Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
11 Maret 2011, merupakan tragedi besar bagi masyarakat Jepang. Gempa dengan kekuatan 9 skala Richter yang diikuti oleh Tsunami telah memporak-porandakan negara Jepang. Setidaknya 19 ribu tewas ketika gempa bumi hebat mengguncang timur laut Jepang. Namun itu ada satu lagi bencana susulan yang tak kalah tragis menimpa masyarakat Jepang, yaitu kecelakaan besar yang terjadi di reaktor atom Fukushima.
Karena sebagai dampak dari kecelakaan di reactor nuklir Fukushima tersebut, telah mengungkap satu isu paling sensitif bagi masyarakat Jepang, sejak dijatuhkannya bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945 oleh angkatan udara Amerika Serikat. Yaitu, kebijakan pemerintah Jepang dalam penggunaan tenaga nuklir, yang tentunya juga kebijakan pemerintah Jepang dalam pembangunan beberapa reaktor nuklir.
Sedemikian sensitifnya isu penggunaan tenaga nuklir dan pembangunan reaktor nukir, mendorong Perdana Menteri Yoshihiko Noda dari Partai Demokrat untuk menghentikan pembangunan tenaga nuklir hingga 2040. Sayangnya, Perdana Menteri Shinzo Abe dari Liberal Democratic Party (LDP) yang menggantikan Noda pada akhir 2012, nampaknya bersikeras untuk tetap melanjutkan pembangunan tenaga nuklir dan reaktor nuklir meskipun mendapat kecaman keras dari masyarakat Jepang menyusul terjadinya kebocoran di reaktor atom Fukushima.
Dari informasi yang berhasil dihimpun tim riset Global Future Institute, sebagai dampak dari kecelakaan di reaktor atom Fukushima, tingkat radiasi yang terjadi saat ini telah mencapai 6 juta kali lipat dari tingkat yang normal. Bahkan menurut beberapa sumber, dampak radiasi dari ledakan di Fukushima, telah menimbulkan zat beracun pada makanan-makanan seafood.
Namun sepertinya fakta penting ini, dengan sengaja ditutup-tutupi oleh Pemerintah Jepang terkait dengan dampak bencana atom Fukushima.
Mari simak keterangan Dinas Energi Atom Jepang. Dinas Energi Atom Jepang mengumumkan, tingkat radiasi pada radius 80 kilometer di sekitar reaktor yang rusak menurut pengukuran antara April 2011 dan November 2012 turun hampir setengahnya. Dan media Jepang, sepertinya ikut berkonspirasi untuk meremehkan dampak bencana atom Fukushima.
Kantor berita Kyodo, misalnya, seakan mendukung keterangan Dinas Energi Atom Jepang dengan alasan, partikel-partikel radioaktif di kawasan dengan banyak bangunan dan jalan beraspal tercuci oleh air hujan. Pemerintah mengukur tingkat radiasi satu meter di atas tanah.
Namun keterangan Dinas Energi Atom Jepang tersebut bukan sekadar meremehkan dampak radiasi reaktor atom Fukushima, bahkan ada indikasi kuat menutup-nutupi fakta yang sebenarnya.
Karena fakta lain yang dikemukakan oleh tim dokter internasional dari organisasi pencegahan perang nuklir IPPNW (International Physicians for the Prevention of Nuclear War), radiasi di Jepang akan menyebabkan 40.000 sampai 80.000 kasus kanker. Bahkan sekitar 37.000 kasus kanker diperkirakan muncul karena bahan makanan yang terkena radiasi.
Berarti, keterangan tim dokter IPPNW sejalan dengan beberapa sumber informasi tim riset Global Future Institute yang mengindikasikan adanya zat beracun yang menyebar pada makanan-makanan jenis seafood.
Nampaknya pembangunan tenaga nuklir dan reaktor atom di Jepang memang cukup rawan. Energi nuklir memang merupakan prioritas nasional di Jepang, tapi belakangan ini sudah muncul beberapa indikasi kuat terhadap kemampuan pembangkit-pembangkit nuklir di Jepang dalam menghadapi aktivitas seismik.
Sekadar ilustrasi. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kashiwazaki-Kariwa ditutup sepenuhnya selama 21 bulan karena adanya gempa bumi pada tahun 2007. Sedangkan gempa bumi dan tsunami di Jepang pada 2011 lalu, yang menimbulkan dampa susulan berupa kebocoran di reaktor atom Fukushima, telah mengungkap betapa Jepang gagal menciptakan sistem pendingin di PLTN Fukushima. Sehingga Pemerintah Jepang meski terkesan meremehkan dan mengecilkan dampak ini, namun terpaksa mengakui bahwa dampak kebocoran PLTN Fukushima, telah menimbulkan keadaan bahaya Nuklir.
Setidaknya dari kebocoran PLTN Fukushima, 140 ribu orang penduduk yang tinggal di sekitar 20 kilometer dari pemabangkit listrik tersebut terpaksa mengungsi. Dan yang lebih mencemaskan lagi, tentunya jumlah material radiasi radioaktif yang menyebar hingga saat ini, yang seperti penulis kemukakan tadi, telah mencapai 6 juta kali lipat dari keadaan normal.
Dan masyarakat Jepang dan dunia internasional pada umumnya, selain semakin bersikap keras menentang pembangunan tenaga nuklir dan reaktor atom di Jepang, namun dalam konteks dalam negeri Jepang itu sendiri, adalah semakin menguatnya rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap informasi pemerintah Jepang terkait seberapa besar jumlah material radiasi radioaktif yang telah menyebar.
Betapa tidak. kegagalan membendung bencana itu menyebabkan kontaminasi radioaktif pada tanah, laut dan udara lebih besar daripada yang diakui oleh operator PLTN tersebut.
Tidak berlebihan jika bencana itu dikategorikan level lima skala 7 atau maksimum dalam skala kecelakaan nuklir internasional, sama dengan bencana di Chernobyl 25 tahun yang lalu.
Sepertinya, gerakan masyarakat Jepang untuk mengurangi ketergantungan pada energi nuklir nampaknya semakin meningkat dan menguat.