Cina atau Amerika Serikat yang akan Menghegemoni Dunia?

Bagikan artikel ini

Toni Ervianto, Alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen, Universitas Indonesia

Tidak dapat dipungkiri bahwa “rivalitas” antara Republik Rakyat Cina (RRC) dengan Amerika Serikat dalam rangka “menghegemoni” dunia terutama dalam rangka mempertahankan kepentingan nasional mereka masing-masing ke depan seringkali juga telah mengakibatkan situasi politik dan dalam negeri sebuah negara yang memiliki hubungan dengan AS dan “calon super power” Cina juga ikut memanas.

Rivalitas antara RRC dengan Amerika Serikat sebenarnya tampak dalam berbagai krisis yang dialami oleh sejumlah negara antara lain di Libya, Mesir, Sudan, Suriah,Iran, dan Myanmar bahkan dalam persoalan Laut Cina Selatan juga sangat kental dengan “perang kepentingan” antara Amerika Serikat dengan Cina, terutama yang dilandasi dengan kepentingan mereka untuk mencari ‘what lies beneath the surface” terutama terkait dengan food security, energy security dan water security bagi kedua negara.

Untuk dapat memperkirakan siapa kiranya yang lebih unggul antara RRC atau Amerika Serikat dalam “rivalitas” tersebut, maka ada sejumlah indikator yang dapat dijadikan dasar analisis yaitu kekuatan, kelemahan, kemampuan dan niat dari masing-masing negara tersebut serta menjadi penting bagi Indonesia, terutama terkait dengan pengaruhnya.

SWOT AMERIKA SERIKAT

Ada sejumlah persoalan strategis yang dialami oleh Amerika Serikat sekarang ini yang dapat dianalisis dengan metode SWOT (strenght, weaknesess, opportunities and threat) seperti pertumbuhan ekonomi yang mengalami kemerosotan (Economic Slowdown), sehingga pengangguran di Amerika Serikat mencapai 8,4% dari total populasi penduduk Amerika Serikat sehingga sekarang ini muncul kekhawatiran yang cukup meluas di Amerika Serikat terutama terkait dengan meningkatkan kriminalitas, disamping ada beberapa surat berharga milik Amerika Serikat yang dimiliki oleh RRC mencapai US $ 1,6 milyar serta adanya tanda-tanda “kegelisahan” Amerika Serikat menghadapi kebangkitan RRC, terutama dengan adanya sejumlah pangkalan militer AS di berbagai negara seperti Jepang, Guam, dan Australia yang melingkari wilayah Cina, bahkan Philipina dalam rangka merespons konflik Laut Cina Selatan dengan RRC, juga telah mengundang Amerika Serikat untuk “menyewa” wilayahnya menjadi pangkalan militer AS. Perkembangan-perkembangan indikator tersebut jelas merupakan “potential dispute against Cina”.

Disamping persoalan ekonomi, maka permasalahan strategis lainnya yang dihadapi Amerika Serikat antara lain berkisar tentang ancaman terorisme, terutama ancaman serangan senjata biologi dari kelompok Al Qaeda dan sel-sel mereka. Persoalan strategis lainnya yang dihadapi Amerika Serikat antara lain, terkait dengan penempatan sejumlah pasukan AS di beberapa wilayah konflik seperti Iraq, Afganistan, Pakistan dll yang juga telah menimbulkan permasalahan di ranah lokal Amerika Serikat itu sendiri. Sementara itu, keberadaan pangkalan militer di Darwin Australia, juga dikhawatirkan oleh berbagai kalangan akan menimbulkan sejumlah persoalan seperti kasus pemerkosaan anggota militer AS terhadap warga sipil sebagaimana terjadi di pangkalan militer AS di Jepang dan Korea Selatan yang juga telah menyulut konflik horizontal dengan warga sipil setempat.

Hal-hal lainnya yang juga perlu mendapatkan perhatian pemerintah Amerika Serikat terkait dengan persoalan strategis yang dihadapinya antara lain, ancaman nuklir yang dimiliki oleh RRC, dimana untuk mengantisipasinya Amerika Serikat telah mengeluarkan dana sebanyak 10 juta US $ per tahun untuk pengembangan, tes dan penempatan misil.

Masalah-masalah yang juga menjadi problem strategis bagi Amerika Serikat antara lain, konflik Laut Cina Selatan, isu nuklir Iran, ketidakstabilan politik di kawasan Timur Tengah dll (the influenced of USA at strategic problem (South China Sea, Iran Nuclear, political uncertainty at Middle East etc).

Sementara itu, kekuatan yang dimiliki Amerika Serikat antara lain, AS memiliki Expeditionary Strike Group (ESG) dan Amphibious Ready Group (ARG) dalam rangka merespons situasi tidak stabil khususnya di kawasan Timur Indonesia, Papua (USA have a Expeditionary Strike Group (ESG) and Amphibious Ready Group (ARG) to quick responses instability situation specially at Eastern Indonesia, Freeport at Papua), dengan jumlah penduduk AS yang mencapai 5% dari total populasi penduduk dunia dan AS yang tetap memproduksi 25% dari total GDP dunia, maka AS masih tetap melanjutkan dominasinya dalam bidang politik, diplomasi, ekonomi, perdagangan, keuangan dan komunikasi di tingkat internasional (With 5 percent of the world’s population and still producing 25 percent of the world’s GDP, the US continues to dominate international standards in politics, diplomacy, economics, trade, finance and communications).

Dengan anggaran pertahanan sebesar 600 juta US $, maka dana Amerika Serikat ini jauh lebih besar daripada kombinasi seluruh dana pertahanan dari beberapa negara seperti Rusia, RRC, India, Jepang, Inggris, Perancis dan beberapa negara maju di Eropa, sehingga dampaknya adalah AS masih sangat mendominasi dunia sampai saat ini (The US’ defense budget of US$650 billion remains greater than the combined defense budgets of Russia, China, India, Japan, Britain, France and seven advanced countries in Europe. Control of the global commons remains in the US’ strong hands).

Amerika Serikat juga mendominasi dalam masalah ketahanan cyberspace meliputi kegiatan keuangan dan perbankan di tingkat internasional seperti Hongkong, Shanghai-RRC, Tokyo, Seoul dan negara-negara ASEAN (USA dominance in cyberspace security over international finance and banking transactions across Hong Kong, Shanghai, Tokyo, Seoul and Southeast Asian countries).

Kekuatan Amerika Serikat lainnya yaitu Sebelumnya, perusahaan-perusahaan raksasa AS mendominasi proyek migas, emas dan tembaga di Indonesia. Di minyak, ada ExxonMobil yang mengelola ladang-ladang minyak di negeri ini. Salah satu ladang minyak yang sempat mengundang kontroversi adalah blok Cepu, Bojonegoro.

Sebelum mereka malah sudah berdiri PT Freeport Indonesia, perusahaan emas dan tembaga kelas dunia yang beroperasi di komplekstambang pegunungan Grasberg dan Ertsberg di Mimika, Timika, Papua.

Di sektor pertambangan lain juga ada raksasa Newmont. Lewat PT Newmont Nusa Tenggara, perusahaan tambang emas asal AS ini beroperasi di Lapangan Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.

Di bisnis jasa keuangan, beroperasi Citigroup lewat Citibank yang sudah cukup lama bermain di pasar Indonesia. Tahun lalu, Citibank masuk jajaran 10 bank dengan aset terbesar di Indonesia, serta menjadi bank asing teratas di Indonesia. Citibank juga memiliki jaringan di kota-kota besar di Indonesia.

Perebutan pengaruh dua negara raksasa (AS dan Cina) ini, yang paling kentara adalah ketika berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asean ke-19 di Nusa Dua Bali, 17-19 November tahun lalu. Yakni, ikutnya AS dan Cina dalam hajatan besar 11 negara anggota Asean.

Cina, misalnya. Negeri Tirai Bambu ini merangkul negara-negara anggota Asean untuk meresmikan Asean-Cina Centre (ACC). Untuk mendirikan ACC, Cina rela menjadi penyumbang terbesar hingga 90%, sementara sisanya dibagi rata 11 negara anggota Asean. Tujuan utama ACC adalah memperkuat perdagangan dua arah antara negara-negara Asean dan Cina.

Bila Cina merangkul Asean lewat jalinan ACC, AS datang dengan konsep Trans Pacifik Partnership (TPP) yang digagasnya. Inti dari konsep tersebut adalah menjadikan pasar Asean sebagai pasar baru bagi tujuan ekspor AS. Posisi Asean memang sangat penting bagi ekonomi dunia. Dengan jumlah penduduk 558 juta jiwa dan sumber daya alam yang sangat berlimpah, Asean bakal menjadi penentu bagi masa depan Asia Timur dalam menggeser hegemoni ekonomi dunia. Asean juga akan menjadi pendukung ekonomi negara-negara industri Asia, seperti Cina, India, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru.

Amerika Serikat juga memiliki antara 8.000 sampai dengan 12.000 kepala nuklir strategi di beberapa lapangan. Oleh karena itu, sebenarnya prinsip yang diterapkan Amerika Serikat sekarang ini adalah kesiapan Amerika Serikat menghadapi perang sama baiknya dengan memenangkan perang (USA have a strategic “preventing the war as equal as winning the war”)

SWOT CINA

Memang, sejak perjanjian Perdagangan Bebas Cina-Asean (Asean-Cina Free Trade Agreement/ACFTA) diberlakukan 1 Januari 2010, barang-barang Cina mulai dari peniti hingga mesin modal membanjiri pasar Indonesia. Maklum, dengan bea masuk 0%, barang-barang China leluasa masuk ke Indonesia. Sebelumnya, barang Cina sudah membanjiri pasar Indonesia dengan harga yang sangat murah.

ACFTA memang membuat Cina makin bergairah menyerbu pasar Indonesia. Bahkan, beberapa perusahaan raksasa Cina terus hadir dalam berbagai pameran teknologi dan produk Cina. Hingga saat ini lebih 1.000 perusahaan Cina beroperasi di Indonesia, baik bidang infrastruktur, kelistrikan, energi, komunikasi, agrikultural, manufaktur dan sektor lainnya.

Cina juga dikabarkan sedang mengincar pertambangan di pegunungan Grasberg dan Ertsberg di Mimika, Timika, Papua, yang belum semuanya dieksploitasi oleh PT Freeport Indonesia. Di pegunungan ini masih terkadung biji tembaga, uranium, dan emas. Inilah salah satu alasan yang dikabarkan kenapa AS mendirikan pangkalan militer di Darwin.

Dalam beberapa tahun terakhir, boleh dibilang Cina merupakan investor paling agresif di sektor migas Indonesia. Pada awal 2002, CNOOC mengakuisi seluruh operasi migas Repsol-YPF senilai US$ 585 juta, sehingga menjadikannya produsen minyak lepas pantai terbesar di Indonesia dengan output 125.000 barel per hari.

Selanjutnya September 2002, CNOOC juga menandatangani kontrak US$ 500 juta untuk membeli 2,6 juta ton per tahun gas alam dari Tangguh, Papua. Pada saat hampir bersamaan dengan akuisisi CNOOC atas Repsol-FPF, PetroCina juga berhasil membeli seluruh aset Devon Energy (AS) di Indonesia seharga US$ 262 juta.

Beberapa saat kemudian, PetroChina sudah mendapatkan kontrak kerja sama migas dengan Pertamina di Sukowati dan Tuban, lapangan migas yang bertetangga dengan Blok Cepu.

Perkembangan strategis RRC ditentukan oleh persaingan mereka khususnya dengan Amerika Serikat, baik secara militer terutama secara ekonomi. Berdasarkan informasi dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat, RRC telah mengembangkan 130 senjata misil nuklir dari rencana membuat 190 buah. Disamping itu, RRC juga terus memodernisasi militer mereka dengan memperkuat atau memperbanyak anti-satellite,stealth, dan pesawat tempur.

Sementara itu, berdasarkan data dari Stockholm International Peace Research Institute menyatakan bahwa anggaran pertahanan RRC mencapai lebih dari US $ 100 trilyun dan terus menambah budget pertahanan mencapai US $ 120 trilyun.

Kekuatan lainnya dari RRC adalah soliditas dan nasionalisme warga RRC yang sangat kuat, hal ini dengan bukti warga RRC di Amerika Serikat yang tergabung dalam California Chinese American Federation dipimpin Cai Chenghua menyatakan mendukung Pulau Diaoyu sebagai wilayah RRC dalam konflik mereka dengan Jepang. Sementara itu, pada 9 Agustus 2012 di Madrid, Spanyol, Masyarakat Cina Dunia dari 45 negara antara lain RRC, Hongkong, Macau dan Taiwan mengadakan pertemuan untuk mempromosikan reunifikasi damai Tiongkok, bersatunya etnis Cina di luar negeri, melakukan gerakan menentang separatisme dan memelihara keutuhan wilayah.

Dalam bidang ekonomi, RRC dengan gross domestic product (GDP) mencapai US $ 5,2 trilyun adalah sebuah kekuatan tersendiri, walaupun juga harus diakui bahwa saat ini ekonomi RRC dalam tiga tahun terakhir terus melambat di saat investasi dan permintaan di pasar ekspor utama mereka yaitu Eropa dan AS menurun. Pada Maret 2012, Beijing telah menurunkan target pertumbuhan tahun 2012 menjadi 7,5%, sehingga menjadi kekhawatiran bagi negara Asia lainnya dan pemulihan global.

Yang membuat ekonomi RRC cukup kuat sampai sekarang ini antara lain, barometer kekuatan RRC berada di daerah penyangga seperti Xinjiang, Tibet, Mongolia Dalam dan Mancuria. Xinjiang akan menjadi pusat pertumbuhan baru RRC saat pipanisasi minyak dan gas dari Myanmar selesai tahun 2013. Fakta lainnya adalah 60% investasi di RRC adalah dari Overseases Chinese, disampaikan oleh Fan Runsong salah satu Direktur OCAO. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika proyeksi-proyeksi indikator ekonomi makro tampaknya mengarah ke posisi RRC nomor 1 tahun 2025.

Kepala Overseas Chinese Affairs Office China, Li Haifeng menyatakan bahwa setiap etnis China di luar negeri telah menjadi utusan diplomasi China dalam banyak hal, membaur dalam arus induk masyarakat menyebarkan situasi dan perkembangan China. Diplomasi publik berperan dalam membangun citra nasional China untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi China. Overseas Chinese tersebar di seluruh dunia, dengan memahami kebudayaan China, memahami kondisi nasional China, dan berbaur ke dalam masyarakat setempat, menjadi jembatan penting dan jaringan komunikasi kuat dalam membangun diplomasi publik. Etnis China di luar negeri telah menjadi utusan untuk menyebarkan budaya China, meneruskan warisan bangsa China. Overseas Chinese Affairs Office memperluas pendidikan bahasa China, mempromosikan pertukaran budaya antara China dengan negara lain, mendukung pengembangan media China untuk mempromosikan kerjasama industri budaya.

Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa perusahaan RRC telah melakukan sejumlah merger dan akuisisi di luar negeri pada saat ekonomi negara maju sedang lesu. Para pengamat ekonomi RRC menyatakan, perusahaan RRC berangsur bertumbuh melalui akuisisi, hal tersebut akan mendatangkan manfaat baik bagi RRC maupun bagi dunia. Perusahaan RRC tahun 2012 ini melakukan beberapa merger dan akuisisi di pasar di luar negeri. Raksasa minyak RRC, CNOOC (China National Offshore Oil Corp) pertengahan Juli 2012 mengumumkan akan menyediakan dana sebesar USD 15,1 miliar untuk membeli perusahan minyak Kanada, Nexen. Apabila berhasil, maka akan menjadi akuisisi dengan nilai terbesar yang dilakukan perusahaan RRC di luar negeri. Selain itu, Sany Group dari RRC juga telah menjadi salah satu produsen permesinan terbesar di dunia setelah mengakuisisi sebuah perusahaan bersejarah Jerman. Menteri Perdagangan RRC, Chen Deming menyatakan, investasi langsung RRC di luar negeri di luar sektor finansial pada semester pertama 2012 adalah sebesar USD 35,4 miliar, meningkat 48,2 persen dibanding tahun 2011. Menurut Chen, perusahaan RRC memperoleh peluang emas untuk melakukan akuisisi di luar negeri pasca krisis moneter global karena setiap negara berusaha menyerap modal asing. Akan tetapi, seiring dengan makin besarnya akuisisi yang dilakukan perusahaan RRC di luar negeri, sejumlah negara menunjukkan kecemasan terhadap upaya akuisisi tersebut. Kekhawatiran itu terutama berfokus pada perusahaan yang berlatar belakang BUMN RRC.

Hal lainnya adalah kekuatan posisi AS secara global dalam perspektif geopolitik dan geoekonomi sudah mulai berkurang. Ladang minyak yang dulu 100% suplai ke AS sudah sedikit demi sedikit diambil alih oleh Cina. Cina memiliki aset US $ 2,3 trilyun dan AS mempunyai banyak obligasi terhadap RRC. Posisi geostrategi AS merupakan keunggulan untuk memblokade jalur suplai minyak mulai dari Selat Hormuz sampai Selat Malaka, kalau kedua selat ini  ditutup oleh AS, maka ekonomi RRC akan “kebakaran”. Oleh karena itu, AS menempatkan kapal patrolinya di wilayah Pasifik dipindah ke dekat Singapura, termasuk marinir yang ada di Darwin, Philipina dan Vietnam. Disamping itu, perusahaan minyak Uncoal tidak boleh dibeli RRC dengan penawaran tertinggi senilai US $ 18,2 M, karena hal ini bagian dari geostrategi bagi Amerika Serikat juga RRC.

Surat kabar Wen Wei Po Hongkong tanggal 29 Juli 2012, pipa saluran anjungan minyak “Liwan 3-1” milik RRT, sebagai anjungan pengeboran laut yang terbesar di Asia, dikirim ke Laut Cina Selatan untuk memasuki proses perakitan. Pipa saluran anjungan minyak itu merupakan yang terbesar di Asia, dengan berat 32 ribu ton dan tinggi 196 meter. Komponen-komponen anjungan minyak “Liwan 3-1” sedang dirakit, dan diperkirakan resmi beroperasi pada September 2013.

Saat ini RRC dalam proses penyelesaian rel kereta dari Kun Ming hingga Singapura, yang akan terbagi dalam 3 jalur utama. Jalur Timur yaitu Singapura – Kuala Lumpur – Bangkok – Phnom Penh – Ho Chi Minh City – Hanoi – Kun Ming. Jalur Tengah yaitu Singapura – Kuala Lumpur – Bangkok – Vientiane – Shang Yong – Xiang Yun – Kun Ming. Jalur Barat yaitu Singapura – Kuala Lumpur – Bangkok – Yang Guang – Rui Li – Kun Ming. Pembangunan jalur kereta tersebut merupakan bagian dari proyek Trans-Asian Railway (TAR) Network yang dijalankan oleh Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sejak 2001, telah direncanakan 4 koridor jalur kereta tersebut yaitu Koridor Utara (Jerman – Rusia – RRC – Korea), Koridor Selatan (Eropa – India – Thailand), Jalur Asia Tenggara (Kun Ming – Singapura), dan Koridor Utara-Selatan (Eropa Utara – Teluk Persia).

Meskipun demikian, banyak kalangan yang memprediksikan bahwa keberlanjutan ekonomi masa depan RRC juga tergantung kepada berlanjut tidaknya rencana strategis Amerika Serikat terhadap perkembangan situasi global.

Disamping mempunyai kekuatan, RRC juga memiliki sejumlah kelemahan antara lain, banyak pemimpin RRC sekarang ini yang bersikap lebih pragmatis (China’s more pragmatic leaders), masih kuatnya kelompok nasionalis garis keras dan internasionalis pragmatis dalam tubuh kepemimpinan Partai Komunis Cina (Hardline nationalists and pragmatic internationalists within the Chinese Communist Party leadership), perkembangan politik, sosial, ekonomi dan budaya di RRC yang belum stabil serta adanya sejumlah isu sensitif yang terkait dengan RRC seperti isu terkait Taiwan, konflik Semenanjung Korea, konflik dengan sejumlah negara di Laut Cina Selatan (konflik wilayah antara RRC dengan Philipina terletak di perairan Half Moon Shoal dekat Kepulauan Spratly yang berjarak sekitar 110 Km dari Pulau Palawan, Philipina. Sedangkan di Laut Cina Timur, terjadi sengketa antara Jepang, Vietnam dan RRC), tuntutan reformasi hukum di Tibet, masalah Falun Gong, tuduhan pelanggaran HAM di Xinjiang dll.

Menurut surat kabar Renmin Ribao, Kementerian Luar Negeri AS mempublikasikan Laporan Tahunan Tentang Kebebasan Beragama Internasional (Annual Report on International Religious Freedom), yang mengomentari kebebasan beragama di hampir 200 negara termasuk RRC sepanjang tahun 2011. Laporan tersebut memasukkan RRC, Myanmar, Iran, Korea Utara, Arab Saudi, Sudan, dan Uzbekistan sebagai negara yang mendapat perhatian khusus. Dalam laporan itu disebutkan kebebasan beragama di RRC “memburuk drastis” sepanjang tahun 2011. Kesimpulan AS tersebut terutama berlandaskan laporan media yang bersikap prasangka atau laporan yang bertentangan dengan fakta yang diberikan oleh sejumlah organisasi anti-Cina. Sejumlah pengamat di RRC menyatakan laporan AS tersebut memfitnah kebijakan dan langkah adil yang diambil pemerintah pusat RRT untuk menjamin stabilitas sosial dan keutuhan wilayah di Tibet, Xinjiang, dan daerah lainnya dengan memberikan kebebasan beragama, bahkan AS menyebut pembakaran diri seorang warga Tibet sebagai akibat “pembatasan aktivitas religius” yang diberlakukan oleh pemerintah RRC.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri RRC, Hong Lei menanggapi “Laporan Kebebasan Beragama Internasional” yang dikeluarkan oleh AS, dan mengatakan bahwa rakyat RRC mempunyai hak bicara tentang bagaimana keadaan agama di RRC, dan AS tidak perlu mencari-cari kesalahan orang lain. Hong Lei menambahkan, pemerintah RRC menjamin kebebasan beragama bagi seluruh penduduknya, sekaligus menyerukan agar AS meninggalkan prasangka, menghormati fakta, memandang kebijakan agama dan keadaan kebebasan beragama di RRC secara objektif dan adil. RRC juga mengimbau AS untuk tidak ikut campur tangan dalam urusan dalam negeri RRC dan tidak melakukan hal yang akan merugikan hubungan kedua negara.

Terkait dengan konflik Pulau Diayao atau Senkaku antara Jepang dengan Cina, Pada 15 Juli 2012, Jepang memanggil pulang Dubesnya untuk RRC Uichiro Niwa terkait sengketa kedaulatan wilayah (Pulau Diaoyu atau Pulau Senkaku). Hal ini disebabkan karena Dubes menentang pemerintah Tokyo yang berencana membeli Pulau Diaoyu. Sebelumnya, pada 12 Juli 2012 kapal patroli RRC “Yuzheng 35001” melakukan patroli dekat wilayah sengketa yang diprotes Jepang.

RRC juga memiliki sejumlah ancaman yang bersifat strategis ke depan seperti, belum stabilnya perekonomian terutama di Provinsi Hubei, sehingga perlu langkah penstabilan dengan cara memperbesar kebutuhan dalam negeri, mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan mempercepat koordinasi struktural. Kemudian pada 9 Agustus 2012, dalam pertemuan dengan para perwira menengah Tentara Pembebasan Rakyat Cina (PLA), Presiden RRC, Hu Jintao menyatakan, di dalam negeri tantangan yang dihadapi RRC adalah pembangunan yang tidak merata, kurangnya koordinasi dan banyaknya masalah yang tidak dapat diungkap.

Belum lama ini, RRC resmi mendirikan kota Sansha sebagai langkah pelaksanaan kedaulatan di Laut Cina Selatan demi menjaga keutuhan wilayah. Namun, tindakan tersebut melahirkan sejumlah tudingan dari AS. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS secara implisit menuduh RRC “mengambil aksi sepihak”, dan menyebut “perbuatan itu sangat mencemaskan jika dilanjutkan”. Senator AS, John McCain mencela pembentukan Zona Garisun di kota Sansha, dan menyebutnya sebagai “provokasi yang tidak diperlukan”, serta tidak sesuai dengan kewajiban yang diemban oleh negara besar. Sejumlah analis RRC mengatakan, tuduhan AS terhadap RRC tersebut tidak beralasan. Pembentukan kota Sansha adalah kebijakan intern pemerintah RRC dan merupakan tindakan dalam batas kedaulatan RRC, sehingga AS tidak punya hak untuk mengkritik. AS pernah berulang kali menyatakan tidak akan mengambil sikap dalam masalah sengketa kedaulatan Laut Cina Selatan yang kontrovesial, dengan tidak memihak negara mana pun. Akan tetapi, AS terus mengkritik pembentukan kota Sansha, sehingga terlihat sekali AS berlaku untuk kepentingannya sendiri.

Tidak hanya Amerika Serikat yang merasa gundah dengan kebangkitan militer RRC, Jepang juga mengkhawatirkan semakin menguatnya militer negeri Tirai Bambu tersebut. Dalam Buku Putih Jepang mengungkapkan adanya kekhawatiran Jepang terhadap bangkitnya peranan militer RRC dalam kebijakan luar negerinya. Menurut Jepang kebijakan tersebut dapat menimbulkan resiko yang cukup membahayakan dan Jepang pun memandang hubungan bilateralnya dengan RRC semakin rumit.  Buku Putih Pertahanan Jepang juga menyebutkan bahwa alinasi dengan AS adalah hal yang cukup baik untuk dilakukan. Kehadiran pasukan militer AS di Pasifik dinilai Jepang sangat berguna sebagai strategi penangkalan terhadap ancaman regional dan mampu menjaga keamanan. Buku Putih Jepang juga menyinggung Korea Utara yang dipimpin Kim Jong Un dengan menyatakan bahwa kerahasiaan strategi militer Korut masih menjadi ancama  keamanan terbesar bagi Jepang.

Pemerintah China mengeluarkan pernyataan keras terkait buku putih yang diterbitkan Jepang. Dalam bukunya Jepang memandang peningkatan kekuatan militer China sebagai ancaman. Menurut China, Jepang telah mempersulit hubungan bilateral dengan China dan meningkatkan ketegangan di wilayah Asia Timur. Bersamaan dengan itu, Pemerintah Korea Selatan (Korsel) juga mengeluarkan teguran secara resmi kepada Jepang yang disampaikan Pejabat Kementrian Pertahanan Korsel Kim Min Seok yang menyatakan bahwa Jepang akan mempertegas klaimnya terhadap Pulau Takashima. Selama ini Korsel juga mengklaim pulau tersebut dan menyebut dengan nama Pulau Dokdo. Kim Min Seok menyatakan bahwa Pemerintah Jepang seharusnya sadar bahwa bila mereka tidak menghentikan klaimnya terhadap Dokdo, maka Korsel tidak dapat menjamin kelanjutan kerjasama pertahanan dengan Jepang.

Sedangkan sejumlah peluang yang dimiliki RRC antara lain, Pada 9 Agustus 2012, dalam pertemuan dengan para perwira menengah Tentara Pembebasan Rakyat Cina (PLA), Presiden RRC, Hu Jintao menyatakan, peluang di dalam negeri yang dapat diambil adalah potensi pasar dan tenaga kerja yang besar. Sedangkan peluang dari luar negeri adalah kondisi internasional yang relatif damai, kerjasama antar negara masih berlangsung dll. Sebelumnya, pada 12 Juli 2012 di Nanning, Quangxi, RRC, berlangsung Forum Kerjasama Ekonomi “Pan-Teluk Beibu” ke-7. Dalam kesempatan tersebut, Wakil Menteri Industri dan Perdagangan Vietnam, Nguyen Thanh Bien dan Wakil Menteri Perdagangan dan Perindustrian Philipina, Cristino Panlilio menyatakan, Vietnam dan China tetap menjalin kerjasama ekonomi dan perdagangan dengan RRC, walaupun kedua negara sedang bersitegang dengan RRC terkait dengan Laut Cina Selatan.

Sejumlah tokoh politik Australia sebelumnya sempat mengeluarkan komentar yang tidak menguntungkan bagi investasi RRC di Australia. Selain itu, Australia juga tidak menyertakan perusahaan telekomunikasi RRC Huawei untuk memperebutkan tender kontrak broadband, dikarenakan kekhawatiran keamanan nasional tentang infrastruktur penting tersebut, serta beberapa tawaran pengambilalihan pertambangan oleh perusahaan RRC telah gagal dengan alasan serupa. Berkenaan dengan hal tersebut, Menteri Perdagangan Australia, Craig Emerson menyatakan, pemerintah Australia selalu menyambut investasi asing dan tidak bersikap membeda-bedakan termasuk dari RRC. Emerson mengatakan, peraturan Australia terhadap investasi asing adalah non-diskriminatif. Standar untuk mengevaluasi investasi RRC juga digunakan dalam mengevaluasi investasi dari negara lain. Dalam enam tahun terakhir, investasi langsung dari RRC di Australia telah naik 20 kali lipat. Menurut statistik pihak Australia, jumlah total investasi RRC di Australia tahun 2011 mencapai USD 19 miliar. Emerson menyatakan, pemerintah Australia berupaya meningkatkan kontak dengan investor RRC, bahkan Kantor Perwakilan Perdagangan Australia di RRC selalu siap menjawab pertanyaan investor RRC dengan menggunakan bahasa Mandarin.

Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia menandatangani kerja sama kesepakatan bersama dengan Pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC). Kedua belah pihak menyepakati kerjasama investasi dan budidaya, yang diharapkan dapat terealisasi September tahun ini. Dirjen Perikanan Tangkap KKP Heriyanto Marwoto, menyatakan bahwa untuk perundingan dengan Cina sebenarnya untuk menghidupkan kembali kerjasama yang sudah berakhir pada tahun 2007. Kerjasama bukan hanya terkait masalah survei namun kerjasama dalam bidang investasi, bukan hanya di perikanan tangkap tapi pengolahan, investasi di bidang yang lain termasuk budidaya. Kerjasama kelautan tersebut senilai USD 1,4 Juta yang digunakan untuk memantau dan survei kondisi laut di Indonesia. Ditegaskan pula bahwa hal tersebut tidak ada kaitannya dengan barter  ikan dengan komoditas yang lain. Seperti diketahui, Cina punya keuntungan dari likuiditas keuangan, lalu dalam teknologi perikanan lebih canggih.  Saat ini sudah ada 24 perusahaan swasta di Cina yang melakukan investasi di Indonesia. Jumlah kapal sekarang ada 224 yang ada di Indonesia, dan hal tersebut juga yang menjadi perhatian khusus untuk  kesepakatan kali ini. Pada bulan September 2012 akhir draft finish MoU akan diselesaikan bersama dengan penyelenggaraan. Dalam pembahasan tersebut juga akan dibahas pembangunan stasiun, terutama di laut Cina selatan. Kesepakatan juga diharapkan dapat mencegah dan menanggulangi kegiatan ilegal.

Duta Besar RI untuk Cina merangkap Mongolia, Imron Cotan, saat  ramah tamah Idul Fitri 1433 H dengan para wakil negara-negara ASEAN dan OKI di Beijing, mengungkapkan bahwa ada dua perusahaan tekstil Cina berencana merelokasi pabriknya ke Indonesia. Iklim investasi Indonesia yang kondusif dengan pertumbuhan ekonomi yang baik, menjadi alasan bagi mereka untuk merelokasi pabriknya ke Indonesia. Minat para pengusaha tersebut disampaikan pada forum pertemuan rutin Aigo Entrepreneurs Alliance (AEA) di Shanghai. Dalam forum yang dihadiri 1.000 pengusaha berpengaruh China itu, Imron mengatakan KBRI Beijing dan seluruh perwakilan Indonesia di Cina siap membantu dan memfasilitasi calon investor Cina yang akan menanamkan modalnya di Indonesia. Menurut Imron, sebagai tindak lanjut dari forum ini, delegasi pengusaha AEA akan kembali berkunjung ke Indonesia pada pertengahan September 2012 guna merealisasikan investasi di Indonesia. Selain itu juga dijelaskan bahwa peningkatan status “investment grade” Indonesia yang diberikan oleh tiga “international rating agencies” yaitu the Fitch, the Moody’s, dan Japan International Rating Agency semakin memperkuat posisi Indonesia sebagai negara tujuan investasi yang menjanjikan.

Dalam konferensi pers rencana “9th Cina-ASEAN Expo (CAEXPO) 2012”, Wakil Menteri Perdagangan RRC, Gao Hucheng menyampaikan RRC dan negara-negara ASEAN sudah mengimplementasikan penurunan pajak ekspor impor secara bertahap, dan saat ini lebih dari 90% produk telah bebas pajak. Proses tersebut telah dimulai sejak dicanangkannya ASEAN–Cina Free Trade Area (ACFTA) pada 1 Oktober 2010, yang mengatur pengurangan pajak pada hampir semua produk ekspor impor antara RRC dan ASEAN. Menurut Gao, targetnya adalah pada tahun 2015, realisasi perdagangan bebas pajak dengan 10 negara ASEAN dapat terwujud sepenuhnya. Gao juga menjelaskan bahwa hingga tengah tahun 2012, kerjasama investasi RRC – ASEAN mencapai USD 93 miliar, dan terus meningkat. Menurut Gao, ASEAN saat ini telah menjadi tujuan penting investasi para pengusaha RRC.

Namun setidaknya ada dua penulis yang tidak terlalu optimis memandang permasalahan RRC ke depan yaitu Gordon Chang dalam bukunya “The Coming Collapse of China” menyatakan, Cina telah sampai pada titik klimaksnya, jadi tinggal menunggu hard landing jika kondisi dalam negeri tidak segera diatasi.

Sementara itu, Daron Acemoglu dan James Robinson (Profesor bidang ekonomi di MT, peraih Nobel) dalam bukunya “Why Nations Fail” meramalkan Cina akan fail karena kegagalan adaptasi institusi politik dan ekonomi yang inklusif dan non ekstraktif. Cina akan gagal karena monopoli (elit) negara terlalu besar.Beijing harus melancarkan financial warfare untuk menggoyahkan dominasi AS.

BAGAIMANA SIKAP INDONESIA ?

Sebagai sebuah negara yang memiliki jumlah penduduk paling banyak di kawasan ASEAN yang nota bene dalam kaitan ekonomi berarti sebagai negara tujuan pemasaran yang baik, serta dengan kekayaan alam (natural resources) yang cukup banyak dan beragam, maka Indonesia jelas memiliki peranan penting dalam kancah pergaulan internasional, sehingga otomatis posisi strategis Indonesia juga mendapatkan pencermatan dan perhatian tersendiri baik dari Amerika Serikat maupun RRC.

Untuk mengantisipasi skenario ancaman utama global ini, ada tiga strategi integratif yang harus dirumuskan. Pertama, untuk menghadapi ekspansi gelar militer ofensif RRC, terutama di Laut Cina Selatan, Indonesia harus memperkuat diplomasi pertahanan dengan mengoptimalkan kerangka Kemitraan Strategis Indonesia-RRC yang telah disepekati tahun 2007. Kedua, untuk mengantisipasi strategi pembendungan AS-Jepang terhadap ekspansi militer RRC, Indonesia perlu mengedepankan strategi perimbangan kepentingan (balance of interest) terutama untuk mencari titik akomodasi bagi kepentingan keamanan energi tiga negara tersebut di Laut Cina Selatan. Ketiga, Indonesia perlu segera merumuskan dan mengembangkan kekuatan maritim yang bisa digelar kekuatan penangkal yang tangguh untuk mengantisipasi eskalasi gelar militer ofensif di Laut Cina Selatan.

Sementara itu, dosen pasca sarjana Universitas Indonesia, Andi Widjajanto menyatakan, strategi Indonesia untuk mengantisipasi RRC pada dasarnya diarahkan untuk pertama, mencegah munculnya RRC sebagai satu-satunya kekuatan politik-militer-ekonomi di Asia Pasifik. Kedua, mencegah muncul Concert of Power antara RRC dengan kekuatan utama lain di Asia Pasifik yang tidak melibatkan Indonesia.

 

Sumber: 

1. Berita dari surat kabar Qiandao Ribao (Harian Nusantara) edisi 15 Agustus 2012.

2. Berita dari Guoji Ribao (International Daily News) tanggal 31 Juli 2012.

3. Berita dari surat kabar Wen Wei Po Hong Kong tanggal 31 Juli 2012.

4. Berita dari surat kabar Guoji Ribao (International Daily News) 15 Agustus 2012.

5. Berita dari surat kabar Renmin Ribao (People’s Daily Overseas Edition) edisi  1 Agustus 2012.

6. Berita dari surat kabar Wen Wei Po Hong Kong edisi 2 Agustus 2012

7. Berita dari Yindunixiya Shangbao (Indonesia Shangbao) tanggal 12 dan 15 Juli 2012.

8. Berita dari Yindunixiya Shangbao (Indonesia Shangbao) tanggal 9 Agustus 2012.

9. Berita dari surat kabar Renmin Ribao (People’s Daily Overseas Edition) edisi  1 Agustus 2012.

10.Berita dari Yindunixiya Shangbao (Indonesia Shangbao) tanggal 1 Agustus 2012

11.Berita dari Yindunixiya Shangbao (Indonesia Shangbao) tanggal 2 Agustus 2012

12.Berita dari surat kabar Wen Wei Po Hong Kong edisi 2 Agustus 2012.

13.Berita dari Yinni Xingzhou Ribao (Harian Indonesia) edisi 13 Agustus 2012.

14.Berita dari surat kabar Yinni Xingzhou Ribao (Harian Indonesia) edisi 23 Agustus 2012.

15.Berita dari Yindunixiya Shangbao (Indonesia Shangbao) tanggal 3 Agustus 2012.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com