Warga Miskin AS, Neo-liberalisme dan COVID-19

Bagikan artikel ini

Neo-liberalisme adalah salah satu faktor yang membuat perang melawan COVID-19 sulit untuk dimenangkan. Di satu sisi, dampak negatif neoliberalisme adalah privatisasi sistem kesehatan publik dan penciptaan deretan panjang gerbong kemiskinan warga dunia yang mengalami kesulitan dalam perang melawan COVID-19 dan bahkan menjadi sasaran infeksi COVID-19 yang paling rentan, demikian kata Prof. Joseph H. Chung.

Di AS sendiri, neo-liberalisme seakan menjelma menjadi kredo privatisasi perusahaan sektor publik. Kredo yang mendasarinya tidak lain adalah efisiensi superior oleh perusahaan swasta dibandingkan dengan perusahaan publik.

Neo-liberalisme lebih memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas serta merobohkan hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi agar semua negara bisa mendapatkan keuntungan dari meningkatkan standar hidup masyarakat atau rakyat sebuah negara dan modernisasi melalui peningkatan efisiensi perdagangan dan mengalirnya investasi.

Di sini masalahnya adalah definisi efisiensi. Dalam konteks neo-liberalisme, efisiensi adalah keuntungan atau laba. Dengan demikian, begitu barang publik diprivatisasi, barang tersebut bukan lagi menjadi barang publik dan tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan masyarakat. Namun, salah satu barang publik paling penting di semua negara adalah kesehatan publik.

Di AS, semuanya diprivatisasi; bahkan penjara pun diprivatisasi. Apa yang paling menakutkan adalah kenyataan bahwa sistem layanan medis juga diprivatisasi. Sementara, lebih dari 30 juta orang AS tidak memiliki asuransi kesehatan.

Di AS, setiap layanan medis termotivasi oleh keuntungan atau laba. AS, dengan demikian, menjadi negara yang pelayanan medisnya paling mahal di antara negara maju lainnya. Jumlah warga AS tanpa asuransi kesehatan meningkat dari 10,9% pada 2016 menjadi 13,7% pada 2018.

Mereka yang memiliki asuransi kesehatan harus membayar “pembayaran bersama” dan membebani besaran biaya yang harus dibayar pemegang polis jika terjadi klaim, yang mencapai lebih dari $ 3.300 setahun.

Tidak adanya sistem kesehatan publik berarti kekurangan kronis rumah sakit, staf medis dan peralatan medis. Misalnya, jumlah rumah sakit berkurang 30 per tahun; ada kurang dari 45.000 unit perawatan intensif (ICU), sementara 2,9 juta yang dibutuhkan.

Hanya 160.000 ventilator tersedia di samping stok pemerintah federal yang mencapai 8.900. Namun, AS membutuhkan jutaan untuk mengatasi krisis virus korona. Namun, situasinya telah sedikit membaik belakangan ini.

Kredo neoliberalisme lainnya adalah pertumbuhan ekonomi yang motori oleh ekspor barang dan jasa. Untuk mengekspor barang, kita harus mendapat untung. Untuk mendapat untung, kita harus mengurangi biaya produksi. Untuk mengurangi biaya produksi, kita harus menggunakan teknologi tinggi dan menghemat biaya tenaga kerja. Untuk lebih menghemat biaya tenaga kerja, kita harus mengembangkan rantai nilai global dan mengeksploitasi tenaga kerja murah dan bahan baku dari negara-negara berkembang.

Penggunaan teknologi tinggi menciptakan pengangguran atau pengurangan tenaga kerja. Penggunaan rantai nilai global memungkinkan perusahaan-perusahaan multinasional besar untuk memperoleh keuntungan besar tetapi off-shoring manufaktur mengarah pada lebih sedikit pekerjaan di negara-negara maju. Singkatnya, salah satu cacat neo-liberalisme adalah penciptaan angkatan pengangguran yang sangat besar karena tidak memiliki pekerjaan.

Hasil akhir dari neoliberalisme adalah kesenjangan pendapatan yang melebar. Indeks populer ketimpangan distribusi pendapatan adalah koefisien Gini. Semakin tinggi Gini, semakin besar kesenjangan pendapatan yang menguntungkan kelompok pendapatan yang lebih tinggi. Gini bervariasi dari nol hingga 100.

Gini AS saat ini adalah 50, yang merupakan level Gini di negara-negara berkembang. Ini luar biasa! Ingat, AS adalah negara terkaya di dunia, namun sama miskinnya dengan negara berkembang sejauh menyangkut Gini.

Pada tahun 2018, 1% kelompok berpenghasilan tinggi memiliki 70% kekayaan rumah tangga. 50% orang Amerika terbawah tidak memiliki peningkatan pendapatan selama tiga puluh tahun. Upah minimum tetap di $ 7,25.

Distribusi pendapatan yang tidak merata dikombinasikan dengan tidak adanya sistem kesehatan publik membuat perjuangan melawan COVID-19 menjadi sangat sulit.

Dengan demikian, di AS sendiri, seperti yang diulas di atas, tidak ada cukup rumah sakit, apalagi unit perawatan intensif (ICU); jumlah perawat dan semua sumber daya manusia terkait perawatan medis juga mengalami kekurangan yang signifikan. Pemerintah dan kota-kota Negara bagian meminta bantuan Washington dengan sia-sia.

Pemerintah negara bagian, pemerintah kota, dan rumah sakit sangat membutuhkan masker, ventilator, sarung tangan dan peralatan lainnya.

Bahkan jika semua peralatan ini tersedia, sejumlah besar warga AS yang menganggur tanpa tabungan tidak dapat melakukan tes, isolasi diri atau melakukan jarak fisik (physical distancing) atau jarak sosial (social distancing).

Menjadi miskin, untuk sekadar tes medis saja, warga AS saja harus meregoh kocek dalam-dalam, belum lagi bagi mereka yang tinggal di lingkungan perumahan yang padat penduduk, melakukan jarak fisik atau sosial mengalami kesulitan; apalagi kalau tidak memiliki tabungan, mereka harus pergi bekerja. Dengan demikian sekadar untuk karantina saja tidak mudah, terutama bagi warga miskin AS. Terkait dengan bagaimana wajah kemiskinan di AS, lihat ulasan penulis Potret Kemiskinan di AS Semakin Mengkhawatirkan.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com