Kalau dilihat secara kasat mata dari atas permukaan, kita dapat kesan Cina saat ini punya kemampuan teknologi nuklir yang cukup canggih dan bisa diandalkan. Betapa tidak. Pada akhir 2019 lalu, Cina mengkalim sedang membangun 20 Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Seperti dilansir beberapa media massa, 20 PLTN tersebut dibangun dengan tujuan memberi aliran listrik ke pulau-pulau buatan, khususnya kepulauan Paracel dan Spratly yang saat ini menjadi sasaran klaim wilayah territorial Cina seperti Vietnam, Filipina, Malaysia dan Taiwan.
Maka tidak heran jika Cina telah mengalokasikan anggaran dalam jumlah yang cukup fantasis untuk proyek pembangunan 20 PLTN tersebut. Yaitu sebesar 14 miliar yuan atau lebih dari RP 29,6 triliun.
Masalahnya adalah, apakah kemampuan dan kredibilitas teknologi nuklir Cina memang sudah sedemikian hebat dan handal seperti tergambar dalam paparan awal tulisan ini tadi? Pada kenyataannya, teknologi nuklir Cina tidak secanggih yang terkesan di permukaan.
Ketika Cina menawarkan dua reaktor nuklirnya kepada Indonesia yaitu Hualong One dan CAP 1400 , ternyata kedua reaktor nuklir made in China tersebut merupakan fotokopi salinan dari Amerika Serikat. Melalui fakta ini saja kita bisa bayangkan jika Indonesia mengandalkan reaktor nuklir Cina Hualong One dan CAP 1400 yang mana suku cadangnya saja masih tergantung pada Amerika.
Dengan kata lain, suku cadang atau spare part-nya pun masih harus beli dari Amerika Serikat. Karena Cina sendiri belum masing tergantung pada Amerika untuk pengadaan spare part atau suku candangnya.
Anda bisa bayangkan, bagaimana jika hubungan AS-Cina semakin memburuk menyusul semakin menajamnya persaingan global AS versus Cina di Asia Timur dan Asia Tenggara belakangan in? Bukan tidak mungkin, Indonesia akan mengulang pengalaman pahit saat pemerintahan Presiden Bill Clinton sejak 1991 menerapkan embargo penjualan peralatan militer maupun spare part-nya kepada TNI akibat insiden Santa Cruz 1991 di Dili, Timor-Timur.
Dari fakta itu saja sudah bisa kita bayangkan. Jika Indonesia menggunakan reaktor nuklir Cina, katakanlah Hualong One dan CAP 1400 yang mana suku cadangnya masih tergantung pada Amerika, lalu pada perkembangannya kemudian hubungan Cina-AS memburuk di kemudian hari, dan AS menolak menjual suku cadangnya kepada Cina. Bukankah pembangunan PLTN Indonesia kemudian bisa jadi gagal total?
Indikasi kedua yang nampaknya juga mengundang tanda tanya dan mungkin juga kecurigaan, mengapa berbagai media sebagian besar melansir berita mengenai semakin ekspansifnya pembangunan PLTN Cina di luar negeri, sebaliknya sangat minim pemberitaan terkait pembangunan PLTN di dalam negeri Cina sendiri.
Memang betul sebagaimana dilansir China Daily pada 2015 lalu, Cina menargetkan bakal memasang tenaga nuklir hingga 58 juta kilowatt pada 2020, menurut informasi dari rencana pengembangan energi yang dirilis oleh Konsulat Negara pada 2014.
Namun informasi resmi Konsulat Negara Cina terkait rencana dan pengembangan energi nuklir tersebut, pemerintah Cina sama sekali tidak mampu menggambarkan secara ilustratif seperti apa jabaran dan rincian pembangunan tenaga nuklir tersebut.
Bahkan dalam proposal rencana lima tahunan yang dirilis Partai Komunis Cina, pemerintah Cina hanya menegaskan akan mempromosikan pengembangan tenaga nuklir secara aman dan efisien. Hanya itu.
Yang lebih mengundang tanda tanya, pada Februari 2018, pemerintah Cina secara tiba-tiba mengumumkan penundaan pengoperasian reaktor nuklirnya dengan alasan keamanan.
Menurut salah satu sumber dari kalangan pejabat korporasi Nuklir Nasional Cina(CNNC) seperti dilansir China Daily, proses pengisian bahan bakar untuk reaktor nuklir Westinghouse pertama di dunia itu seharusnya sudah dimulai sejak tahun lalu, yang kemudian dilanjutkan dengan uji coba selama enam bulan sebelum penuh beroperasi pada 2018. Namun ternyata proses pengisian bahan bakar itu ditunda karena Cina masih mencoba memastikan proyek tersebut benar-benar memenuhi standar keselamatan paling tinggi. Dari kilasan berita singkat ini saja.
Sekali lagi terbukti, bahwa teknologi nuklir Cina yang masih mengandalakan Westinghouse Amerika Serikat, ternyata banyak hal yang meragukan dari segi kemampuan teknologinya itu sendiri, maupun dari segi jaminan keselamatan bagi masyarakat maupun lingkungan hidup, Itulah sebabnya pemerintah Cina menunda pengoperasian reaktor nuklirnya.
Maka itu, masuk akal jika muncul pertanyaan benarkah kemampuan teknologi dan reaktor nuklir Cina memang sudah secanggih seperti yang sudah dilansir beberapa media massa. Hal ini penting mengingat beberapa kalangan, terutama pakar dan politisi DPR mendesak pemerintahan Presiden Jokowi agar Indonesia memiliki PLTN di Indonesia.
Salah satunya adalah seorang politisi DPR Komisi VII Dr Kurtubi, bahwa Indonesia sudah saatnya memanfaatkan energi nuklir seperti halnya yang sudah dilakukan beberapa negara lainnya. Misal Arab Saudi, telah membangun 14 PLTN. Begitu juga halnya dengan Abu Dhabi dan Turki.
Boleh jadi atas dasar gagasan yang sempat digulirkan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kurtubi, pada Agustus 2015 lalu, Cina sempat menawarkan reaktor nuklirnya kepada Indonesia. Singkat cerita, Cina siap ikut serta membantu bila Indonesia ingin membangun PLTN. Begitu penegasan dari Minister Counsulor for Economic and Business Chinese Embassy, Wang Liping ketika itu.
Selain itu pada 2017 lalu, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir telah mencanagkan Indonesia akan belajar dulu tentang teknologi Reaktor Pendingin Gas Temperatur Tinggi (High Temperature Gas Cooled Reactor/HTGR) dari Cina sebelum membuatnya sendiri.
Namun demikian, pemerintah Indonesia sepertinya harus berhati-hati mengingat serangkaian fakta-fakta terebut di atas. Ketika Hualong One dan CAP 1400 hanya sekadar fotokopi salinan dari reaktor nuklir Amerika Serikat, dan suku cadangnya pun masih harus beli dari Amerika, maka teknologi nuklir Cina tidak bisa dipandang produk orisinal Cina sendiri. Berarti, Cina dari segi kemampunan teknologi yang dimilikinya, belum mampu membangun reaktor nuklir di negerinya sendiri. Belum punya pengalaman dan belum teruji. Sehingga sangat beresiko dan tidak bisa dijamin keselamatannya.
Apalagi hal itu juga diperkuat oleh kajian Colin Koh, peneliti keamanan maritim dari Universitas Nanyang, Singapura, menyatakan Cina kemungkinan besar belum melakukan studi dampak lingkungan sebelum menempatkan tongkang-tongkang PLTN-nya. Reaktor yang lepas kendali dapat menyebabkan bencana besar bagi lingkungan hidup.
Jika reputasi Cina dalam penguasaan teknologi dan reaktor nuklirnya masih diragukan baik dari segi kemampuan penguasaan teknologi nuklirnya maupun tidak adanya jaminan keselamatanya bagi penduduk sekitar maupun lingkungan hidup, lantas bagaimana dengan Rusia?
Meskipun masih perlu dikaji lebih mendalam, pandangan Rosatom dalam keteranganya beberapa waktu lalu VVER-1200 memiliki tiga keunggulan utama: sangat efisien, tahan lama (mampu beroperasi hingga 60 tahun), dan aman. Novovoronezh NPP Unit 6 dan 7 (VVER-1200) merupakan PLTN komersial pertama di dunia yang memakai air sebagai moderator dan pendingin reaktor.
VVER ialah singkatan dari vodo-vodyanoi energetichesky reaktor (Rusia).Secara harfiah jika diartikan ialah reaktor dengan air sebagai pendingin dan moderator.
Di Rusia, selain Novovoronezh Unit 6 dan 7, proyek serupa sedang dikerjakan di Leningrad (2 unit) dan Baltic (2 unit).Dua lainnya dalam tahap desain, yakni PLTN Kursk (4 unit) dan Smolensk (2 unit). Semuanya berkapasitas 2.400 Mw.
Satu lagi proyek PLTN dengan teknologi terbaru yang sedang dikerjakan Rosatom, yakni BN-800 di Beloyarsk. BN-800 memakai MOX (bahan campuran uranium dan plutonium) sebagai sumber energi. Oksidasi kedua zat itu menghasilkan energi panas yang lebih dahsyat daripada uranium. Proyek itu sudah mulai dikerjakan sejak 2015.
Satu lagi proyek PLTN dengan teknologi terbaru yang sedang dikerjakan Rosatom, yakni BN-800 di Beloyarsk. BN-800 memakai MOX (bahan campuran uranium dan plutonium) sebagai sumber energi. Oksidasi kedua zat itu menghasilkan energi panas yang lebih dahsyat daripada uranium. Proyek itu sudah mulai dikerjakan sejak 2015.
Lebih daripada itu, kerjasama Indonesia-Rusia nampaknya sudah selangkah dua langkah lebih maju dibanding dengan Cina. Menurut beberapa informasi dari di lingkungan dalam Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), setiap tahunnya pemerintah Indonesia mengirim 20 sampai 30 orang, terutama staf BATAN, maupun beberapa peneliti dari beberapa perguruan tinggi ternama, untuk dikirim ke Rusia. Untuk mempelajari seluk-beluk teknologi nuklir di sebuah perusahaan nuklir Rusia, Rosatom.
Nampaknya mereka oleh pemerintah Indonesia diproyeksikan sebagai para pakar nuklir agar bisa membangun PLTN di Indonesia. Di Rosatom mereka dilatih untuk lebih mengenal nuklir sebagai media pembangkit listrik.
Nampaknya, program pengiriman para tenaga ahli BATAN maupun beberapa perguruan tinggi, jauh lebih strategis untuk kepentingan nasional Indonesia jangka panjang. Karena dalam kerjasama Indonesia-Rusia di bidang nuklir, transfer of technology dari Rusia kepada para pakar nuklir Indonesia, tak kalah pentingnya selain bantuan reaktor nuklir Rusia itu sendiri yang mana reputasi dan kredibilitasnya sudah teruji sejak decade 1950-an.
Maka itu patut disambut gembira ketika pada 7 September 2018 lalu, PLN bersama rektor dan perwakilan dari tujuh universitas di Indonesia melakukan kunjungan kerja kesalah satu universitas nuklir terbesar di Rusia, yakni National Research Nuclear University MEPhI (Moscow Engineering Physics Institute) di Moskow.
Untuk mempelajari lebih dalam tentang teknologi pemanfaatan nuklir. Ketujuh universitas tersebut yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro, Institut Teknologi Sepuluh November, dan Universitas Udayana.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)