Dalam Konflik Laut Cina Selatan, Indonesia Mampu Memainkan Peran Sebagai The Honest Broker (Penengah Yang Jujur)

Bagikan artikel ini

Kolonel Oktaheroe Ramsi, Analis Madya bidang Multilateral Direktorat Jenderal Kerjasama Internasional Kementerian Pertahanan RI (Mewakili Brigjen Sunaryo, Direktur  Kerjasama Internasional, Kementerian Pertahanan RI).

Disampaikan dalam Seminar Terbatas para ahli dengan tema “MEMBANGUN STRATEGI PERIMBANGAN KEKUATAN DALAM RANGKA MENGAKTUALISASIKAN KEMBALI POLITIK LUAR NEGERI RI YANG BEBAS DAN AKTIF”, yang diselenggarakan oleh Global Future Institute (GFI) bekerjasama dengan para mahasiswa Fakultas Ilmu Hubungan Internasional Universitas Nasional yang tergabung dalam Vox Muda, Senin 5 Desember 2016, di Jakarta.

Politik luar negeri pada hakekatnya merupakan strategi dan taktik yang digunakan oleh suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain. Maka politik luar negeri bisa diartikan sebagai  suatu kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka hubungannya dengan dunia internasional, hingga mencapai tujuan internasional. Dalam arti luas, politik luar negeri merupakan pola perilaku yang digunakan oleh suatu negara terhadap negara lain.

Adapun terkait politik luar negeri RI yang bebas dan aktif yang untuk pertama kalinya dicetuskan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta di rapat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat pada 2 September 1948, pada dasarnya merupakan suatu konsensus nasional bahwa dasar politik luar negeri RI adalah Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan watak dan sifatnya adalah anti-kolonialisme. Menurut hemat saya, hal ini penting untuk digarisbawahi.

Sebagaimana ditegaskan oleh Bung Hatta, tujuan politik luar negeri Indonesia ditujukan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, menjaga keselamatan negara, dan memperoleh barang-barang dari luar negeri untuk memperbesar kemakmuaran rakyat Indonesia. Selain itu, politik luar negeri RI juga harus ditujukan untuk menegakkan perdamaian dunia.

Atas dasar hal tersebut, maka Indonesia dalam berhubungan dengan negara lain, dibangun atas dasar saling menghargai dan tidak mencampuri urusan negara lain sebagaimana telah menjadi kerangka kebijakan negara-negara di kawasan Asia Tenggara utamanya ASEAN. ASEAN Way secara jelas telah menegaskan untuk tidak mencampuri urusan negara lain didalam kerangka hubungan antar negara-negara ASEAN itu sendiri.

Begitupula dalam kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia secara tegas berkomitmen menjunjung tinggi sendi-sendi internasional dan ikut serta membantu pelaksanaan dan penegakan keadilan sosial internasional dengan berpedoman pada PBB.

Pertanyaannya kemudian, mengapa dalam pelaksanaan politik luar seringkali terjadi fluktuasi? Kadang kita cenderung ke blok Timur kadang kita cenderung ke blok Barat? Menurut hemat saya, hal itu sangatlah tergantung kepada siapa yang memimpin. Sangat tergantung pada apa yang menjadi misi dan peran yang menjadi landasan pelaksanaan politik luar negeri kita yang bebas dan aktif. Sebab seorang pemimpin  bisa mempengaruhi apa yang menjadi bagian dari kebijakan negara. Dan yang tak kalah penting, pergantian kepermimpinan pada perkembangannya juga akan ikut memberikan dinamika seperti yang saya sampaikan tadi. Seperti bagaimana struktur, sistem politik, maupun proses pengambilan keputusan itu dibuat. Belajar dari pengalaman kita selama ini, pada hakekatnya presiden mempunyai kekuatan untuk menyampaikan sesuatu kebijakan melebihi unsur-unsur yang lain. Sekarang ini di dalam sistem politik, struktur maupun proses pengambilan keputusan, termasuk dalam kebijakan luar negeri, sangat diwarnai keseimbangan kekuatan atau power balance antara Presiden dan DPR. Selain itu yang tak kalah pentoing bahwa keyakinan, interpretasi, dan gaya kepemimpinan, pada akhirnya akan berpengaruh pada arah dan tujuan politik suatu negara, baik dalam urusan dalam negeri maupun luar negeri.

Mengapa pemerintah Indonesia perlu mengaktualisasikan kembali politik luar negeri bebas aktif? Salah satu pertimbangannya, seperti sempat disinggung salah seorang narasumber tadi, adanya pandangna bahwa apa yang sekarang ini dipandang pengaruh internarnasional sepertinya sudah tidak sesuai lagi dengan apa yang kita pandang sebagai kepentingan nasional. Selain itu, saya setuju dengan Bapak Hendrajit bahwa sekarang ini telah terjadi pergeseran sentra geopolitik dari Atlantik ke Asia Pasifik, sekaligus ditandai dengan persaingan global antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina yang semakin tajam di Asia Pasifik.

Dalam situasi yang demikian, apa yang kita namakan sebagai the ASEAN Way pun berada dalam situasi yang sulit dan penuh ujian. Seperti misalnya dalam menyikapi ketegangan dan konflik perbatasan antara beberapa negara anggota ASEAN terkait Laut Cina Selatan dengan Cina. Bisakah Indonesia menempatkan diri sebagai the Honest Broker atau Penegah Yang Jujur dalam border dispute antara beberapa negara ASEAN dengan Cina?

Namun yang perlu saya tegaskan di sini, kita memang perlu waktu untuk memberikan pengertian kepada negara-negara lain tentang kondisi dan sikap kita. Kita tidak bisa memaksa negara lain untuk mengerti kita dalam waktu dekat.

Begitupun saya sadari sepenuhnya bahwa yang pada awal berdirinya dulu para pendiri ASEAN hanya menitikberatkan supaya tidak terjadi perang saja dan bukan untuk hal-hal yang lain, sekarang ini yang harus dihadapi para pemimpin ASEAN lingkupnya jauh lebih luas. Apalagi saat ini ASEAN merupakan kekuatan regional yang paling kuat dan luas di dunia. Bayangkan sebesar Uni Eropa saja sudah gagal  menjaga pilar keamanannya. Buktinya setiap saat bisa terjadi aksi terorisme dan setiap saat bom bisa meledak di negara-negara yang tergabung dalam uni Eropa.

Dalam konteks yang yang terjadi di ASEAN sekarang ini, ada upaya dari Cina untuk melakukan manuver agar tidak tercipta  suara bulat dalam keputusan-keputusan yang diambil ASEAN terkait berbagai isu. Nampaknya Cina memang ingin agar ASEAN tidak berhasil mencapai suara bulat. Cina nampaknya lebih senang menjalin hubungan bilateral dengan masing-masing negara ASEAN daripada hubungan Cina-ASEAN. Cina lebih cenderung menerapkan pendekatan bilateral. Dalam hal ini, Kamboja dan Laos sudah menyatakan penolakannya terhadap suara bulat ASEAN. Tidak tertutup kemungkinan akan disusul negara-negara ASEAN lainnya yang juga akan menolak mekanisme suara bulat ASEAN. Yang mana hal ini bisa dibaca sebagai isyarat akan lebih menjalin kerjasama dengan Cina dibandingkan dengan Amerika Serikat atauj negara-negara Barat lainnya.

Untuk mengakhiri paparan singkat ini, bahwa fluktuasi politik luar negeri selain ditentukan oleh gaya kepemimpinan kepala negara yang memimpin saat itu, juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan di dalam negeri kita sendiri. Sehingga politik luar negeri bebas dan aktif artinya kitalah yang menentukan sendiri apa kepentingan dan apa tujuannya, dan dengan itu pula, kita menjaga perdamaian dunia dan bersahabat dengan negara-negara lain dan seluruh bangsa di dunia.

Khusus terkait klaim perbatasan di Laut Cina Selatan, Indonesia harus memainkan peran sebagai The Honest Broker atau Pengah yang Jujur karena kita merupakan salah satu negara ASEAN yang tidak terlibat klaim perbatasan dengan Cina di wilayah Laut Cina Selatan.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com