Cyber dan Politik Adu Domba

Bagikan artikel ini

Amril Jambak 

Pemilihan Presiden sudah berakhir. Bahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan pemenang pilpres tersebut. Meski ada ketidakpuasan dari pasangan capres-cawapres yang kalah. Inilah demokrasi yang ada di negara ini dan pastinya lebih absahnya kemenangan Jokowi-Jusuf Kalla, akan ditentukan di Mahkamah Konstitusi (MK), yang diharapkan berbagai kalangan akan bersikap adil dan bijaksana dalam memutuskan perkara perselisihan hasil Pemilu tersebut, karena keputusan MK yang berat sebelah dikhawatirkan akan memicu gejolak sosial. Namun, jika MK sudah memutuskan secara adil dan bijaksana, maka pihak manapun harus menghormati keputusannya. Di sini penulis tidak mengurai tentang persoalan pemenang dan yang kalah.

Maraknya pemalsuan situs berita online di Tanah Air merupakan hal yang patut menjadi perhatian kita semua. Situs berita online dipalsukan dan diisi dengan berita fiktif. Situs yang dipalsukan yakni Tempo.co, Kompas.com, Antaranews.com, Detik.com, Tribunnews.com, Liputan6.com dan Inilah.com. Situs berita palsu ini menggunakan URL tambahan berupa “–news.com”. Misalnya, Tempo.co dipalsukan menjadi Tempo.com–news.com, begitu juga dengan Liputan6.com menjadi Liputan6.com–news.com. Semua berita palsu yang ditampilkan situs-situs tersebut terkait dengan hasil pilpres.
Misalnya, di situs palsu Tempo.com–news.com tercantum berita berjudul 37 Hacker Korea dan cina Gelembungkan 4 Juta Suara Golput. Padahal, di situs aslinya, Tempo.co, tidak ada berita berjudul seperti itu. Ada juga berita Ketua KPU Ditetapkan Tersangka, padahal tidak pernah ada lembaga hukum menetapkan Husni Kamil Manik sebagai tersangka.
Situs-situs palsu ini memiliki penampakan yang lebih cenderung seperti blog. Tujuh media online palsu tersebut tampak berbeda dengan situs aslinya, karena secara jelas tidak dilengkapi dengan logo masing-masing media. Begitu pun kanal berita yang juga tampak tak ada dalam situs palsu tersebut. Di sisi kanan situs palsu itu terdapat daftar berita. Jika diklik, berita itu akan mengantar pengunjungnya ke situs lain yang juga dipalsukan.
Cyber Crime?
Apakah ini masuk ranah cyber crime? Menurut penulis, dalam persoalan ini sudah tergambar bahwa sudah dalam konteks cyber crime. Bayangkan saja, padahal media online tersebut mungkin sudah menyajikan berita-berita terbaik untuk pembaca, lalu diganggung oleh tangan-tangan jahil yang mampu mengendalikan teknologi. Jka saja pembaca tidak arif ataupun tidak mengerti akan teknologi, pastinya akan menyulut persoalan-persoalan di Tanah Air. Apalagi kita tahu sendiri, saat ini pilpres akan memasuki tahapan persidangan di MK.
Penulis malah berpikiran, pemalsuan media online tersebut bagian dari politik adu domba pihak-pihak yang tidak mau melihat negara kita ini aman dan tentram. Mereka menginginkan kita sebagai anak bangsa terpecah belah. Dengan itu, sehingga memudahkan pihak tersebut menggenggam negara ini. Tapi dalam hal ini tidak tahulah, siapa yang diuntungkan atau menumpang ‘kapal’ apa pihak-pihak yang ingin menghancurkan negara ini.
Dalam wikipedia.org, politik adu domba atau politik pecah belah (devide et impera, bahasa Belanda) sebenarnya adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.
Berdasarkan pengalaman penulis, dalam politik adu domba ini konflik sengaja diciptakan. Perpecahan tersebut dimaksudkan untuk mencegah terwujudnya aliansi yang bisa menentang kekuasaan, entah itu kekuasaan di pemerintahan, di partai, kelompok di masyarakat dan sebagainya.
Pihak-pihak atau orang-orang yang bersedia bekerja sama dengan kekuasaan, dibantu atau dipromosikan, pada saat yang sama mereka yang tidak bersedia bekerjasama, dipinggirkan. Ketidakpercayaan terhadap pucuk pimpinan partai atau kelompoknya sengaja diciptakan agar partai atau kelompok tersebut tidak tumbuh besar dan solid.
Adakalanya tidak hanya ketidakpercayaan, bahkan permusuhan pun disemai. Teknik yang digunakan adalah agitasi, propaganda, desas-desus, bahkan fitnah. Dan praktik itu menjadi sangat subur di tengah perang media yang bebas tak terkendali.
Seperti penjajahan kita oleh Belanda. Penjajah menggandeng beberapa pribumi untuk menjadi karyawan mereka, diberi kehidupan yang layak, tapi sadar atau tidak, mereka dikondisikan untuk mengkhianati bangsanya sendiri. Raja di satu kerajaan diadu domba dengan raja lain yang pada akhirnya menimbulkan peperangan dan perpecahan.
Di tengah masyarakat kita dewasa ini, di tengah media yang sangat liberal, praktik adu domba itu menjadi tontotan sehari-hari. Kita secara vulgar disuguhi berita-berita tentang perseteruan antar kelompok untuk memperebutkan kekuasaan, saling tuding, saling caci-maki, saling sikut dengan intrik-intrik politik yang sangat kasar dan kejam. Penggiringan isu dilakukan sedemikian rupa untuk saling menghancurkan.
Untuk itu, pemalsuan media online yang terjadi saat ini, mengisyaratkan bahwa politik adu domba diciptakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Jika kita ingin melawannya, mari bersama-sama kita tidak mempercayai informasi yang disampaikan media online palsu.
Hal lainnya yang perlu mendapatkan perhatian dari pengelola dan pemilik media online yang terkenal seperti detik.com, kompas.com,okezone.com,tribunnews.com, inilah.com dll yang selama ini dengan maksud baik telah memberikan ruang berekspresi dan berdemokrasi di laman mereka dengan menambah kanal seperti misalnya blogger, twitter, youtube dan beberapa kanal yang “membolehkan” warga masyarakat melakukan citizen journalism dengan mengirimkan berita atau informasi yang tanpa tersensor atau teredit oleh pengelola portal berita terkenal tersebut, juga rawan menimbulkan fitnah, informasi palsu, pembocoran rahasia negara dll, yang dapat berdampak hukum terhadap portal berita yang menyediakan kanal tersebut terutama jika ada pihak-pihak yang merasa dirugikan mengadukan hal tersebut ke polisi dan akan diproses dengan UU ITE.
Menurut penulis, sebaiknya kanal media sosial yang ditempelkan di beberapa media online terkenal harus dikelola dengan baik, disensor secara tertib setiap waktu dan tidak sekedar mencantumkan himbauan tidak boleh mengirimkan berita berbau SARA saja, karena sejatinya pengelola portal berita terkenal yang memberikan kanal medsos di portal beritanya tanpa tidak ada waktu untuk menyensor setiap berita atau informasi yang masuk dapat dikatakan terlibat tindak pidana, jika informasi berita di medsos tersebut mengandung fitnah, pembocoran rahasia negara, mendiskreditkan seseorang atau lembaga negara dll, dan ini termasuk salah satu gejala cyber crime juga.
Dan jangan mudah terpancing isu-isu yang berujung pada konflik. Jika ini masih terjadi, samalah kita hidup di masa penjajahan Belanda. Cukuplah politik adu domba ini terjadi masa lalu. Untuk zaman ini, semua warga negara harus berpikiran ke depan dan selalu menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apa kita mau diadudomba? Oleh karena itu, penulis sangat mengapresiasi langkah Kementerian Kominfo yang menurut informasi terakhir sudah memblokir 7 situs berita palsu tersebut.
Ke depan, penulis juga berharap sebagai negara besar, Indonesia seharusnya  memiliki sebuah badan Cyber War.  Seperti halnya Amerika Serikat yang memiliki  5 Angkatan pertahanan, Darat, Udara, Laut, Antariksa, dan Cyber War, salah satu badan keamanan tersebut adalah  National Security Agency (NSA). Angkatan ke-5 ini  didoktrin untuk melakukan “perang” terhadap berbagai ancaman cyber. Persoalan cyber menjadi persoalan yang strategis. Jangan sampai kita kalah perang cyber dari negara-negara lain yang berujung pada ancaman stabilitas negara Republik Indonesia.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com