Covid-19 Indikasikan Potensi Perang biologis

Bagikan artikel ini

Pandemi global yang disebabkan oleh virus corona (COVID-19), telah mengguncang kepercayaan publik akan kemampuan pemerintah dalam merespon ancaman yang sejatinya telah lama disadari oleh komunitas ilmiah dan kesehatan. Dari Asia ke Eropa hingga Amerika Utara, otoritas kesehatan berjuang untuk mengatasinya, demikian tulis Ellen Laipson.

Ellen Laipson, mantan wakil ketua Dewan Intelijen Nasional AS, saat ini adalah direktur program keamanan internasional di Schar School of Policy and Government di Universitas George Mason, Virginia. Dia menulis editorial opini untuk Biro Sindikasi, sebuah layanan sindikasi artikel analisis dan opini secara eksklusif yang menyorot isu-isu Timur Tengah.

Namun demikian, hal Ini tidak juga akan luput dari perhatian negara-negara seperti Korea Utara dan berbagai macam kelompok non-negara. Mereka akan belajar bahwa tidak ada yang lebih merusak tatanan liberal modern yang dipimpin oleh Barat daripada agen biologis.

Setelah krisis berakhir, Barat dan negara-negara yang nge-blok Barat bukan hanya harus siap menghadapi persebaran pandemi berikutnya yang terjadi secara alami, namun juga harus lebih siap dengan segala kemungkinan agen-agen biologi yang direkayasa manusia yang dirancang untuk menyebabkan kerusakan dalam skala besar.

Di tengah krisis saat ini, tidak ada yang dapat mengklaim bahwa tidak ada peringatan, virus baru akan menyebar lebih cepat dan lebih jauh daripada krisis kesehatan masa lalu. Tetapi peringatan itu cenderung bersifat umum, tidak spesifik dalam hal karakteristik virus baru atau sumber aslinya.

Sebagai contoh, Pusat Pengendalian Penyakit AS memposting laporan tebal tentang pandemi dan kesiapsiagaan, serta membuat rekomendasi untuk lembaga kesehatan swasta dan publik di AS.

Dan komunitas intelijen AS sudah memperingatkan pada tahun 2017 dalam laporan Global Threats empat tahunnya bahwa “peningkatan perjalanan dan infrastruktur kesehatan yang buruk akan membuat penyakit menular lebih sulit untuk dikelola.

Tetap saja, pemerintah AS dan pemerintah-pemerintah lainnya di seluruh dunia gagal menjaga sistem dan institusi kesehatan publik mereka agar cukup kuat atas segala kemungkinan yang muncul. Para ahli yang mengamati keamanan kesehatan di seluruh dunia menyimpulkan pada 2019 bahwa sebagian besar negara tidak siap menghadapi wabah penyakit menular yang dahsyat.

Menurut sebuah studi yang ditulis bersama oleh Nuclear Threat Initiative dan Johns Hopkins University, sistem kesehatan di seluruh dunia lemah dan tidak ada negara yang sepenuhnya siap untuk merespon peristiwa biologis bencana global.

Kesehatan global adalah masalah yang terkait erat dengan ancaman keamanan nasional terhadap penggunaan biologi berbahaya oleh negara atau aktor-aktor non-negara.

Penyakit dapat ditemukan di laboratorium, dan patogen disimpan oleh kementerian pertahanan di beberapa negara, mungkin untuk tujuan defensif, untuk mempersiapkan penangkal jika pasukan bersenjata mereka diserang oleh senjata biologi dari musuh.

Tetapi krisis kesehatan coronavirus mengingatkan kita bahwa senjata biologi, tidak seperti senjata nuklir atau kimia, sangat sulit ditemukan dan dideteksi, belum lagi waktu yang cukup untuk mengatasinya.

Sementara satelit dapat mendeteksi fasilitas militer besar, dan layanan intelijen memantau kemampuan kimia negara dan aktor non-negara, biologi ada di mana-mana. Seorang aktor jahat dapat mempersenjatai patogen dengan cara yang sangat rendah teknologi.

Ingat bagaimana antraks mengakibatkan ketakutan pascaserangan 11 September. Selama berminggu-minggu, ketakutan tersebut mempengaruhi lalu lintas yang biasanya berjalan normal di ibukota AS.

Yang menarik adalah para sarjana yang bekerja pada sektor senjata biologi membuat perbedaan antara senjata-senjata biologi dan “senjata pemusnah massal” lainnya. Menurut Gregory Koblentz, penulis “Living Weapons: Biological Warfare and International Security,” senjata biologi tidak terlalu berguna di medan perang, namun bisa dikembangkan secara rahasia dan tidak benar-benar berfungsi sebagai penangkal tradisional dalam lanskap geopolitik besar.

Tetapi senjata-senjata biologi tersebut bisa menjelma menjadi alat intimidasi yang sangat efektif, atau berguna dalam peperangan asimetris, bahkan ketika pihak yang lebih kecil atau lebih lemah pun dapat menimbulkan kerusakan dan ketakutan pada musuh dengan kemampuan perang konvensional yang lebih besar.

Itulah sebabnya mengapa ketakutan akan senjata biologi dan ancaman penggunaannya semakin tajam sejak serangan 11 September. Dewan Keamanan PBB memberikan suara untuk Resolusi 1540, yang memungkinkan adanya kerjasama internasional, mencoba menilai dan mengelola ancaman baru teroris atau pelaku non-negara yang mencari akses ke agen biologis (atau senjata efek massa lainnya).

Pelbagai terobosan dalam teknologi–dari proyek genom manusia hingga penemuan laboratorium lain dalam biologi yang dulunya hanya terlihat dalam film fiksi ilmiah–ternyata memberikan tantangan yang lebih sulit bagi pemerintah. Ancaman bisa muncul dari pengaturan sipil dan tidak hanya di ranah konflik antarnegara.

Selama beberapa dekade, kerja sama antara para ahli kesehatan masyarakat di negara-negara maju dan negara-negara Selatan (Global South), telah mulai membangun kerjasama yang efektif dalam menghadapi ancaman biologi. Global South sering dipergunakan dalam analisis maupun praktek politik global. Istilah Selatan telah ditafsirkan setidaknya melalui dua pendekatan berbeda. Pertama, melekatkan Selatan sebagai negara berkembang, dan kedua memahaminya sebagai gerakan global.

Meski begitu, keduanya memiliki titik temu, yaitu sama-sama mengatributkan marjinalitas sebagai salah sartu karakter utama aktor Selatan. Sementara, aktor-aktor dipertemukan oleh ideologi yang menekankan kesetaraan dan solidaritas.

Sebagian telah mencatat bahwa wabah Ebola di Afrika Barat pada 2014 silam lebih cepat terkendali di negara-negara yang telah mengembangkan infrastruktur kesehatan masyarakat yang lebih baik, seringkali dengan bantuan Barat. Jelas, memperluas kapasitas laboratorium kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang penting untuk kontribusi dasarnya bagi kesejahteraan masyarakat, tetapi itu juga berarti ada potensi kearifan lokal yang dapat mendeteksi ancaman biologis dari aktor-aktor yang terlibah konflik atau bermusuhan.

Sejauh ini, kita belum melihat kelompok teroris mencoba mengambil keuntungan dari krisis coronavirus ini. Namun, mereka tidak perlu menjadi ahli biologi untuk menemukan beberapa manfaat bagi tujuan mereka di mana warga sipil takut, dan pemerintah tidak siap atau cukup gesit untuk meresponnya.

Selain itu, mereka boleh jadi akan belajar sesuatu tentang patogen biologis dalam kalkulus antara biaya dan hasil. Kita harus melakukan sebanyak mungkin untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan yang mungkin mereka lakukan.

Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, menyebut pandemi ini krisis terbesar sejak Perang Dunia II dan Bill Gates menyebutnya sebagai Perang Dunia dengan cara lain. Memang Covid-19 menunjukkan bahwa kita telah meremehkan sifat berbahaya dari dan ancaman yang ditimbulkan oleh senjata biologis terhadap kemanusiaan. Sulit untuk mengantisipasi agen biologi baru, yang sangat menular dan mematikan seperti Covid-19.

Penularan massif dan upaya untuk mengendalikannya, termasuk melalui lockdown, telah membuat negara-negara yang paling kuat pun bertekuk lutut dan denyut nadi perekonomian melemah. Hal ini juga telah mendorong masyarakat demokratis yang kuat ke dalam kekacauan dan menyebabkan pemerintahan terjebak dalam krisis. Pandemi telah mengakibatkan ketakutan, ketidakpastian, dan ketidakberdayaan di banyak negara di dunia.

Yang khususnya mengkhawatirkan adalah bahwa aktor atau entitas negara atau non-negara yang terlibat dalam permusuhan dapat mengembangkan dan menggunakan senjata biologi tanpa terdeteksi, karena fasilitas produksi memerlukan sedikit ruang dan agen mikroba serta teknologi yang mudah diperoleh. Biaya relatif rendah dan kemudahan mengembangkan senjata biologi, termasuk oleh rezim jahat dan laboratorium swasta, dan kemungkinan penyebaran agen biologi secara sembunyi-sembunyi, entah itu melalui hewan, manusia atau kendaraan pengiriman tujuan khusus lainnya.

Karena itu, perlu kiranya diidentifikasi seperti apa agen biologi yang ada dan potensial di alam ini atau yang direkayasa manusia untuk menjadi senjata biologi yang berbahaya. Ahli epidemiologi telah mengkategorikannya sebagai berikut:

A – paling mematikan dan menular,

B – cukup mengancam, dan

C – agen biologi yang muncul direkayasa untuk diseminasi massa di masa depan.

Untuk itulah, setiap negara harus membangun kapasitasnya dalam mengantisipasi, mendeteksi, dan mempertahankan dari ancaman agen biologi yang berbahaya ini. Selain itu, untuk menangkal ancaman biologis yang tak terduga, semua laboratorium normal, fasilitas medis, dan rumah sakit harus dibuat sesuai tujuan sehingga dapat berubah menjadi infrastruktur yang baik untuk pengujian dan pengembangan terapi yang cepat dan andal.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com