Pandemi Covid-19 yang merebak di pelbagai belahan dunia adalah bendera palsu pada skala global. Bukti menunjukkan bahwa tingkat kematiannya mirip dengan flu – sekitar 0,1% – sehingga guncangan kuncian (lockdown) jelas tidak dapat dibenarkan. Bukti-bukti yang tidak dapat dipercaya telah dibungkus dengan kebijakan yang direncanakan untuk mengguncang dan memiskinkan dunia dengan penguncian yang tidak dapat dibenarkan ini.
Jadi siapa yang diuntungkan? Jika Cina disalahkan atas bencana buatan, maka kompleks industri militer akan banyak diuntungkan. Rencana perang melawan Cina akan ditingkatkan atas nama bendera palsu Covid-19.
Operasi Bendara Palsu dalam selubung Covid-19 ini akan berdampak buruk bagi sebagian besar warga bangsa di dunia. Ledakan ekonomi yang telah direncanakan sebelumnya akan memiskinkan mayoritas luas secara global. Sebaliknya, perusahaan atau korporasi besar, kelompok monopoli besar akan mendapatkan keuntungan dari semua itu.
Bagaimana tidak, mereka akan dengan mudah membeli aset yang dinilai rendah akibat adanya banyak bisnis yang mengalami pailit atau kebangkrutan. Sehingga Covid-19 dijadikan dalih yang akan selalu dikambinghitamkan atas kebangkrutan dan kemiskinan yang meluas.
Hampir di semua sektor kebangkrutan dan kemiskinan itu terjadi, termasuk sektor kesehatan juga akan menderita. Jika rumah sakit terpaksa bangkrut karena sebagian besar kosong, pihak swasta akan bergerak dengan segala cara untuk melakukan kontrol, seperti memprivatisasi layanan kesehatan lebih jauh, sehingga membuat layanan kesehatan yang dapat diakses menjadi semakin tidak dapat diakses oleh massa.
Kelas yang berkuasa, Monopoli Besar, Uang Besar akan mendapat keuntungan dari kehancuran ekonomi yang massif di seluruh dunia. Mengapa? Karena semua aset akan bernilai murah sehingga dibeli dalam volume berapapun oleh korporasi atau pemilik modal besar.
Guncangan itu akan mematikan mayoritas. Sebaliknya, dana talangan akan lebih banyak dan terus mengalir ke mereka yang pada akhirnya dapat menyebabkan kelesuan ekonomi dan perilaku koruptif.
Publik harus cermat dan penuh kehati-hatian mengidentifikasi persebaran Covid-19 ini karena secara langsung juga berdampak pada lemahnya kelompok ekonomi neoliberal. Namun mereka cerdas memanfaatkan momentum. Salah satu caranya adalah dengan meminta dana talangan dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Word Bank (WB). Selain itu, mereka piawai melakukan kendali atas lembaga internasional sekelas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan CDC.
Semua ini harus dibongkar. Namun, saat ini justru kenyataan sebaliknya yang sedang terjadi. Guncangan krisis yang direkayasa ini telah membuat warga dunia bingung, kelimpungan, gagap dan putus asa.
Sebagaimana dinyatakan profesor Michel Chossudovsky, Covid-19 memberikan perlindungan yang ideal untuk menata ulang ekonomi global melalui krisis utang global dan privatisasi negara-negara di dunia. Krisis saat ini tentunya akan berdampak memiskinkan ratusan juta pekerja dan meningkatkan hutang di banyak negara di dunia. Hal bisa berpotensi menghancurkan perekonomian nasional di banyak negara sehingga paket bailout dari lembaga keuangan global dapat membebani negara-negara tersebut dengan hutang yang terbukti hampir mustahil untuk dibayar kembali.
Pinjaman berdenominasi dolar akan membantu mengamankan hegemoni global dolar, yang semakin rapuh dalam beberapa tahun terakhir. Pada saat yang sama, dengan pengangguran massal dan upah pekerja berkurang, rakyat jelata di negara-negara kaya dan miskin akhirnya akan semakin terperojok ke garis kemiskinan. Hak-hak pekerja dan pekerjaan yang dibayar dengan baik akan menjadi prioritas, sementara kaum buruh hanya menunggu yang setiap saat bisa mengambil pekerjaan apa pun yang tersedia.
Di India, ketika kuncian (lockdown) diberlakukan, rantai pasokan mengalami keretakan dan petani sudah kesulitan menjual produk mereka. Di daerah pedesaan, jutaan pekerja migran telah kembali ke pedesaan. Pengamat pedesaan P Sainath melukiskan gambaran suram tentang dampak kuncian di negaranya, India. Dia mengungkap keadaan menyedihkan para pekerja migran, kekurangan uang tunai untuk membeli makanan dan potensi kekurangan makanan karena para petani tidak dapat menyelesaikan panen mereka.
Menurutnya, merujuk pernyataan Dr. Sundararaman, mantan direktur eksekutif Pusat Sumber Daya Sistem Kesehatan Nasional, angka kematian akibat penyakit yang telah lama menyiksa sebagian besar orang India yang miskin bisa melebihi dari yang disebabkan oleh Covid-19. Krisis yang ada di India, sedikit banyak, juga terjadi di banyak negara di dunia, terutama negara-negara berkembang.
Maka, sudah sepatutnya bagi setiap warga bangsa di dunia untuk berpikir kritis dengan menghubungkan satu variabel dengan variabel yang lain terkait narasi dan data terkait Covid-19 dan menilai apakah penguncian (lockdown) dan dampak buruknya sejalan dengan risiko yang yang harus ditanggung. Karena, lima tahun dari sekarang, mengingat apa yang dipertaruhkan dan kesulitan besar yang sedang dialami, maka akan terlambat untuk melihat ke belakang dan mengatakan itu semua didasarkan pada data yang cacat dan respons yang tidak tepat.
Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute