Membaca Agenda di Balik Isu Covid-19

Bagikan artikel ini

Kontemplasi Kecil Geopolitik

Beberapa waktu ini —di tengah pandemi menerkam bumi— saya sengaja agak menjauh dari “keramaian,” mencoba melihat secara jernih atas apa yang sejatinya terjadi di balik pandemi Covid-19. Karena dalam konstelasi geopolitik, apa yang terjadi di atas permukaan, bukanlah apa yang sesungguhnya berlangsung. Penjauhan diri dengan jarak sosial ini, semacam kontemplasi kecil-kecilan berbasis geopolitik. Inilah uraian singkat lagi sederhana.

Jika dicermati secara lebih dalam, seruan lockdown sebagai satu-satunya clue (petunjuk) dari WHO ke berbagai negara guna memutus matarantai pandemi, bukanlah sekedar clue semata, kuat diduga ada agenda penggiringan opini publik agar masuk pada kondisi tertentu —semacam hidden agenda— yang diharap oleh para aktor di balik WHO. Entah siapa mereka.

Saya coba menawarkan asumsi, bahwa isu Covid-19 bukanlah masalah antara Amerika (AS) atau Cina yang kini asyik perang hipotesis. Saling tuduh, menggiring opini, saling tebar narasi, dan seterusnya. Dalam asumsi ini, menurut hemat penulis, keduanya justru merupakan korban dari sebuah hidden agenda yang tengah dijalankan oleh invisible hands dengan menumpang kewenangan WHO.

Adapun pointers narasi daripada hidden agenda para aktor di balik WHO diprakirakan sebagai berikut:

Pertama, menyandera setiap negara bahwa pandemi tidak sekedar persoalan kesehatan semata, tetapi juga sebuah konsensus politik, selain konsekuensi logis atas clue di atas berupa kelumpuhan ekonomi baik skala mikro maupun makro, termasuk penggerusan aspek religi, mengikis sosial budaya, mencabut local wisdom dan seterusnya di berbagai negara. Barangkali, inilah skenario “pemiskinan global” dan kekacauan/kepanikan massal yang diremot dari balik layar secara lembut, cerdas dan sistematis. Ibarat permainan biadab, drama pemiskinan dan kepanikan ini dimainkan melalui tata cara (seolah-olah) beradab. Kenapa demikian? Ya. Ketika tingkat kematian mirip dengan flu —baru sekitar 0,1%— maka pola lockdown seyogianya belum saatnya dan tidak dapat dibenarkan.

Kedua, ketika Donald Trump menyatakan akan menghentikan pendanaan terhadap WHO, hal itu bermakna –sejak dipimpin Trump– antara WHO dan AS tidak sekarib dulu lagi bahkan kemungkinan bercerai. Terdapat friksi tajam di lingkar kecil para elit kapitalis global. Ada benturan kepentingan. Dan friksi tersebut niscaya berdampak pada perubahan dan/atau pergeseran tatanan yang selama ini ada;

Ketiga, kenapa pandemi ini hampir bersamaan dengan isu anjlognya harga minyak hingga ke titik nadir? Ini merupakan kejadian kali pertama dalam sejarah manusia. Secara fisik, selain disebabkan produksi berlimpah sedang permintaan turun karena perekonomian melemah akibat lockdown, juga ada perang minyak (oil war) antara Saudi Arabia versus Rusia. Siapa diuntungkan? Sudah tentu si market leader, pembuat harga, penentu posisi pasar dan profit keuntungan, dan seterusnya karena selain ia punya kesempatan menimbun “barang”, juga bisa mengakuisisi dan/atau membeli saham-saham dengan harga murah bagi perusahan/korporasi yang kolaps akibat lockdown serta faktor harga minyak;

Keempat, ada perubahan kebiasaan dan tata cara di publik terutama budaya baru Work from Home (WFH) hampir di semua entitas baik formal maupun infomal, swasta dan institusi negara, atau kegiatan belajar mengajar di semua level pendidikan dan seterusnya. WFH tampil dan menjamin aktivitas terus berlangsung melalui layanan digital. Di sini, beberapa aplikasi menjadi booming, seperti Zoom Clouds Meeting asal Cina, contohnya, atau Google dari Amerika dan aplikasi lain. Mereka dapat durian jatuh. Saham beberapa aplikasi digital terutama zoom dan google terlihat meroket.

Geopolitik mengendus, bahwa perubahan ini selain memetik sisi geoekonomi terutama zoom clouds dan google, terbaca pula ada upaya penggiringan digitalisasi peradaban manusia akibat perubahan dinamika masyarakat secara radikal dari offline menjadi online. Sepertinya wajar dan logis, karena geliat ini selaras dengan trend di era revolusi industri 4.0;

Kelima, lagi-lagi terendus ada penggiringan opini agar publik menggunakan mata uang digital sebagai alat transaksi secara online. Ketika kepercayaan terhadap uang kertas mulai menurun sebab bisa diterjang inflasi akibat krisis ekonomi, tampaknya publik mulai menoleh alat transaksi digital karena selain rekening (e-wallet) sudah ada, juga mata uang digital pun telah tersedia. Tinggal digiring serta digebyarkan secara masive.

Saya teringat ujaran leluhur tempo doeloe, bahwa tatkala muncul pagebluk di suatu wilayah, itu isyarat akan datang sebuah perubahan. Entah kelak apa ujudnya.

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com