim transisi yang terbaca dari pemberitaan media massa adalah mempelajari dan merumuskan program kerja bagi pemerintahan Jokowi-JK periode 2014-2019 mendatang, sehingga tidak mengherankan jika tim transisi ini merumuskan opsi adanya 3 (tiga) struktur birokrasi mendatang, dengan disebut-sebut jumlah kementerian yang diusulkan tim transisi berkurang dibandingkan kabinet yang dipimpin SBY-Boediono.

Setelah mempunyai rencana untuk “menawarkan” tiga opsi bentuk birokrasi pemerintahan mendatang dan menyampaikan ide-ide dan gagasannya, tim transisi akhirnya menemui Wapres terpilih, Jusuf Kalla di Jakarta (25/8).

Dalam pertemuan dengan tim transisi seperti diberitakan oleh salah satu media nasional terbesar di Indonesia, Jusuf Kalla menilai bahwa jumlah 34 menteri dalam kabinet seperti sekarang ini masih cukup memadai. Alasannya anggota kabinet nantinya akan mengurusi pemerintahan dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta penduduk.

“Kabinet dalam pemerintahan mendatang adalah kabinet kerja, karena itu tidak diperlukan bongkar pasang kementerian yang terlalu radikal. Sebab saat ini pemerintah justru memerlukan penyesuaian selama 6 bulan sampai 1 tahun (untuk langsung bekerja). Namun, yang diperlukan adalah perubahan secara internal struktural kementerian demi mendorong efisiensi kinerja,” ujar JK seusai pertemuan dengan Tim Transisi di kediamannya Jl Brawijaya, Jakarta (25/11).

Menurut JK, pemerintahan baru harus bekerja lebih efektif dengan menteri-menteri yang dapat diandalkan dengan merampingkan struktur birokrasi yang panjang. JK menambahkan, pemerintahan baru akan menggenjot semua program sebagai prioritas dalam waktu bersamaan. Program itu diantaranya pengembangan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pertanian, jaminan social dan perbaikan ekonomi. “Akhirnya, semua jadi prioritas karena prioritasnya itu begitu banyak,”ujarnya.

Perlu Dikritisi

Dari membaca hasil pertemuan antara Jusuf Kalla dengan tim transisi berdasarkan pemberitaan media massa, menurut penulis, ada beberapa hal yang perlu dikritisi. Pertama, pembentukan tim transisi. Pembentukan tim ini cukup baik dan merupakan langkah maju untuk membuat program kerja dan mengusulkan arsitektur kabinet mendatang. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah personil yang mengawaki tim transisi ini, dipandang “kurang berpengalaman” di bidang birokrasi pemerintahan, walaupun semuanya jenius. Dengan latar belakang dari akademisi, politisi dan mantan menteri, maka wajar saja masukan yang diberikan oleh tim transisi bersifat “ideal”, walaupun masih menjadi pertanyaan besar untuk dapat dilaksanakan.

Kedua, tampaknya tim transisi juga masih “gagal” dalam memformulasikan atau membuat scenario dan foresight bagaimana perjalanan bangsa ini dalam periode 2015-2019 mendatang, atau dengan kata lain dalam perumusan uncertainty dan threats yang dihadapi pemerintahan ini ke depan belum dapat dirumuskan dengan visi dan misi yang jelas. Padahal, sejatinya berdasarkan visi dan misi tersebut akan dibuat strategi yang kemudian diejawantahkan dalam bentuk program-program kerja.

Ketiga, dari pernyataan JK yang menyatakan bahwa akhirnya semua menjadi prioritas, karena prioritasnya begitu banyak. Hal ini mengindikasikan bahwa tim transisi hanya merekapitulasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi semata atau yang masih ada sekarang ini, namun gagal menentukan dari permasalahan-permasalahan tersebut, mana yang berpotensi menjadi “driving force” yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan mendatang.

Menurut penulis, sebenarnya untuk tahun pertama sampai tahun kedua pemerintahan Jokowi-JK sudah dapat memperbaiki dan mengembangkan infrastruktur, meningkatkan mutu pendidikan serta memberikan jaminan sosial bahkan kalau bisa secara gratis kepada masyarakat, sudah dapat dikatakan berhasil. Menurut penulis, ketiga hal tersebut yang berpotensi menjadi “driving force” karena merupakan keturunan dari persoalan kurang berjalannya sektor rill, pencerminan gini ratio yang semakin akut, serta menggambarkan siklus kerentanan “social riots” yang harus membutuhkan kewaspadaan dan penyelesaian secara proporsional dan professional.

Keempat, sepakat dengan ide Jusuf Kalla bahwa yang diperlukan adalah memperbaiki struktur kementerian dengan memendekkan jarak rentang tanggung jawab atau mengefisiensikan kementerian. Berbicara terkait dengan mengefisiensikan kementerian, maka alokasi perjalanan dinas atau SPJ perlu direformasi atau dikurangi secara signifikan, karena dengan anggaran menjadi Rp 32 trilun ditahun 2015 dengan output bahkan outcome yang kurang jelas, biaya perjalanan dinas harus dikurangi.

Disamping itu, beberapa lembaga adhoc atau jabatan adhoc seperti dewan khusus, staf khusus, dewan analisis, serta pembentukan satgas-satgas yang marak diberbagai kementerian atau lembaga non kementerian harus dikurangi, karena berpotensi menimbulkan “abuse of budget” ke depan. Diperlukan revolusi mental seperti yang dicita-citakan oleh Jokowi untuk mengurangi biaya SPJ dan penghapusan beberapa lembaga adhoc atau jabatan adhoc tersebut diatas.

Last but not least, sebenarnya dengan jumlah 34 kementerian yang ada sekarang ini dipandang oleh publik melalui berbagai media massa juga menilai terlalu gemuk dan banyak, padahal diantara kementerian tersebut seringkali terjadi tumpang tindih tupoksi. Jabatan-jabatan seperti wakil menteri juga perlu dipertimbangkan untuk dihapus, karena “menisbikan” fungsi sekjen yang ada selama ini di kementerian atau wakil kepala di lembaga non kementerian.

Publik mungkin juga akan menilai bahwa dengan 34 kementerian yang masih dipandang perlu seperti dikemukakan JK, jangan-jangan pemerintahan baru ini sudah “diganggu” jatah-jatahan jabatan dan kursi, padahal seperti janji pasangan ini dalam Pilpres, mereka bertekad akan membentuk kabinet berdasarkan merit system bukan berdasarkan bagi-bagi porsi. Tekad dan janji itu sebaiknya dilaksanakan sebagai refleksi pertama keberhasilan “revolusi mental”. Semoga.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com