Kemajuan Perkembangan Teknologi Pertanian Seringkali Tidak Senafas Dengan Kesejahteraan dan Kemandirian Para Petani

Bagikan artikel ini

Pada saat bangsa Indonesia sedang menghadapi Pandemi Global Covid-19 saat ini, sektor yang tetap stabil salah satunya adalah di sektor pangan. Sekadar informasi, beberapa waktu lalu saya pernah menelaah tentang  revolusi hijau yang pernah diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Saya tertarik menelaah revolusi hijau karena waktu dianggap sebagai “juru selamat” bagi sektor pertanian. Padahal menurut saya masih perlu ditelaah lebih dalam akan dampak positif maupun negatifnya.

Memang benar bahwa revolusi hijau ini terbukti berhasil meningkatkan produktivitas dan produksi pertanian. Namun dalam meningkatkan kesejahteraan  petani dan kemandirian pertanian, menurut hemat saya soalnya dalam masa transisi saat ini petani yang awalnya enggan untuk memakai teknologi sekarang  lambatlaun bersedia memakai teknologi, misalnya  bahan” kimia pestisida dan lain-lain.

Tapi dampaknya kualitas dan jenis tanaman asli itu menjadi hilang, karena perkembangan teknologi. Mungkin ini menjadi faktor juga kenapa kenapa bisa terjadi kegagalan dalam peningkatkan kesejahteraan petani, padahal produktivitas dan produksi meningkat.

Ilustrasi - Bisnis.com

Selain itu, masih ada lagi satu catatan saya. Para petani kita, sebelum diterapkannya revolusi hijau, petani lebih mengandalkan pada gejala alam dalam bercocok tanam menggarap tanah – tanahnya dengan cara – cara tradisional, menggunakan tenaga binatang seperti sapi dan kerbau dan perkakas sederhana parang, cangkul dan garuk  sebagai alat produksi mengolah tanah untuk ditanami jenis tumbuh – tumbuhan konsumsi, membuat saluran – saluran air secara alami dari aliran – aliran mata air terdekat, terutama didaerah – daerah pinggiran hutan dan pegunungan air pasti berlimpah untuk dijadikan sumber kehidupan masyarakat.

Ambillah daerah Cipanas dan Puncak, sekadar sebagai contoh.Para petani di daerah Cipanas dan Puncak mengarap lahan tanah – tanah pertanian secara  turun – temurun warisan dari nenek – moyang, belajar secara otodidak dalam pengolahan  tanah dengan mengandalkan gejala – gejala alam, melihat pergantian musim antara musim hujan dan musim  kemarau tanaman apa yang cocok ditanam dengan hasil yang bagus, tidak takut diganggu hama binatang bisa diatasi oleh binatang – binatang pemangsa lainnya, malah membantu tanaman tumbuh cepat diluar perkiraan pada waktu menebarkan  benih,  dibantu oleh   kotoran – kotoran yang ditinggalkan binatang – binatang tersebut.

Namun, Cara budidaya pertanian tradisional pola bercocok – tanam yang diajarkan Buyut – Moyang secara turun – temurun disampaikan dari mulut kemulut bukan buku panduan secara tertulis petani di daerah Cipanas – Puncak berubah drastis, setelah masuknya Revolusi Hijau ke Indonesia.  yang dibawa oleh pemerintah Orde Baru Suharto antara tahun 1984 – 1989, ditinggalkan begitu saja pola pertanian tradisional yang sudah dijalankan berabad – abad lamanya. Karena karena mendapat tekanan keras agar menggunakan sistem Pertanian Modern dengan Tehknologi – tehknologi pertanian terbarukan yang diusung oleh sistem Revolusi Hijau tersebut.

Di sinilah pentingnya para pemangku kepentingan sektor pertanian di Indonesia mempertimbangkan pentingnya mengikutsertakan tradisi dan kearifan lokal dalam proses pemberdayaan para petani di bumi nusantara. Sebab seringkali kemajuan perkembangan teknologi, tidak seiring sejalan dengan kesejahteraan dan kemandirian para petani.

Raihan, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pemerintahan , Universitas Galuh, Ciamis

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com